Khilafah.id – Dalam sebuah presentasi karya ilmiah bertajuk moderasi di salah satu PTKIN di Jawa Tengah, seorang doktor dari Tulungagung bertanya kepada saya: apakah moderasi Islam itu bisa memecahkan masalah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya sangat berhati-hati. Saya tahu itu pertanyaan jebakan tentang Islam moderat.
Moderasi, yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-wasth, wasthiyyah, atau al-tawassuth, akhir-akhir ini kerapkali menjadi perbincangan publik. Kementerian Agama bahkan menjadikan moderasi sebagai proyek utama pada setiap PTKIN, tentu saja untuk menjaga NKRI dari mengakarnya paham keislaman transnasional.
HTI telah dibubarkan. Itu bukti bahwa keislaman (lokal-moderat) kita masih kuat, masih fine-fine saja. Bahwasanya eks-HTI masih menjadi hantu yang siap menyusup kemanapun, itu benar adanya. Tetapi tidak semua eks-HTI harus kita boikot segala tindak-tanduknya. Kita kan sesama warga Negara. Tak perlulah mudah sewot dan baperan.
Oh ya kepada doktor dari Tulungagung tadi, setelah berpikir agak lama, saya bilang, “Moderasi Islam itu hanya konsep universal, Pak. Sedangkan setiap masalah itu ada di tataran empiris. Tentu saja konsep tidak bisa menyelesaikan persoalan praktis. Satu-satunya cara adalah kita menjadikan moderasi sebagai laku konkret atau amaliah kita.”
Pak doktor hanya mengangguk, dan sesekali menulis sesuatu. Maklum, saat itu, beliau sedang menjadi juri saya yang habis panjang lebar ngomongin moderasi. Apa yang saya jawabkan tentu saja bukan asal-asalan. Sebagai mahasiswa Ushuluddin yang fokus di bidang tafsir, saya lumayan paham tentang moderasi. (Maaf tidak bermaksud sombong!)
Dalam Alquran, derivasi w-s-th itu hanya disebut lima kali. Namun begitu ayat yang paling sering dipakai untuk moderasi keislaman adalah surah al-Baqarah [2]: 143. Ath-Thabari, mufasir generasi awal memaknai ummatan wasathan dengan ‘umat yang terpilih’, sementara ar-Razi memaknainya dengan ‘jauh dari dua titik ekstrem’.
Saat saya berkesempatan wawancara Maghdy B. Behman, seorang profesor Studi Antarbudaya dan Agama-agama Dunia di Eastern Mennonite University, di Harrisonburg, Virginia, AS, dalam suatu konferensi internasional, ia bahkan mengatakan bahwa moderasi Islam itu tak ada. Yang ada, dan yang moderat, kata Behman, ya orang Islam itu sendiri.
Profesor Quraish Shihab juga menerangkan syarat moderasi, dalam acara Halal bi Halal ASN Kemenag RI 2019. Kata Prof Quraish, ada tiga syarat moderasi:
Pertama, punya pengetahuan. Kata Prof Quraish, kita tidak akan bisa tahu siapa yang di tengah, kalau kita juga belum tahu berapa jumlah orangnya. Kita bisa bilang yang tengah adalah 2, kalau di situ ada 3 orang. Kalau ada 11 orang, maka tengahnya adalah 6. “Tanpa pengetahuan, Anda tidak bisa melaksanakan moderasi. Ini yang hilang dari kita,” dawuhnya.
Saling merasa yang paling moderat, kata Prof Quraish, adalah akibat dari tiadanya pengetahuan. Kita selalu merasa yang di tengah, sementara pengetahuan kita terhadap makna moderat itu sendiri masih amatiran. Dengan kata lain, moderasi kita hanya ikut-ikutan. Termasuk, pula, ikut aksi bela moderasi dengan cara-cara yang gak moderat.
Kedua, mengendalikan emosi. Penulis Tafsir Al-Mishbah itu kemudian mengutip QS. Hud [11]: 12, yang mengandung perintah moderasi, tetapi melarang untuk melampaui batas. “Yang membunuh Sayyidina Ali itu salatnya baik, bangun salat malam. Tapi emosi keagamaannya meluap-luap, sehingga dia mempersalahkan semua orang,” dawuhnya lagi.
Ketiga, terus-menerus berhati-hati. Prof Quraish menyarankan agar kita tidak kesusu mengambil keputusan. Selalu berbenah diri, berhati-hati dalam segala hal. “Itulah yang dituntut dari orang untuk melakukan moderasi. Pengetahuan, pengendalian emosi, dan terus menerus berhati-hati,” pungkasnya.
Mendengarkan penjelasan Prof Quraish membuat saya adem. Tentang apa itu hakikat moderasi betul-betul terpahami dengan sempurna. Baik Prof Quraish maupun at-Thabari dan ar-Razi, penuturannya tentang moderasi memang berangkat dari yang diajarkan Alquran. Beliaulah orang-orang moderat, pengusung moderasi, yang sebenarnya.
Apakah hanya mufasir-mufasir tersebut yang mensponsorkan moderasi? Jelas, tidak!
Nahdhatul Ulama (NU), di samping Muhammadiyah, adalah pengusung moderasi sejati. Keduanya bahkan dianggap dua sayap NKRI. Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan adalah proyeknya mengamalkan moderasi. Sementara pada diri NU, untuk mengkonter gerakan anti-moderasi, mereka punya pasukan yang namanya Banser.
Saya tidak tahu persis grand design Banser itu apa. Tetapi melihat nama kepanjangannya, Barisan Ansor Serbaguna, saya paham bahwa basis gerakan Banser berada di ranah keamanan. Pokoknya yang sekiranya dianggap mengancam NKRI, sikat! Bagi Banser, NKRI Harga Mati. Siapapun akan dilawan, demi tanah air, demi Ya Lal Wathan.
Atas segala upaya bergerak di bagian keamanan, seperti menjaga gereja dari serangan terorisme, saya pikir Banser wajib diapresiasi. NKRI yang menjemuk perlu perlindungan dari orang-orang yang rela berkorban, yang mencintai kiai, dari pelbagai kemungkinan ancaman, wabil khusus ancaman terhadap NKRI.
Akan tetapi, saya agak heran, kenapa tiga syarat Prof Quraish di atas rasa-rasanya sulit saya jumpai dalam diri Banser. Iya saya tahu mereka golongan moderat yang berusaha mengonter garis keras, tapi masa sesewot itu. Sudah begitu baperan lagi. Sedikit masalah, demo. Sedikit masalah, bakar. Sambil nyanyikan lagu mulianya, Ya Lal Wathan.
Misalnya yang terjadi dua tahun lalu. Puluhan Banser dikabarkan menggeruduk kantor Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan di Balaikota, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Tujuan unjuk rasa tersebut adalah untuk memboikot Felix Siauw yang dijadwalkan ceramah, berdasarkan undangan Pemprov DKI, di Masjid Fatahillah.
Aksi Banser ini bukan kali pertama. Sekitar empat tahun lalu, mereka juga memboikot pengajian Khalid Basalamah di Masjid Shalahuddin, Sidoarjo. Jika Felix ditolak karena dituding anti-Pancasila, Khalid Basalamah dibubarkan pengajiannya karena ia dituding Wahabi. Meski keduanya benar demikian, tapi ada tatacaranya.
Okelah. Kita tahu menjaga NKRI itu wajib hukumnya. Mencintai tanah air itu bagian dari iman. Moderat itu anjuran Al-Qur’an. Tapi jangan main geruduk-geruduk sembarangan begitulah. Memang gak bisa ya kalau dibicarakan baik-baik tanpa demo, kok mudah sekali ingin bubarkan pengajian. Moderat kok fanatis sama kemoderatannya.
Moderasinya Banser itu menurut saya gak asyik. Mereka sewot, plus baperan. Coba saja mereka memahami ceramah Prof Quraish tentang tiga syarat moderasi di atas, main geruduk itu pasti gak akan terjadi. Pengajian Felix kan belum terjadi kok ya sudah diboikot duluan. Itu namanya persekusi, mendiskriminasi orang lain dari haknya sendiri.
Kenapa tak menunggu pengajian selesai? Kalau ada konten yang bertentangan dengan Pancasila, barulah tindakan segera dilakukan. Itu sebenarnya benci ke-anti-Pancasilaan Felix Siauw, atau benci si Felix itu sendiri? Felix dan Basalamah memang haram diberikan tempat ceramah, tapi penolakan atas mereka bisa dilakukan dengan cara yang baik.
Banser pasti tak akan main geruduk sembarangan, andai syarat kedua Prof Quraish, yakni pengendalian emosi, dan syarat ketiga yaitu berhati-hati, mereka amalkan. Gairah kemoderatannya meluap-luap sih, sampai harus sweeping yang tak sepaham. Sikap kehati-hatian mereka juga absen, saking bencinya sama Felix, ustaz khilafahers HTI itu.
Ayolah, Banser. Jangan sewot dan baperan. Ingat kata Prof Quraish, pengetahuan, pengendalian emosi, dan berhati-hati, adalah syarat mutlak moderasi. Tanpa itu semua, Anda, eh Sampean, tidak akan bisa melaksanakan moderasi!
Data Pers
Kompas, “Banser Demo Protes Felix Siauw Jadi Penceramah di Balai Kota DKI,” https://megapolitan.kompas.com/read/2019/06/26/14344281/banser-demo-protes-felix-siauw-jadi-penceramah-di-balai-kota-dki?page=all
JPNN, “Felix Siauw Isi Pengajian di Masjid Fatahilah, Banser Serbu Balai Kota Jakarta,” https://www.jpnn.com/news/felix-siaw-isi-pengajian-di-masjid-fatahilah-banser-serbu-balai-kota-jakarta?page=2
Detik, “Ansor dan Banser Sidoarjo Minta Ceramah Khalid Basalamah Dihentikan,” https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3438277/ansor-dan-banser-sidoarjo-minta-ceramah-khalid-basalamah-dihentikan
Ahmad Khoiri, Mahasiswa UIN Jakarta.