Nuruddin Ar-Raniri; Ulama Aceh yang Hidup dalam Himpitan Romantisme dan Ancaman Keberagamaan

nuruddin ar-raniri

Khilafah.id – Akhir-akhir ini, umat Islam di Indonesia dikagetkan dengan fenomena keberagamaan di ruang publik. Masyarakat memandang agama bukan lagi sebagai benda kecil yang berada di pojok kamar. Sepi dari dari hiruk-pikuk dunia. Melainkan, seperti yang dikatakan Azyumardi Azra bahwa dalam satu dasawarsa, agama justru menjadi salah satu kekuatan besar dalam preferensi dan wacana politik.

Fenomena keberagamaan semacam ini membawa ingatan kita terhadap polemik keberagamaan di masa Nuruddin Ar-Raniri. Di mana perbedaan pandangan ditarik sesuai dengan selera individu dan kelompok masing-masing. Tak heran bila terjadi gesekan perbedaan yang kadang-kadang menjadi api yang membakar keberagaman pandangan. Menyempitkan keterbukaan dan keadaban yang jauh-jauh hari ditanam dalam tradisi keislaman.

Membaca buku Sisi Lain Nuruddin Ar-Raniri (2021) karya Adib Sofia, bukan semata-mata diajak memahami teks ala kadarnya. Dalam hal ini tiga karya Nuriddin Ar-Raniri: Tibyan fi Ma’rifatil-Adyan, Chujjatush-Shiddiq li Daf’iz-Zindiq, dan Fatchul-Mubin ‘alal-Mulchidin, melainkan menyelami secara filologis dan kritis atas tiga naskah yang menjadi pokok kajian dalam buku yang dikembangkan dari disertasi penulis.

Secara teknis, buku yang berada di hadapan pembaca ditulis dengan pembahasan sistematis, dan hal ini justru memudahkan pembaca menandai poin penting dari isi buku.

Pada dasarnya, kita tidak bisa menafikan bahwa Islam datang ke Nusantara salah satunya melewati jalur tasawuf. Ajaran tasawuf ikut andil dalam membentuk pola hubungan sosial masyarakat di Nusantara. Kita bisa melihat pengaruh ini dalam buku Sejarah Banten, Hikayat Raja-raja Pasai, Babad Tanah Jawi, dan di beberapa naskah lain.

Puncaknya, popularitas tasuwuf berkembang pada saat Hamzah Fansuri mengajarkan Wachdatul-Wujud (hlm.3). Yang mana ajaran ini meyakini bahwa dzat dan hakikat Tuhan dengan dzat dan hakikat alam dan seisinya sama.   

Dalam ajaran tasawuf mazhab wujudiyyah yang dikembangkan Hamzah Fanzuri dan Syamsuddin As-Samatrani  menemukan puncak keemasan pada masa Sultan Iskandar Muda di Aceh. Dua ulama ini, berkompromi dengan kekuasaan “politik” di istana, sehingga memudahkan penyebaran Islam melalui pintu tasawuf wujudiyyah.

Tetapi, model keberagamaan Hamzah Fansuri dan pengikutnya justru dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Sebagai penganut tarekat Qadiriyah dan Rifa’iyyah, Nuruddin Ar-Raniri hadir untuk menyeimbangkan pola keberagamaan yang berdiri di atas fondasi tasawuf, yang pada saat itu cukup besar pengaruhnya.

Nuruddin Ar-Raniri justru lantang memberikan komentar atas dominasi ajaran tasawuf mazhab wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri yang sudah mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat. Saya kira, justru di sinilah salah satu jasa besar Nuruddin Ar-Raniri dalam mengonter mobilisasi keislaman di Nusantara melalui kritik dan pembaharuan atas tasawuf wujudiyyah yang dianggap lepas dari rel ajaran Islam.

Nuruddin Ar-Raniri tidak sekonyong-konyong menghunus komentar atas tasawuf wujudiyyah, melainkan ia membawa seperangkat dalil sahih, meskipun menjebak dirinya dalam lingkaran kekerasan verbal, bahasa kafir, sesat dan sebagainya.

Dalam tiga karya Nuruddin Ar-Raniri: Tibyan, Chujjahtush-Shiddiq, dan  Fatchul-Mubin, selain mengkaji dari sisi sosial, kultural dan latar belakang perdebatan antara tokoh, Adib Sofia juga memotret doktrin yang negatif: mulchid, kufur, zindiq, Majusi, Yahudi, Ahli Bid’ah (hlm.141), yang berkali-kali diungkapkan Nuruddin Ar-Raniri terhadap Hamzah Fansuri dan pengikutnya.

Perbedaan pandangan meruncing pada konflik yang merugikan pihak lain menjadi satu pemandangan tersendiri dari keberagamaan yang berdiri kokoh atas dasar egoisme dan pandangan tidak adil terhadap kelompok yang berbeda. Padahal, ketika kita mau jujur, agama memang lahir dari perbedaan-perbedaan. Bukannya, perbedaan diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain?

Terlepas dari karya-karya Nuruddin Ar-Raniri yang memberikan sumbangsih keilmuan dan kerja asrip awal-awal masuknya Islam di Nusantara. Adib Sofia dalam buku ini begitu detail menggambarkan sikap keberagamaan yang keras dan intoleran.

Cerminan dari sikap intoleran dan ancaman atas perbedaan keberagamaan muncul dari anggapan bahwa yang berbeda dengan diri sendiri adalah other, strange, outsider, dan less worthy. Kebiasaan menjustifikasi orang dengan stereotipe negatif dan membiarkan pemahaman sendiri beranak-pinak dan menindas yang berbeda bagian dari romantisme beragama yang eksklusif.

Hari ini, kita juga kerap menemukan bangunan keberagaman yang lebih dekat dengan apa yang terjadi di masa Nuruddin Ar-Raniri. Melihat agama bukan hanya sekadar berada di masjid, madrasah dan tempat-tempat ritual agama lain. Tetapi, agama juga diseret dalam wacana politik, budaya dan ekonomi.

Sehingga agama menjadi senjata ampuh di berbagai lini. Tak cukup berhenti di situ. Agama justru dijadikan alat untuk memberikan label negatif pada orang atau kelompok yang sama sekali berada di luar barisannya. Perbedaan pemahaman atas keberagamaan tidak cukup lentur, justru diikat sekencang mungkin.

Kondisi semacam ini akan mengaburkan keberagamaan yang sudah dipupuk oleh para ulama Nusantara yang lebih ramah terhadap perbedaan. Keberagamaan yang merawat keragaman paham, ideologi, dan hukum-hukum syar’i akan selalu dicari oleh pemeluk agama apa pun.

Alasannya cukup sederhana, karena tidak ada satu agama apa pun di dunia yang mengajarkan umatnya untuk melakukan ritual kekerasan, apalagi sampai pada tahap saling bunuh sesama umat beragama.

Muhammad Syaiful Bahri, Santri PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, Aktif di Lingkaran Kajian Culture, Humanity and Religion di Lesehan KUTUB Yogyakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Manajemen Teror (4): Tamkin Menuju Tegaknya Negara Islam Global

Sel Jan 4 , 2022
Khilafah.id – Sebelum masuk ke pembahasan, ada poin penting yang mesti digarisbawahi. Kata ‘kebiadaban’, pada bagian sebelum ini, maksudnya adalah chaos—kendati Naji menjelaskan ia lebih daripada sekadar chaos. Dan sesuai penegasan di bagian pertama, tulisan ini menggunakan istilah teror, yang dimanajemen untuk menaklukkan musuh. Musuh dimaksud dalam keseluruhan buku ini, […]
Tamkin

You May Like