Khilafah.id – Gelombang penolakan himbauan terhadap stasiun TV untuk mengganti azan dengan peringatan running text untuk memperingatkan masuk waktu salat sempat viral. Penolakan ini ditandai dengan gerakan mematikan TV dari pukul 16.00-21.00 oleh sekelompok ormas dan institusi keagamaan.
Menurut banyak pihak, gerakan tersebut dianggap penistaan terhadap Islam. Gerakan tersebut sebagai tanda kewaspadaan umat Islam terhadap pelaksanaan Misa Akbar di GBK yang akan disiarkan secara live di seluruh stasiun televisi nasional. Gerakan ini untuk memastikan bahwa keluarga muslim di Indonesia tidak terpengaruh dengan agama lain atau agama yang dibawa oleh Paus Fransiskus. Benarkah?
Tiga Indikator
Tidak terlalu aneh mengapa gerakan ini sering terjadi di Indonesia. Ini setidaknya bisa dilihat dalam beberapa indikator. Pertama, karena semangat keagamaan di Indonesia lagi tinggi-tingginya. Bayangkan, tidak hanya dalam ragam kegiatan spiritual seperti salat, azan, zakat yang harus disisipkan keagamaan. Bahkan dalam ranah olahraga, seperti bola, voli, pacuan kuda, memanah tidak luput dengan keharusan pelibatan keagamaan. Bahkan mereka mencoba masuk dan gembira dengan olahraga itu karena alasan-alasan teologis.
Kedua, ketiadaan perspektif lain dalam melihat konteks yang ideal. Umpamanya dalam melihat kebijakan/himbauan mengganti azan dengan peringatan running text atau tulisan. Menurut pihak yang sempit perspektifnya, penggantian siaran azan menunjukkan peniadaan azan. Karena inilah mereka menganggap pemerintah telah bersekutu dengan Vatikan untuk mengganti azan dan dalam upaya pelarangan azan di masjid sebagai bagian dari pemisahan syariat Islam.
Ketiga, kurangnya memahami agama dengan jernih, lengkap dan mendalam. Ini terlihat bahkan dalam institusi pemerintah sendiri seperti MUI. Bagi MUI, peniadaan azan itu adalah bentuk kekalahan umat Islam sebagai mayoritas terhadap minoritas. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Muhyiddin Junaidi mengatakan: “ini bagian dari penyakit sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Umat Katolik yang masih minoritas saja sudah berani memaksakan kehendak mereka kepada kelompok mayoritas negeri ini, apalagi jika menjadi mayoritas,” ujar Muhyiddin.
Kebingungan Bersikap
Apa yang bisa ditangkap dari pernyataan Ketua MUI itu? Menurut dia pergantian siaran azan Magrib dengan running text sebagai bentuk pemaksaan kehendak di negeri mayoritas Muslim ini. Bahkan dia menarik isu itu ke dalam isu lain seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan yang terkini isu islamofobia.
Penyataan itu tidaklah lain selain memang kesempitan dalam memahami konteks sebagai kesatuan dalam melihat realitas keberadaan keagamaan Indonesia, memang karena pongahnya sebagai mayoritas dalam klaim keagamaan di Indonesia. Negara sekuler atau apalah itu dalam ingatan MUI adalah bentuk ketidaktahuan dalam melihat ragamnya keagamaan di Indonesia. Jika MUI saja sudah begitu, lalu bagaimana dengan ormas ekstrem lainnya?
Ketua DPP Front Persaudaraan Islam (FPI), Aziz Yanuar mengatakan, penggantian azan Magrib dengan running text bentuk rezim sudah terjangkit virus islamfobia dan intoleran terhadap keberadaan azan Magrib dan ajaran Islam. Menurut dia, kebijakan ini telah menyakiti umat Islam sehingga menurutnya pihak FPI, GNPFU dan PERSADA 212 menyatakan sikap protes keras. Baginya, azan adalah bentuk suara yang dikumandangkan, bukan bentuk pengumuman tulisan. Ini bagian dari mengubah syariat Islam. Ini bentuk penghinaan umat dan penistaan syariat Islam.
Islam Agama Kedamaian
Menurut saya, semua ribut-ribut di atas masuk dalam tiga indikasi di atas. Mereka hanya melihat dalam satu sisi, dan berupaya menggoreng isu tersebut untuk dibawa ke dalam kepentingannya masing-masing. Penggantian ke running text bukan karena islamofobia dan negara kafir. Bukan pula karena bentuk penistaan ajaran Islam dan kekalahan Islam. Melainkan hanya untuk sebagai sandaran persaudaraan untuk sesama umat beragama. Azan di televisi diganti ke ke running text ketika olahraga sepak bola tidak apa-apa selama ini?
Upaya untuk mengeksploitasi emosi umat dalam konteks isu ini seharusnya dihentikan. Kini mari kita perbaiki itu semua dengan cara membuka perspektif secara lebar dan mendalam. Tidak ada salahnya umat Islam belajar lagi tentang keislamannya dan memahami ajaran/esensi Islam itu sendiri. Sebab Islam, bukan agama emosional. Agama Islam adalah agama kedamaian dan ketentraman.