Khilafah.id – Jika dalam sepak bola, kita mengenal anatara Barcelona dan Real Madrid yang dalam sejarah perseteruan mereka, keduanya selalu membawa misi ambisius untuk saling menumbangkan satu sama lain. Jika dalam ekonomi global, kita melihat perseteruan antara Amerika Serikat dan China yang menggila di antara keduanya.
Namun, jika kita menengok problmetika lokal, kita akan dihadapkan pada tajuk yang usang dan tidak kunjung hilang. Yakni, pergulatan antara Pancasila vs Khilafah. Keduanya selalu menjadi perbincangan panas bahkan terkadang terlalu ruwet untuk diurai, dirajut, dan diuntai menjadi busana keberagaman semua kalangan.
Kontemporer ini, pergunjingan antara Pancasila vs Khilafah tidak juga menemukan titik temu. Pengusung keduanya secara suka rela selalu kekeh dalam mempertahankan ambisinya, dalam menjadikan Pancasila atau Khilafah sebagai dasar berbangsa-bernegara. Menyaksikan bergulatan di antara keduanya, lantas siapa yang berhak juara?
Indonesia, sudah tujuh puluh lima tahun sejak kemerdekaan telah konsisten mempertahankan konsensus dasar berbangsa-bernegara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa, yakni Pancasila. Pancasila yang merupakan staatsfundamentalnorm dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia dinobatkan sebagai satu pionir kebanggaan Indonesia. Kerena, telah menjadi satu pedoman yang terbukti mampu menjadi tombak dan tameng dari disintegrasi bangsa.
Namun, di satu tempat yang lain, klaim penegakan khilafah sebagai solusi terhadap kegagalan pemerintah dalam menjalankan roda kenegaraan terus melonjak. Melambung tidak terhentikan, merasuki sendi-sendi masyarakat Indonesia. Pra dan pasca pemutaran film jejak Khilafah di Nusantara misalnya. Sejak pelarangan tayang film dokumenter produksi eks Hti tersebut, isu khilafah tidak juga kunjung surut. Bahkan, hastag twitter acap kali menjadikan khilafah sebagai tranding di medsos yang ditengarai terbesar penggunanya itu.
Seperti artikel yang saya temukan di salah satu portal berita online, riaunews.com berjudul Sistem Islam solusi kehidupan, apa yang harus ditakutkan?. Artikel yang ditulis oleh Nelly, Mpd ini secara eksplisit menjelaskan beberapa urgennya dewasa ini, Indonesia dan bahkan dunia membutuhkan khilafah sebagai dasar negara, serta secara verbal mengolok-ngolok sistem demokrasi Indonesia.
Miris memang, tetapi di sini saya tidak ingin menghakimi atau bahkan mengadili penulis, saya hanya ingin merundingkan atau lebih tepatnya menawarkan argumen, setidaknya sebagai vaksin terhadap virus khilafah yang dikemukakan oleh Nelly, M.pd.
Sebelum itu, saya sedikit ingin mengurai sejarah tatkala Indonesia masih dalam gejolak hidup di bawah kolonialisme dan imperialisme. Kemerdekaan Indonesia tujuh puluh lima tahun lalu, tidak dapat dipisahkan dengan ikut andilnya para pahlawan yang dalam hal ini mengorbankan nyawanya demi sebuah kemerdekaan bangsa. Dan jelas, di antara mereka memiliki kultur dan latar belakang yang berbeda-beda.
Dalam sejarahnya, indonesia adalah bangsa yang melahirkan dan dilahirkan dari keberagaman rakyatnya, berbeda kultur, ras, budaya, bahasa, dan agama. Namun, tetap satu misi dan tujuan, hidup aman berdampingan saling gotong royong terhadap sesama, tanpa harus melihat latar belakang individu atau kelompoknya. Senada dengan apa yang pernah diucapkan Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
Karena itu, para pendiri bangsa menciptakan satu konsensus dasar dan falsafah berbangsa-bernegara untuk Indonesia, yang mengemban keberagaman di dalamnya, yakni Pancasila. Pancasila dinyatakan sebagai dasar final terhadap negara paripurna, Indonesia. Dan diproyeksikan tepat sebagai jawaban terhadap tantangan zaman yang kian hari-kian kompleks.
Kembali lagi ke artikel yang ditulis Nelly, M.pd. Ia menyatakan, bahwa dalam mengelola negeri para pemimpin dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini menjadikan bangsa bukannya maju, berkeadilan dan makmur. Justru, dengan penerapan sistem aturan yang mengadopsi aturan barat inilah yang menjadikan negeri ini sedang melangkah menuju kehancuran.
Jika kita menelisik argumen yang ia lontarkan dari sudut pandang sejarah dan studi kritis, kita akan menemukan satu kekeliruan atau bahkan berlebihan. Ia seakan menempatkan dirinya pada posisi yang sempurna dan tidak tergoyahkan, sehingga dengan gegabah menjustifikasi secara sepihak bahwa bangsa Barat adalah sumber kehancuran. Padahal, di Indonesia para pendiri bangsa meraih kemerdekaan tidak terlepas dari semangat nasionalisme, yang notabene produk Barat. Dan tentu semangat kebangsaan yang tidak menyampingkan aspek keagamaan dan kemanusiaan.
Hal ini disadari betul oleh Bung Karno, bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah berbangsa-bernegara tidak terlepas dari peran konsep-konsep agama di dalamnya. Sebab itu, Bung Karno menekankan nasionalisme Indonesia tidak sama dengan nasionalisme Barat atau Jerman yang chauvisme.
Lanjut Nelly, Indonesia dan dunia sangat membutuhkan kehadiran kembali khilafah Islamiyyah sebagai solusi, untuk mengatasi kehancuran dunia akibat penerapan sistem kapitalis-sekular demokrasi. Mengapa?
Pertama, Indonesia dan dunia kini membutuhkan sebuah sistem yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan persaudaraan global. Kedua, dunia saat ini membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang mampu menjadikan manusia hidup bersama-sama, saling mendukung, saling melengkapi satu sama lain, dan bisa saling berbagi satu sama lain dalam sebuah negara global.
Membaca dua alasan Nelly dalam hal urgensi penerapan khilafah di Indonesia sangat menggelitik. Pasalnya, pertama, kita hanya disuguhkan dengan satu tawaran yang tidak solutif: khilafah, yang keberadaanya telah usang dan bahkan tergerus zaman. Kedua, jika kita melihat dan membaca nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, kita akan menemukan kewajiban negara dalam menciptakan tatanan negara yang sejahtera, adil, dan menjunjung tinggi persaudaraan bagi rakyatnya. Yang semuanya adalah jawaban dari kegundahan Nelly, sehingga dia tidak harus jauh-jauh mencari solusi problematik itu dengan khilafah.
Pancasila yang merupakan hasil dari pengejawantahan antara nasionalisme, Islamisme, dan sosialisme telah menjadi kesepakatan dasar dan falsafah bangsa. Ditegaskan Bung Karno, nasionalisme Indonesia telah melahirkan sila kebangsaan, Islam melahirkan sila ketuhanan, dan sosialisme melahirkan keadilan sosial.
Kemanusiaan sebagai sifat nasionalisme Indonesia yang humanistik bukan chauvinistik, serta demokrasi sebagai sistem politik bagi sistem ekonomi berkeadilan. Demokrasi Pancasila pun, di rumuskan sebagai politieke-economische demokratie, sebuah demokrasi politik-ekonomi yang tidak hanya memenuhi hak-hak politik demokrasi liberal, tetapi juga hak-hak ekonomi demokrasi sosial.
Padahal, jika saja kita mau meneliti lebih jauh lagi, filosofi yang ada dalam Pancasila, semua berorientasi pada dalil-dalil Al-Qur’an, seperti sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan “Katakanlah, Dialah Allah yang maha Esa”, (QS. al-Ikhlas: 1). Sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dengan (QS. an-Nisa: 135). Sila ketiga “Persatuan Indonesia” dengan (QS. al-Hujarat: 13).
Demikian sila kempat, dan kelima Pancasila. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan” dengan (QS. asy-Syuro: 38). Serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dengan (QS. an-Nahl: 90). Dan semua itu adalah respons dari imajinasi Nelly tentang khilafah, bahwa Pancasila pun sebagaimana khilafah nilai-nilainya tidak lepas dari intervensi al-Quran.
Dikisahkan, KH Hasyim Asy’ari seorang alim ulama, pendiri organisasi terbesar di Indonesia “NU”. Pada satu waktu, berbicara kepada Wahid Hasyim yang notabene anaknya dengan mengatakan, bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus. Sebab Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam.
Karena itu, menjadikan khilafah sebagai solusi setiap problematika zaman dan menggantikan ideologi Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm tidak hanya akan melanggar kesepakatan, tetapi juga akan merusak tatanan yang ada serta ahistoris. Bukan berarti pula saya menolak keberadaan khilafah, tetapi dalam hal ini alangkah baiknya kita bijak dan arif dalam melihat dan mengambil penilaian.
Di setiap pilihan pasti ada konsekuensi di dalamnya, tinggal bagaimana kita menyikapi dan mengimplementasikan pilihan itu. Pancasila adalah pilihan para pendiri bangsa, dan ia mengandung nilai-nilai keagamaan, serta menyimpan jawaban-jawaban terhadap tantangan zaman. Apalagi, dalam perumusan Pancasila para ulama seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan Agus Salim ikut andil di dalamnya.
Keberadaan masing-masing bentuk negara dan sistem pemerintahan itu disesuaikan dengan kebutuhan tiap zaman dan tempat. Apa yang cocok untuk suatu zaman dan tempat, belum tentu cocok untuk zaman dan tempat yang berbeda.
Pendek kata, amatan saya Pancasila lebih relevan dan solutif dijadikan dasar berbangsa-bernegara. Di satu sisi karena lahir dan besar dari rahim serta kultur bangsa Indonesia. Di sisi yang lain karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika khilafah dipaksakan, lalu khilafah mana dan yang seperti apa?
Fajar Insani, Pegiat Kajian Keislaman dan Keindonesiaan.