Khilafah.id – Noor Huda Ismail adalah pakar terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian. Ia pernah menjadi koresponsen media Washington Post di Jakarta.
Ia pernah menjadi santri selama enam tahun di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki. Pondok Pesantren itu terkenal saat beberapa alumninya menjadi pelaku bom bunuh diri.
Ketertarikannya pada isu kekerasan ekstremisme bermula pada 2002 ketika mantan teman sekamarnya di Ngruki, menjadi salah satu pelaku Bom Bali I. Sejak itu ia memfokuskan karyanya dalam reintegrasi dan rehabilitasi mantan narapidana teroris dengan kewirausahaan sosial.
Ia menempuh kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merangkap kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Gelar masternya diraih dalam Studi Keamanan Internasional dari St. Andrews University Inggris.
Ia menyelesaikan gelar doktornya di Monash University, Australia. Saat ini, Noor Huda Ismail tinggal di Singapura dan menjadi Visiting Fellow di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University Singapore.
Berikut adalah hasil wawancara dengan Noor Huda Ismail terkait narasi maskulin dalam gerakan terorisme dan bagaimana narasi tersebut bisa membentuk aksi teror.
Bagaimana bentuk maskulinitas dalam gerakan terorisme khususnya di Indonesia?
Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu tentang gender, termasuk perbedaan gender dan sex. Jenis kelamin (sex) adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis atau ciri biologis manusia.
Gender adalah ekspektasi masyarakat tentang bagaimana menjadi lelaki yang baik dan bagaimana orang menjadi perempuan yang baik. Misalnya, perempuan yang baik selalu berada di rumah, memakai kerudung, dan lain sebagainya.
Hal tersebut dibentuk oleh konstruksi masyarakat di wilayah tertentu. Contohnya lagi, konstruksi orang Jawa bahwa perempuan Jawa harus bisa bahasa Jawa halus, harus bisa memasak, hormat suami dan lain sebagainya.
Dalam wilayah yang berbeda, konstruksi gender yang ada pun akan berbeda. Misalnya di luar negeri, konstruksi perempuan yang baik akan berbeda dengan konstruksi gender di Indonesia.
Bentuk konstruksi gender kelompok jihad adalah mengeksploitasi bagaimana konstruksi lelaki yang baik. Umumnya, lelaki yang baik dalam Islam misalnya lelaki yang hafal Al-Qur’an dan Hadits dan ideal menjadi pasangan.
Dalam kelompok ini yang menjadi lelaki baik paling tinggi namanya Mujahid atau orang yang melakukan jihad. Artinya, berjihad menjadi nilai yang “hegemonic” atau unggul. Konstruksi inilah yang dimainkan dan dibentuk. Jadi, jika ada yang mau masuk ke dalam konstruksi lelaki yang baik adalah menjadi Mujahid.
Definisi Mujahid pun spesifik yaitu siap untuk melakukan jihad. Jihadnya pun spesifik yakni jihad dalam bentuk konfrontatif, fisik. Padahal, kita tahu manusia bermacam-macam, tapi dieksploitasi dan dikonstruksikan hanya satu misalnya mereka menggunakan ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
Quran Surat Al-Ahzab Ayat 23
مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا۟ مَا عَٰهَدُوا۟ ٱللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُۥ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا۟ تَبْدِيلًا
Minal-mu`minīna rijālun ṣadaqụ mā ‘āhadullāha ‘alaīh, fa min-hum mang qaḍā naḥbahụ wa min-hum may yantaẓiru wa mā baddalụ tabdīlā
Artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya),”
Rizal diartikan menurut tafsir mereka dan dibentuk mulai dari tafsir, kisah-kisah, sejak kecil. Dalam kelompok mereka, kalau ada anak lahir maka ada harapan bahwa nanti anaknya akan menjadi Mujahid.
Hal itulah yang dimaksud dengan maskulinitas, dikonstruksikan menjadi maskulin. Diskusinya orang-orang tersebut jika bertemu adalah jika sudah punya istri, ya boleh punya istri lagi. Bentuk konstruksinya dominan.
Pola rekruitmen kelompok ini, ayat-ayat atau narasi yang digunakan selalu narasi maskulin. Misalnya Imam Samudra ketika diwawacarai, ia selalu bilang, kenapa dia pergi ke Afghanistan, karena perempuan dan anak-anak Muslim dizolimi oleh musuh. Jadi, saya sebagai lelaki harus turun.
Narasi maskulinnya adalah melindungi, berperang membela yang lemah. Selalu menggunakan “perempuan-perempuan kita” dan “anak-anak kita”. Konstruksinya spesifik. Pembelaan. Jadi, apa yang dimainkan adalah kontruksi pembelaan yang dibungkus dalam narasi maskulinitas tersebut.
Selama ini, narasi yang terkenal adalah narasi tentang ideologi. Pertanyaannya adalah ideologi yang mana? Ideologi yang saya temukan adalah ideologi dalam narasi maskulin.
Maka dari itu, radikalisasi tidak gender netral. Perempuan mempunyai cara atau proses yang berbeda untuk bergabung, tinggal, dan keluar dari jaringan. Biasanya, radikalisasi perempuan terjadi karena alasan pribadi. Jomblo, misalnya.
Jomblo adalah masalah khilafah. Khilafah akan mencoba mencari solusinya. Jomblo adalah masalah jamaah, sehingga akan dicarikan jodohnya. Maskulin yang dimaksud bukan maskulin dalam bentuk lelaki macho, tapi konstruksi bahasa maskulin.
Konstruksi bahasa tersebut spesifik hanya dipahami di kelompok ini dan diajarkan secara terus-menerus. Tidak diajarkan dalam kelas, tapi diajarkan dalam bentuk sosialisasi. Misalnya dalam bentuk gambar. Tidak ada sebutan “maskulin”. Yang ada adalah interpretasi maskulin.
Arti jihad untuk umat Islam berbeda-beda. Hal inilah yang membuat proses deradikalisasi perempuan yang sudah pernah terpapar terorisme prosesnya jauh lebih sulit karena melibatkan emosi.
Narasi maskulintas yang dimaksud adalah konstruksi gender menjadi lelaki secara spesifik yang ada dalam kelompok tersebut. Ceruk itulah yang digarap serius dalam kelompok jihad.
Dalam film Jihad Selfie digambarkan bagaimana narasi agama membentuk bahwa menjadi Teuku Akbar Maulana, pelajar Indonesia di Turki yang ingin masuk ISIS, adalah hal yang sangat keren. Sementara dalam film Pengantin, kegalauan atau cintalah yang justru membuat perempuan masuk dalam kelompok teroris.
Orang-orang selalu melihat alasan masuknya seseorang adalah karena ideologi. Padahal bukan. Pintu masuknya bukan karena ideologi. Pintu masuknya adalah pertama pre-radikalisasi disebut dengan istilah galau. Identitas manusia dimainkan sebab identitas sesungguhnya adalah hal yang cair. Identitas manusia bisa di-hack. Hal itulah yang dimainkan.
Tren dalam rekruitmen ada dua. Pertama, collective action. Identitas individu akan luntur saat bertemu dengan identitas kelompok. Orang masuk dulu ke kelompok, kemudian kelompoklah yang akan membentuk identitas individu tersebut.
Saat ini, proses pembentukan identitas generasi milenial dan Gen-Z, realitasnya adalah online. Dulu, kita selalu membayangkan bahwa identitas adalah offline. Saat ini, tidak begitu. Seperti memesan makanan secara online, demikianlah bentuk jihad saat ini.
Identitas bisa dibentuk secara online dan yang dimainkan adalah gendernya, bagaimana konstruksi sebagai laki-laki yang baik dan perempuan yang baik. Orang selalu melihatnya karena ideologi.
Pertama, karena galau. Kedua, baru masuk social identification di mana individu mulai mengidentifikasikan dirinya pada kelompok tersebut. Caranya dengan memberikan like, share, dan comment di media sosial.
Sebagai analogi, bukti antara pemilih Jokowi dan Prabowo pada pemilu 2019. Bukti bahwa menjadi pendukung adalah dengan melakukan tiga hal tadi yang menjadi tanda dukungan salah satu pasangan.
Baru ketika sudah gabung di kelompoknya, ideologi bekerja. ISIS adalah gaya hidup maskulin baru. Apa yang dimainkan adalah gendernya, bukan ideologinya. People think about ideology. But, no. It’s about fashion and lifestyle.
Bagaimana pemberdayaan ekonomi keluarga mantan napiter termasuk anak-anak muda atau generasi milenial?
Pertama-tama, mengenalkan multiple type of masculinity kepada para mantan napiter. Maskulinitas yang keren itu tidak hanya mengangkat senjata tapi bisa dengan menjadi penjual soto yang baik, guru yang keren, jadi banyak cara atas identitas diri yang bisa dilakukan. Ekonomi adalah salah satunya.
Dalam ekonomi, setiap kali seorang manusia bangun tidur, dia akan memahami ingin berbuat apa. Pekerjaan bukan hanya sekadar tentang job, tapi tentang identity.
Ketika memiliki fasilitas mumpuni misalnya akses wifi yang tak terbatas dan tidak memiliki alasan untuk melakukan sesuatu saat bangun tidur kemudian ditawari identitas baru, seseorang pasti akan mau. Pekerjaan adalah alat untuk mencapai identitas diri, termasuk identitas maskulin yang tidak tunggal.
Pendekatan yang dilakukan melalui tiga cara. Pertama, heart, memenangkan hatinya, membangun obrolan terlebih dahulu. Kedua, hand, menjaga energi mereka. Ketiga, ideologi atau cara pandang dunia.
Cara yang ketiga tidak serta-merta dilakukan dengan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah tetapi dengan melakukan interaksi langsung dengan membahas tentang realitas yang kompleks.
Biasanya, orang-orang yang memutuskan untuk begabung dengan kelompok teroris tidak bisa menerima kompleksitas. Mereka melakukan shortcut. Ada tarik-ulur antara napiter.
Ada yang gagal move on karena mengingat memori dengan kelompok lamanya. Dalam satu titik tertentu, pasti ada momen untuk membandingkan. Pasti ada yang dikalkulasikan.
Misalnya, sudah nyaman dengan kelompok baru tapi kelompok lama menawarkan posisi yang lebih tinggi dan penting. Dialektika itulah yang muncul dan seringkali tidak tertangkap dan terjelaskan dengan intervensi sosial.
Menangani mantan napiter sama dengan berhadapan dengan orang yang sedang jatuh cinta. Intensitas adalah yang terpenting. Pendekatan yang dilakukan tidak tunggal tapi tergantung kebutuhan setiap orang. Sesuai dengan minat dan bakat. ruangngobrol.id dibentuk untuk mereka yang hobi menulis. Pendekatan dilakukan sebagai bagian dari hand.
Bagaimana pendapat Anda tentang kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021 dan aksi di Polda Metro Jaya yang dilakukan oleh Zakiah Aini?
Jika benar perekrutan yang dilakukan secara online, maka hal tersebut membahayakan. Setelah tahun 2014, seluruh data mengenai terorisme di Indonesia selalu ada referensi onlinenya.
Karena tahun 2014 itulah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri anak muda direkrut, karena itulah ada film Jihad Selfie. Maka jika perekruatan dilakukan secara online, maka ini hanya awalan saja.
It’s only the beginning, the party is not yet over. Ditembak mati bukan akhir, justru sebagai awalan. Ada glorifikasi di online yang justru membanggakannya.
Orang-orang yang galau direkrut bukan karena ideologi tapi karena heroism adventure. Saat ini, realitas sosial terbentuk secara online, termasuk kebahagiaan dan ketidakbahagiaan.
Saat berinteraksi secara online, ada efek psikologis yang terjadi. Media sosial memiliki efek tersebut. Dulu tidak pernah terjadi bahkan tidak dibayangkan sebelumnya. Identitas sosial bisa dibentuk secara online.
Syarat terpenting untuk tidak menjadi radikal harus main jauh dan pulang pagi, bertemu dengan banyak orang. Orang bisa saja menyukai kebudayaan Korea, tapi untuk arah hijrah, mereka memilih menjadi radikal.
Ayu Alfiah Jonas, Perempuan progresif dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.