Khilafah.id – Khilafah ala Felix Siauw. Kapan kita akan berhenti berbicara tentang sesuatu yang periferal tersebut? Bukankah mencintai tanah air adalah wajib sewajib-wajibnya? Sungguh, kita muak. Membicarakan status negara kita di tengah delik ideologi yang membawa-bawa nama Islam memang seringkali membuat jengkel. Terutama ketika bicara soal HTI, atau soal penegakan khilafah, kita jadi menyadari betapa tidak dewasanya cara keberislaman-kebernegaraan kita (baca: mereka).
Bahwa NKRI sudah konsensus final, dan status Pancasila sebagai falsafah bangsa tidak dapat diganggu gugat, adalah fakta. Bahwa mencintai tanah air dan membelanya dari segala kemungkinan terburuk adalah hak setiap warga negara, adalah benar adanya. Tetapi kita terpaksa terus-terusan membahas soal ini, dan mengabaikan agenda yang lebih penting bahkan, yaitu memajukan bangsa. Dan indikatornya jelas, ada ustaz prematur di balik semuanya.
Pada saat yang bersamaan, iklim keagamaan kita hari-hari ini meningkat. Tak hanya banyak yang mualaf, masuk Islam, bahkan yang sudah Islam pun ingin mendalaminya secara serius. Sayangnya fenomena ini terlampau jauh untuk dibanggakan. Eskalasi religiusitas dimaksud justru bertendensi ke arah negatif, yaitu paham keberagamaan konservatif. Kita sudah menyaksikan, berapa juta orang Islam mengaku hijrah, justru keterbukaannya semakin menyempit?
Bukankah tak sedikit yang semakin ke sini, semakin mengenal Islam, justru jadi mudah menghakimi? Jelas ini bukan rahasia lagi. Para penuntun mereka ternyata tidak tepat, yakni para ustaz prematur tadi. Ia menggerakkan narasi tendensius ideologi tertentu. Tak memahami Islam tetapi berlagak paham segalanya. Belum waktunya ceramah tapi sudah orasi-orasi di mana-mana. Para kaum muda yang hijrah pasti paham. Siapa lagi kalau bukan Felix Siauw.
Ustaz Keren itu Bernama Felix
Siapa yang tidak kenal Felix Siauw? Semua orang pasti mengenalnya, baik sebagai fans maupun haters. Para haters mungkin tengah membicarakan ustaz mudah-mudahan segera taubat ini. Ia baru saja menyinggung Ibu Sinta Nuriyah, istri almarhum Gus Dur telah memaksakan maksiat, lantaran pernyataannya perihal jilbab. Tetapi tulisan ini tidak akan mengulas itu. Fokus kali ini adalah Felix sendiri, ustaz agen HTI yang selalu menyuarakan tegaknya khilafah.
Ustaz keren itu Felix namanya. Untuk menyuarakan khilafah, ia tak hanya pintar orasi, melainkan juga menulis buku. Khilafah Remake, judulnya. Itu adalah satu buku dari karya lain yang ditulisnya: Yuk Berhijab!, Udah Putusin Aja!, dan lainnya. Felix juga aktif di platform Youtube. Keren, bukan? Penulis buku, Youtuber, orator andal, muda, dan jelas gaul. Tampaknya ia adalah figur sempurna, jarang sekali ustaz sekeren dirinya. Dan begitulah para fans mengenalnya.
Ternyata kekerenan Felix tak berhenti di situ. Ia baru masuk Islam, setelah ‘eksodus’ dari Katolik, ketika kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), hampir dua dekade lalu. Keputusan Felix untuk pindah agama, menjadi Muslim, konon mendapat restu keluarga. Ia pun melafalkan syahadat. Penting diutarakan, bahwa ketika masuk Islam, ia tergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Artinya, ia ibarat lahir kembali, namun lahir dari rahim radikal pengusung khilafah.
Kalangan milenial terutama kaum hyper-religius yang mengklaim tengah berhijrah mengenal Felix sebagai inspirasi. Jelas hal itu menambah kekerenannya. Bagaimana tidak, kemampuan Felix mempelajari Islam terbilang cepat. Secepat kilat ia merasa telah menguasai ajaran Islam. Secepat kilat ia merasa laik untuk berdebat dengan para cendekiawan sekaliber Prof Syafii Maarif, misalnya, atau Ibu Sinta Nuriyah.
Jelas ustaz beretnis Tionghoa tersebut kerasan dalam Islam. Bagaimana tidak, ia disambut antusias para generasi muda, dijadikan inspirasi, melampaui para tokoh atau kiai-kiai yang jelas lebih mumpuni ilmu keislamannya. Karirnya cemerlang sejak masuk Islam. Hari ini siapa yang tidak mengenal Felix? Dia begitu keren. Kata pengikutnya. Bukan kata saya!
Ustaz Prematur
Sebenarnya fenomena beragama secara prematur ini sudah menjamur, bukan hanya Felix. Kita pasti mengenal Ustaz Yahya Waloni, yang karir keagamaannya mirip Felix. Tetapi Felix lebih istimewa karena punya keterampilan menulis dan public speaking yang baik. Tidak bisa orang sembarangan untuk berdebat dengan Felix, bisa keok. Kita pasti masih ingat, betapa ghirah-nya menyuarakan khilafah dilandasi argumen kuat. Meskipun argumen tersebut, idealnya, keliru.
Bagaimana mungkin seorang yang baru jadi Muslim ketika kuliah, melawan para tokoh yang sedari lahir dididik dalam lingkungan Islam? Mustahil. Sekuat apa pun mempelajari Islam, yang tertanam sejak kecil pasti lebih kuat. Membandingkan Felix dengan para tokoh ulama Nahdhiyyin misalnya, adalah wujud kebodohan yang nyata. Lalu untuk apa membandingkan ia dengan para kiai dalam hal urusan konsep bernegara? Sungguh ironi yang dipaksakan.
Fenomena ustaz prematur sendiri, yang datang sebagai pendatang baru, tapi sok sudah seakan menguasai Islam seutuhnya, pasti pahamnya Islam konservatif. Arogansi Felix dapat kita baca secara jelas, jika ia memaksakan penegakan khilafah. Baru mengenal Islam, tetapi sudah berani menentang konsensus ulama yang berjuang mendirikan NKRI. Kenapa banyak orang, terutama para fans-nya, meyakini betul bahwa Felix adalah orang yang tepat untuk mereka manut? Heran.
Ini tidak hendak mendiskreditkan keilmuan seseorang tentang Islam. Tetapi memang harus dilawan, karena narasi Felix terang-terangan radikal; ingin mengubah NKRI menjadi khilafah. Bersamaan dengan itu, mereka yang katanya hijrah tidak sadar-sadar bahwa ustaz panutan mereka tidak tepat. Hijrah ingin mengenal Islam secara kaffah tapi jadi pengikut Felix mungkin perlu dipikirkan kembali. Felix itu lahir ke Islam ala HTI. Semua gagasannya adalah gagasan ala aktivis radikal.
Felix yang Berhati HTI
Ibarat orang lahir di lingkungan NU, dari orang tua Nahdhiyyin, maka kecintaannya kepada NU mendarah daging. Begitulah Felix yang lahir dari rahim HTI. Sekuat apa pun upaya pemerintah memberantas HTI, hati Felix tetaplah HTI. Tidak ada eks-HTI bagi Felix. Perjuangan HTI untuk menegakkan khilafah harus dilanjutkan. Karirnya sebagai ustaz keren yang menjadi idola remaja berhijrah adalah kendaraan. Senjatanya adalah berorasi diselingi takbir: Allahu Akbar.
Padahal,harusnya sebagai ustaz yang kenal Islam sebatas secara konservatif saja, sifat “arogan”-nya harus disingkirkan. Masih banyak cendekiawan yang lebih otoritatif untuk mengemukakan gagasan kenegaraan, ketimbang jingkrak-teriak mengampanyekan khilafah. NKRI sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Kalau pun banyak terjadi perpecahan di kalangan Muslim, itu bukan kekeliruan NKRI, melainkan kembali kepada setiap Muslim itu sendiri.
Tidak lantas dengan bersikukuh mengatakan, itu terjadi lantaran umat Islam tidak bersatu. Dan satu-satunya konsep persatuan tersebut adalah menegakkan khilafah. Sungguh itu adalah sesuatu yang dipaksakan. Fenomena ustaz prematur ini jelas tidak baik, karena cenderung mencipta gaduh antarsesama umat Islam. Apakah Felix tidak menyadari posisi tersebut? Jelas ia paham betul. Tetapi demi karirnya sebagai ustaz keren, apa pun akan dilakukan.
Baiknya orang berkemampuan seperti Felix tak digunakan untuk merusak tatanan kenegaraan demi konsep yang belum jelas. Baiknya juga, ustaz prematur yang hanya mengenal agama dari satu perspektif, apalagi perspektif HTI, tidak usah diberikan panggung. Adalah mengherankan jika para habaib di reuni Alumni 212 kemarin menjadikan Felix sebagai panutan, hanya karena keterampilannya mengorasikan khilafah. Sebenarnya mereka habaib apa politisi? Bagaimana mungkin seorang habaib mengandalkan ustaz yang baru mengenal Islam itu? Sukar dinalar!
Iqbal Ramzi Faiq, Mantan jemaah ustaz Felix Siauw asal Majalengka.