Khilafah.id – Indonesia hari ini sedang darurat Corona. Satu pasien dilaporkan meninggal pada Rabu (11/3) kemarin. Pada hari yang sama, pemerintah juga mengumumkan tujuh kasus baru virus Corona di Indonesia. Dengan demikian jumlah pasien positif infeksi Corona mencapai 34 orang, dan dua orang sembuh. Semakin hari, penyebarannya semakin menakutkan—memakan banyak korban.
Negeri kita ini memang tidak sedang baik-baik saja. Ia berada dalam pusaran narasi khilafah dan Corona. Keduanya jelas sangat berbahaya. Corona menghebohkan warga dan melahirkan ketakutan, memperenggang interaksi karena takut menular. Lalu apa kaitannya dengan khilafah?
Sama hebohnya dengan Corona, khilafah yang digaungkan para aktivisnya juga seringkali menuai konflik. Gesekan antarumat yang berbeda gagasan kebangsaan, misalnya, tak jarang menelan korban. Belum lagi ujaran kebencian, renggangnya hubungan antarwarganegara, dan sejenisnya.
Hari ini yang sedang santer dibicarakan memang Corona. Karena, selain kejadiannya aktual, penyebarannya relatif cepat. Sementara itu, indoktrinasi khilafah bergerak di bawah tanah. Tetapi baik Corona maupun khilafah, adalah sama-sama musuh bagi Indonesia.
Sebetulnya mana yang berbahaya, khilafah atau Corona? Indonesia tengah berada di pusaran keduanya, itulah kenapa menarik untuk menjadikannya bahan editorial edisi kali ini. Setiap kita dituntut berefleksi, umpamanya untuk mengetahui: bagaimana khilafah dan Corona, dalam aspek tertentu, berkesinambungan dan isunya saling tarik-menarik.
Bukankah kita sudah mendengar, beberapa oknum menjadikan Corona sebagai momentum untuk mempromosikan khilafah? Lihatlah, betapa bahayanya.
Mana yang Paling Berbahaya?
Semakin hari, yang dinyatakan terinfeksi virus Corona akan bertambah. Bukan saja puluhan, bahkan mungkin ratusan, atau bahkan jutaan sebagaimana virus influenza di masa lalu. Tidak ada yang tahu juga sampai kapan wabah Corona ini menggerogoti dunia, membuat masyarakat resah dan diselimuti ketakutan.
Sebab, yang berbahaya dari Corona bukan sekadar virus itu sendiri, melainkan ketakutan, hoaks, dan stigma yang ada di dalamnya. Hari ini, di kereta KRL, misalnya, semua penumpang memakai masker. Saking takutnya, sekali ada yang batuk, atau menampakkan gejala mirip dengan gejala Corona, akan menjadi pusat perhatian. Stigma demikian sangat menakutkan, bukan?
Lalu kita bandingkan: mana yang lebih berbahaya, Corona atau khilafah?
Jelas bukan tidak ada kemiripan antara keduanya. Hari ini khilafah menebarkan ketakutan, dianggap mengancam demokrasi dan NKRI. Hoaks tentang khilafah juga banyak, misalkan, kabar bohong tentang akhir zaman, di mana tanggal 15 Ramadhan nanti akan menjadi hari luluh-lantaknya bumi. Kata para aktivisnya, khilafah harus benar-benar segera ditegakkan.
Lalu stigma khilafah tidak menyasar para aktivis tersebut, justru menyasar Islam secara keseluruhan. Orang Islam menjadi target stigmatik, bahwa doktrin keagamaannya memecah-belah bangsa. Konflik di Timur Tengah dijadikan sampel dari stigmatisasi tersebut. Bagaimana Suriah hancur, dianggap sebagai justifikasi stigma tersebut. Semua gara-gara khilafah.
Melihat dua fakta ini, jelas virus khilafah lebih berbahaya dari virus Corona. Beberapa korban Corona sudah dinyatakan negatif, yang awalnya positif, itu artinya penyembuhannya masih bisa diharapkan. Tetapi siapa pun yang terinfeksi indoktrinasi (virus) khilafah, mereka tidak akan sembuh. Bahkan akan rela bertidak anarkis, misalnya demi mendelegitimasi pemerintah yang sah.
Khilafah tidak hanya menyebabkan batuk, demam, seperti virus Corona. Ia bahkan merusak otak seseorang, membuatnya mirip orang ayan, dan kehilangan rasa kemanusiaan dengan melakukan bom bunuh diri. Terorisme yang dilakukan para pejuang khilafah tidak hanya membunuh satu orang, yakni korban yang bersangkutan, melainkan membunuh orang lain yang juga jadi korban aksi terornya.
Masih berpikir Corona lebih berbahaya?
Narasi Khilafah dalam Virus Corona
Setiap kasus-kasus Corona, bahkan sejak kali pertama kemunculannya, ketakutannya tidak sekadar terhadap epidemi itu sendiri. Para dai terutama, dalam ceramah-ceramahnya, tidak sedikit yang menyeret kasus Corona dengan kasus global yang sama sekali tidak relevan. Dengan kasus, yang bahkan secara logika, sama sekali tidak berdasar.
Ada ustaz yang bilang, Corona adalah tentara Allah atas pembantaian Muslim Uighur di Cina. Seorang ustaz lain, yang dijuluki sebagai pakar hari kiamat, mengatakan dengan gagah bahwa virus Corona tidak akan menjangkit umat Islam. Wabah tersebut, konon, adalah apa yang ada dalam hadis, bahwa di akhir zaman, hanya umat Islam yang selamat dari wabah.
Belakangan, ketika Arab Saudi menutup sementara pelaksanaan haji dan umrah, bahkan di Iran virus Corona membunuh para anggota parlemen, yang notabene beragama Islam, ustaz tersebut mengatakan pendapat yang berbeda lagi. Dalam suatu ceramah, dengan percaya diri berujar, virus Corona dibuat oleh Iluminati, oleh Freemason, untuk menurunkan populasi umat manusia.
Membingungkan, bukan? Cukup berpegang pada satu fakta sahih: ustaz-ustaz tersebut, dalam hal ilmu medis, tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Indonesia ada dalam dua pusaran khilafah dan Corona ini. Lebih parahnya, para aktivis khilafah merasuk ke dalam isu virus Corona, mendoktrin masyarakat bahwa semua ini adalah tanda-tanda akhir zaman. Klimaks indoktrinasinya di mana? Jelas, yaitu narasi desakan untuk ditegakkannya khilafah. Mereka memanipulasi Corona demi kepentingan politisnya.
Fakta pahit yang demikian harus disadari betul oleh semua masyarakat. Bahwa sebera pun berbahayanya Corona, digerogoti khilafah jauh lebih berbahaya. Lama-kelamaan, jika Indonesia tetap berada dalam pusaran dua isu ini, yang hancur adalah persatuan dan kesatuan. Apakah itu tidak cukup mengerikan?
Tidak ada yang ingin NKRI kita hacur. Corona kita hadapi dengan pola hidup sehat, melawan hoaks, dan hidup solidaritas. Sementara khilafah tidak penawarnya, ia mesti dimusnahkan dari Indonesia. Tidak ada ruang bagi para aktivisnya. Mereka tidak hanya menstigma, mencitra-burukkan Islam, tetapi juga membunuh persatuan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.