Khilafah.id – Dalam sistem demokrasi yang dianut, salah satu proses yang perlu terjaga kesakralannya adalah proses kontestasi politik atau biasa disebut sebagai pemilihan umum. Dalam iklim demokrasi Indonesia, pemilihan umum menjadi primadona tersendiri oleh berbagai kalangan di masyarakat.
Bukan tanpa alasan oleh sebagian orang, pemilihan umum yang terjadi seperti pilpres, pileg atau pilkada bukan hanya soal ajang demokrasi belaka, tapi juga soal pertaruhan politik dan kekuasaan yang mentereng. Pemilu menjadi salah satu proses yang sah dalam menggulingkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaaan yang sah. Maka tak ayal apabila berbagai kalangan masyarakat menanti dan menunggu kontestasi empat tahun sekali tersebut. Ada yang menyambut antusias, namun tidak sedikit juga yang melihat hanya sebatas “omongan belaka” oleh bualan politikus.
Salah satu entitas yang terlibat dalam pemilu adalah partai politik. Partai politik menjadi salah satu kendaraan yang kerap menghiasi kepesertaan pemilu diberbagai level tingkatan. Sesungguhnya partai politik mempunyai peran yang sangat mulia pada kontestasi ini, mereka yang menyeleksi kandidat, mereka yang menghadirkan kandidat ke publik, mereka juga yang menjadi patron oleh masyarakat dalam memilih dan memberikan hak suaranya.
Peran tersebut menjadikan partai politik sebagai kendaraan oleh berbagai actor politik yang ingin berkontestasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Thomas Meyer (2012), partai politik berfungsi untuk mengagresikan kepentingan khalayak publik, mengarahkannya dan merancangnya dalam bentuk legislasi. Menurutnya Meyer, partai politik menjadi hal yang tak terpisahkan dalam sistem demokrasi. Meskipun sebenarnya, partai politik kerap tidak berfungsi secara demokratis.
Hal ini juga telah ditegaskan dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik “organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita utnuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara kebutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.
Kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi sendiri juga diharapkan mengambil peran dalam mendidik publik sehingga tidak menjadi apolitic. Meskipun realitasnya, publik menjadi apolitic juga karena tingkah laku pejabat publik dan partai politik yang mengkhianati kepercayaan masyarakat.
Problematika Partai Politik
Meskipun partai politik menjadi bagian yang sentral dalam sistem demokrasi, nampaknya kehadiran partai politik juga mengalami tantangan yang sangat besar dalam menarik simpati publik. Berdasarkan survey LSI tahun 2021, Partai politik sulit untuk mengidentifikasi dirinya dan berbaur kepada publik.
Tindakan nepotisme dalam menjaring bakal calon justru mereduksi makna demokrasi. Adagium hukum “equality before the law” menjadikan semua warga negara mempunyai hak yang sama dengan tidak melihat latar belakangnya termasuk dalam urusan politik. Paling tidak, menurut riset Negara Institute (2019), sekitar 17,22% anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dinasti politik, karena mempunyai pertalian keluarga, pernikahan atau kombinasi keduanya. Seperti DPR, potret dinasti politik juga terpampang jelas pada konstestasi pilkada di beberapa daerah di Indonesia.
Contoh yang paling nyata adalah kontestasi Pilwalkot tahun 2020, yang menyita perhatian publik karena kuat dugaan adanya dinasti politik, yaitu Pilwalkot Solo yang dimenangkan Gibran Rakabumi (Putra Presiden Jokowi) dan Pilwalkot Medan yang juga berhasil dimenangkan Bobby Nasution (Menantu Presiden Jokowi). Meskipun Presiden Jokowi menampik adanya keterlibatan dalam pemenangan keduanya, fakta bahwa dia masih Presiden tidak bisa dinegasikan sebagai pejabat politik yang mempunyai pengaruh politik yang sangat luas.
Persoalan yang lain ialah partai politik tidak mampu membendung arus perilaku koruptif buat kader-kadernya yang terpilih secara struktual di lingkup eksekutif dan legislatif. Potret tindakan korupsi yang melibatkan sejumlah kader partai politik, semakin menegaskan disfungsi dari partai politik tersebut.
Mayoritas partai politik di Indonesia, paling tidak pernah terseret kasus akibat ulah dari kader-kadernya. Indonesia Corruption Watch (ICW), pernah merilis berita pada tahun 2019, bahwa ada 238 DPR periode 2014-2019 yang terlibat kasus korupsi. Partai Golkar menjadi partai teratas adanya keterlibatan korupsi dengan 52 kasus, diikuti oleh PDIP dan Demokrat yang masing-masing keduanya terlibat 34 kasus salama 5 tahun tersebut.
Kaum Muda dan Harapan Politik Indonesia
Di tengah kejumudan aktivitas politik yang dihiasi oleh kaum tua, muncul secercah harapan di pundak kaum muda. Kesadaran politik kaum muda bisa menjadi penambal dan penggedor spiriti politik yang telah layu dimakan usia para politikus tua. Layaknya Sukarno dan Hatta muda, kaum muda diharapkan mampu berpartisipasi dan berperan aktif pada sejumlah aktivitas politik di Indoensia.
Namun, anggapan bahwa kaum muda masih terlalu belia untuk urusan politik, nampaknya masih sering terdengar pada pembicaraan politik. Kaum muda dianggap mempunyai kondisi emosional yang labil dan tidak objektif, senangnya hanya bermain dan tidak peduli dengan urusan negara. Labelisasi ini semakin kuat tatkala kursi DPR RI hampir seluruhnya dikuasai oleh politikus kaum tua. Sebanyak 575 anggota DPR pada tahun 2019-2024, hanya 4 % kelompok usia 20-30 yang berhasil menduduki kursi senayan. Anggota DPR masih di dominasi oleh kelompok usia 51- 60 tahun sebanyak 35,65 %, dan diikuti oleh kelompok usia 40-51 tahun sebanyak 31,83 %.
Perkembangan zaman menjadikan kaum muda menempatkan posisi yang strategis dalam diskursus politik. Para partai politik dan politikus mulai menargetkan kaum muda sebagai basis massa yang pasif. Aktivitas kaum muda di media dalam merespon situasi dan perkembangan politik justru sangat berpengaruh terhadap penggiringan isu dan kampanye politik.
Beberapa tahun terakhir, kaum muda justru kerap kali muncul sebagai dalam berbagai platform dan diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Politik Indonesia akhirnya mengalami transisi yang luar biasa, dulu sumber dan informasi terkait dengan politik hampir seluruhnya dikuasai oleh korporasi dan industri media yang terafiliasi partai politik. Namun tidak dengan sekarang, perkembangan media memaksa aktivtas politik yang dulu “diam-diam” menjadi sangat terbuka, meskipun keterbukaan itu juga kerap menggangu aktivitas privasi seseorang.
Kaum muda berbondong-bondog menjadi influencer dan content creator. Menanggapai berbagai isu, memberikan pandangan politiknya, membeberkan sederet fakta atau bahkan berani menyuarakan hal-hal yang sensitif. Aktivitas ini memberikan kaum muda untuk mengakses segala informasi tanpa batas, tanpa terikat aturan partai politik, atau takut karena iming-imingan pemceatan jabatan. Maka sayang apabila potensi kaum muda hanya dimanfaatkan oleh segelintir kelompok, untuk dijadikan sebagai lumbung suara. Kaum muda berhak menentukan pilihannya masing-masing, dan ekspresi politiknya. Politik kaum muda sangat cair, berbeda halnya dengan kaum tua yang terlihat sangat kaku.
Hongkong mungkin bisa menjadi referensi politik kaum muda, tahun 2016 seorang politikus muda, Nathan Law berhasil mengantongi suara sebanyak 50 ribu suara yang menghantarkannya sebagai anggota termuda di usia 23 tahun.
Di Eropa peran kaum muda lebih luas lagi, sense politik yang mereka ekspresikan tidak terbatas hanya persoalan teritori negara mereka, bahkan lebih jauh lagi. Mereka menganggap sebagai warga global yang harus peduli terhadap isu-isu internasional, khususnya negara konflik, terjadinya pelanggaran HAM, krisis iklim hampir seluruh negara mengalaminya atau kejahatan terorisme (Penelitian Komisi Eropa,2013).
Pendidikan Politik buat Kaum Muda
Meskipun aktivitas politik kaum muda menjadi sangat luas dan cair, bukan berarti aktivitas ini tanpa masalah. Aktivitas kaum muda dalam mengeskpresikan politiknya juga mengalami kontradiksi yang curam. Menurut Aulia D Nastuti (2017), aktivitas politik yang dilakukan oleh kaum muda, disatu sisi terlihat sangat aktif dalam merespon isu dan mengomentari kebijakan yang diputuskan, disisi lainnya justru kaum muda terjebak dan terisolasi terhadap politik partisan yang mampu mengambil peran yang lebih strategis.
Meskipun terlihat bebas dan independen dalam mengeskpresikan pandangan politiknya di media, kaum muda justru sering muncul tanpa dasar dan pemikiran yang utuh, atau lebih jauh lagi tidak mempunyai ideologi politik yang jelas. Tanpa identitas politik yang utuh, kaum muda bisa dimanfaatkan oleh kepentingan ideologi tertentu dan menceburkan diri secara tidak sengaja. Bahkan lebih parahnya lagi, kaum muda hanya dijadikan sebagai corong ideologi tertentu, tanpa sadar apa yang mereka lakukan. Maka keaktifan kaum muda dalam mengeskpresikan pilihan politiknya harus dibarengi oleh pendidikan politik yang gamblang.
Pendidikan politik kaum muda tidak harus sama dengan Pendidikan politik kaum tua yang bersifat tradisional-rekruitmen partai atau menjadi anggota partisan-, meskipun tidak sepenuhnya juga untuk ditinggalkan. Paling tidak, kaum muda dalam merawat dan melatih ide politiknya bisa membentuk komunitas baik bersifat maya atau langsung.
Memiliki koneksi antar sesama cenderung membuat pola pikir terlatih dengan daya yang kritis. Bersama mengkaji isu, membicarakan berbagai topik, berbagai pemikiran politik hingga persoalan teknis, akan membentuk seorang pribadi yang berkarakter dan mempunyai identitas politik. Sehingga tatkala kaum muda menyuarakan ekspresi politiknya dalam panggung yang lebih luas, ekspresi politik yang dihasilkan bukan lagi sebatas pragmatis-partisan tapi esensial-partisan.
Muh Taufiq Firdaus, Kabid Hikmah DPD IMM DIY// Pegiat Rumah Integritas//Maarif Institute.