Khilafah.id – Kenapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selalu mengundang masyarakat untuk mengkritik, mengecam dan pada akhirnya membubarkan. Bahkan tidak jarang HTI kerap menjadi topik perbincangan, didiskusikan, dan dikaji dimana-mana bukan karena nilainya, bukan karena sumbangsih ideologinya untuk Indonesia, bukan karena paradigma yang dibangunnya. Tetapi problematika dan kengototan yang masih berupa halusinasi dari para eks-HTI. Sebenarnya bukan hanya di Indonesia yang garang atas Hizbut Tahrir, sekurang-kurangnya ada 20 negara di seluruh dunia yang melarang Hizbut Tahrir berkembang di negaranya lantaran beberapa alasan, mulai dari anggapan mengancam kedaulatan negara, keterlibatan dalam kudeta hingga keterlibatan dalam aksi terorisme.
Kesukaan Hizbut Tahrir di Indonesia biasanya membanding-bandingkan antara ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad dengan konsep ideologi negara seperti mengecam terhadap demokrasi sebagai kedaulatan di tangan rakyat, sedangkan mereka mengklaim kelompoknya sebagai pembawa ajaran syariah yang paling benar seperti kedaulatan yang sesungguhnya di tangan syariah Islam. Mereka kemudian mengaitkan ajaran khilafah sebagai Islam yang murni sedangkan demokrasi di Indonesia adalah ajaran thaghut yang tidak lain kepanjangan tangan dari ajaran filsuf Plato.
Padahal belum tentu mereka membaca konsep demokrasi Plato, meski senyatanya Plato bahkan mengkritik sistem demokrasi yang berlangsung saat itu, karena kebebasan yang terlalu bebas, mereka tidak akan membaca buku “Republic”-nya Plato yang lebih sepakat dengan sistem pemerintahan aristokrasi dengan lantang Plato memposisikan sekelompok kecil orang dengan pendidikan tinggi yang bisa mengatur negara ideal seperti filsuf atau orang yang bijak (G. R. F. Ferrari, 2007) karena tidak mugkin masyarakat yang tidak berilmu bisa memimpin sebuah negara.
Pemikiran Plato ini sejalan dengan seorang filsuf al-Fārabi yang memiliki pandangan demikian, bahwa orang ahli hikmah, filsuf atau seorang Nabi pantas memimpin sebuah negara. Menolak demokrasi ala Plato sebenarnya HTI telah menolak mendabakan pemimpin seperti Nabi yang bijaksana dan adil. Bahkan cita-cita dari sitem demokrasi tidak lain adalah untuk mencapai stabilitas dan ketentraman negara menuju negara yang berkemajuan dan keadaban.
Pendapat HTI bisa ditepis dengan menguntip apa yang dinyatakan oleh Pancasila. Dalam sila keempat ada kalimat yang tegas seperti ini: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan…” Itu artinya, Pancasila memerhatikan suara rakyat, namun rakyat tersebut harus dipimpin oleh orang yang bijaksana (yang punya lebih banyak pengetahuan). Kekeliruan mereka dalam menilai demokrasi ala Plato menjadi tanda bahwa HTI sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengkaji dan menelaah sitem yang dianut negara Indonesia namun boro-boro mereka menolak dan ingin menggantinya.
HTI terus menerus membanding-bandingkan meski seharusnya tidak bisa dibandingkan, mereka membandingkan khilafah satu-satunya yang membawa kebenaran sesuai dengan nash syariah Islam, sedangkan demokrasi dinilai sebagai kebenaran yang mengacu pada suara terbanyak. HTI sistem terbaik dan demokrasi sistem terburuk, dan seterusnya, semua yang bernilai syariah dan berbau agama mereka mengklaimnya sebagai prinsipnya.
Meneguhkan Sebagai Pengasong
Keterbatasan para tokoh khilafah di Indonesia baik dari kredibilitas dan kemampuannya, bukan sekadar meragukan, mugkin sudah sejak awal kelompok ini secara terang-terangan telah meneguhkan eksistensinya di bumi pertiwi sebagai pengasong khilafah dengan dua cara, baik menggunakan pendekatan narasi-narasi permusuhan antara Islam dan Barat, dan menggunakan pendekatan aksi-aksi kekerasan berupa teror. Stanislaus Riyanta seorang pengamat Intelijen pernah mengatakan bahwa paham Khilafah di Indonesia tidak berdiri sendiri, mereka bagian dari kelompok transnasional dari berbagai macam kelompok yang memiliki tujuan mengganti sistem negara.
Beberapa tokoh HTI seperti macan ompong, mereka tidak bisa menerkam musuh karena kekuatan musuh sangat berdasar, argumen-argumennya dapat mematahkan lawan karena menggunakan referensi-referensi yang sulit untuk dipatahkan. Mereka menolak Pancasila dari kesepakatan dan musyawarah para pendiri bangsa, tapi mereka sendiri melupakan bahwa khilafah di Indonesia merupakan sistem kesepakatan atau konsensus bersama. Mereka memicingkan mata ketika Pancasila mampu menciptakan hidup damai, menanamkan religiusitas, menciptakan peradaban yang adil, dan menerima segala bentuk perbedaan. Maka jika khilafah adalah hasil ijtihad maka Pancasila juga hasil ijtihad.
Menolak tawaran kelompok HTI sebenarnya sangatlah mudah, cara-cara yang mereka lakukan cenderung tidak sesuai dengan fakta, sering memalsukan realitas yang sebenarnya, seperti akhir-akhir ini mereka membuat film “Jejak Khilafah di Nusantara” dengan banyak manipulasi fakta historis. Mendebat argumen-argumen mereka sama artinya dengan berdebat kusir. Tidak ada yang mau mengalah. Tapi, masyarakat menilai. Bagaimana kemampuan Ustadz Felix Siauw, Ustadz Ismail Yusanto, Tengku Zulkarnaen sampai Sugi Nur Raharja atau Gus Nur dibandingkan dengan kemampuan ulama kita seperti Yahya Cholil Staquf dan Gus Mus telah mampu mendebat semuanya, tidak usahlah menyebut terlalu banyak. Cukup sebagian saja bisa meruntuhkan semua argumen-argumen mereka.
Mementingkan Kekuasaan
Mereka selalu mengimpikan kebangkitan Khilafah itu terjadi, padahal keberadaan ideologi mereka hanya memunculkan kekacauan di seluruh dunia, ideologi yang mereka usung hanya mengedepankan politik kekuasaan. Semestinya, nilai-nilai agama dikembalikan kepada agama yang membawa nilai-nilai rahmatan lil alamin dan kemanusiaan. Khazanah dari kitab klasik yang mereka jadikan referensi tidak lebih sebagai justifikasi untuk melancarkan visi-misinya. Mereka menjualnya tanpa memahami dengan baik konsep yang dijualnya.
Ketika mereka mendebat konsep demokrasi Indonesia berkiblat kepada Plato sungguh mereka telah menampakkan sebuah kebodohan. Karena secara jelas, HTI tidak akan bisa mendapatkan kekuasaan tersebut dengan sistem demokrasi, apalagi demokrasi yang diimpikan oleh Plato. Bagaimana bisa HTI menyuguhkan tokoh-tokoh yang ideal untuk dicalonkan memimpin masa depan Indonesia sedangkan kapasitas seorang pemimpin sangat urgen sekali untuk menciptakan negara yang ideal.
Jika HTI adalah sebuah perjuangan mencari kekuasaan, seperti pernah ditegaskan oleh Yazid bin Muawiyah (647-683) bahwa agama Islam adalah perebutan kekuasaan maka cukup beralasan masyarakat menolaknya. Menurutnya, agama adalah kekuasaan itu sendiri. Sehingga orang HTI sempat mengecam Nabi Muhammad belum bisa menyebarkan Islam rahmatan lil alamin sebelum menjadi pemimpin politik atau sebelum menjadi khalifah. Bagaimanapun caranya, menurut ideologi khilafah merebut kekuasaan harus dilakukan dengan cara-cara kudeta sehingga pertumpahan darah dan konflik peperangan antar saudara meletus hanya demi mendapatkan kekuasaan tersebut. Wallahua’lam.
Jamalul Muttaqin, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.