Khilafah.id – Pada Februari lalu organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama via Yahya Cholil Staquf menyamakan antara komunisme dengan khilafatisme sebagai gerakan internasional yang menginginkan satu rezim global.
NU dengan tegas menolak ideologi transnasional khilafatisme ini. Pernyataan yang sangat tegas ini muncul di sela-sela sidang batsul masail Maudu’iyah dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Kota Banjar, Jawa Barat. Penyamaan antara komunisme dan khilafatisme ini menarik untuk ditelisik lebih jauh.
Internasionalisme sebagai gerakan revolusioner memiliki akarnya di gerakan sosialis radikal. Ia mendapatkan oli dan dorongan yang lebih kencang sesudah kesuksesan revolusi Bolshevik di Rusia. Bolshevisme berhasil melakukan revolusi pada Oktober 1917 dan belakangan mendirikan Union of Soviet Socialist Republics (USSR) pada 1922, menghapuskan Tsar Rusia. Lenin sebagai pemimpin gerakan Bolshevisme/Komunisme menyebut gerakan mereka sebagai Internasional Ketiga.
Sementara pada 2014 lalu, bermula di Irak dan Suriah, satu gerakan revolusioner yang mengejutkan bernama Islamic State juga mengupayakan satu sistem pemerintahan yang global. IS menyebut dirinya sebagai pemerintahan kekhalifahan. IS punya beragam sebutan lain, seperti Islamic State of Irak and Syam (ISIS), Islamic State of Irak and Levante (ISIL), dan beberapa menyebutnya Daesh.
Kini, meski gerakan komunisme Soviet dan khilafatisme IS telah hancur, namun sebagai gagasan keduanya tetap hidup. Bagi kita selaku publik tetaplah perlu untuk membandingkan keduanya secara ilmiah dan historis.
Paralel antara komunisme dengan khilafatisme bukan hal yang asing sejatinya. Beberapa analis politik internasional telah menyingkapkan hal ini dalam perbandingan mereka saat kemunculan IS. Berikut saya kutip dari Simon Saradzhyan and Monica Duffy Toft dalam artikel “Islamic State and the Bolsheviks: Plenty in Common and Lessons to Heed” di Russia Matter (16/12/2016) yang mendedahkan tipikal kedua gerakan tersebut.
Paralel antara kaum Bolshevik awal dengan IS:
- Bolshevik memprioritaskan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka, demikian pula IS. Para pemimpin Bolshevik mempercayai bahwa bila Partai tidak menggunakan kekerasan terhadap musuh luar negeri dan dalam negerinya, maka para musuh itulah yang akan menggunakan kekerasan untuk mengamankan diri dari efek revolusioner yang niscaya terjadi. IS juga dengan jelas memprioritaskankan penggunaan kekerasan terhadap musuh luar negeri dan dalam negerinya, dengan tujuan pemberangusan sepenuhnya.
- Kaum Bolshevik memenjarakan dan membunuh orang-orang tak berdosa di wilayah yang dikuasainya dalam skala yang massif. Demikian pula IS, meskipun jumlah nyawa yang dirampas IS terbilang kecil dibanding kaum Bolshevik.
- Keduanya mempersekusi kalangan yang dianggap memiliki keyakinan “salah”. Kaum atheis Bolshevik bukan hanya menghancurkan gereja, menindas orang yang beriman dan mengeksekusi pendeta, mereka juga memenjarakan membunuh orang-orang yang memiliki pandangan ideologis berbeda dari tafsirannya tentang komunisme. IS, di lain pihak, juga menghancurkan gereja dan monumen-monumen bersejarah, menindas orang-orang yang dianggap bukan mukmin “sejati” dan mengeksekusi orang-orang yang dipandang kafir dan musyrik.
- Keduanya tak punya toleransi dalam golongannya sendiri. Kaum Bolshevik meyakini bahwa Partai haruslah monolitik dalam struktur internalnya dan bahwa kelompok apa pun yang tak dikontrol oleh Partai adalah musuh. IS menindas pembangkang di antara anggota-anggotanya dan mengeksekusi “pengkhianat” untuk memastikan bahwa dirinya tak terbelah.
- Kaum Bolshevik menganut pandangan jangka panjang tentang perjuangan melawan dominasi global. Sama halnya IS. Kaum Bolshevik berharap menegakkan rezim komunis di seluruh dunia di kepemimpinan otokratik USSR. Adapun IS mengupayakan kekhilafahan totalitarian yang berpusat di awal wilayah di mana ia muncul dan belakangan merentang ke seluruh dunia.
- Seperti halnya rezim Soviet awal dikelilingi (dan untuk beberapa waktu secara parsial dikuasai) oleh kekuatan Barat yang bermusuhan, demikian pula IS dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang bermusuhan, yang kebanyakan didukung kuat oleh kekuatan-kekuatan Barat.
- Ketika menghadapi negara komunis revolusioner kekuatan-kekuatan Barat kekurangan kehendak (dan kapasitas) untuk mengerahkan pasukan darat dengan jumlah yang cukup untuk mengalahkannya. Demikian pula AS dan sekutu-sekutunya tak mau mengirim pasukan darat reguler untuk melawan IS, dan lebih suka menggunakan kekuatan udara dan pasukan khusus.
- Kaum Bolshevik memprioritaskan perluasan teritorial dan berupaya mengamankan teritori baru untuk mengorganisasikan perjuangan ideologisnya, demikian pula IS sampai akhirnya terpaksa bertindak defensif. Kaum Bolshevik percaya bahwa Partai harus mengambil kepemilikan atas tanah tak bertuan, atau musuhlah yang akan melakukannya. IS berupaya mengklaim kembali apa yang dianggapnya tanah-tanah umat Arab dan kekhalifahan abad pertengahan dengan menggunakan peta historis seluas mungkin.
- Keduanya membuat kemajuan secara lokal dan global, yang dipercepat oleh kehadiran intervensi asing yang berupaya membalikkan situasi yang dicapai dan dilegitimasi melalui ideologi.
Selain kesamaan, ada perbedaan penting yang patut dikemukakan antara kedua gerakan ini. Pertama, kekuatan militer relatifnya. Modernisasi pasukan bersenjata Soviet meningkatkan ancaman militer objektif oleh USSR pada para lawannya.
Ancaman tersebut menjadi nyata ketika Soviet memperoleh senjata nuklir. Sebaliknya, satu alasan kesuksesan militer utama awal IS adalah kenyataan bahwa negara-negara sekitarnya lemah secara militer.
Negara-negara sekitar IS tak punya basis demografi atau pun industrial untuk menciptakan atau mempertahankan kemampuan militer yang modern demi menanggulangi IS. Angkatan bersenjata kekuatan-kekuatan regional seperti Iran, Israel, Mesir dan Turki semestinya mampu menghancurkan “tentara” IS secara cepat dalam perlombaan militer, khususnya karena ada batas-batas ideologis dan lainnya bagi pasukan IS untuk memodernisir diri.
Kedua, perbedaan pandangan ihwal modernitas dalam kelompok-kelompok ideologisnya. Di satu pihak, seperti disinggung di atas, ada sentralitas kekerasan yang dijustifikasi pada skala massif terhadap pihak yang tak setuju atau melawan ideologi mereka. Baik Bolshevik maupun IS memobilisasi pengikut-pengikutnya untuk melakukan kekerasan terhadap lawan.
Tetapi, penting digarisbawahi, bilamana kaum Bolshevik mengadopsi ideologi modern yang menjadi sabuk pengamannya menuju era industri, IS justru sebaliknya menghela balik peradaban ke belakang ke abad ketujuh era nabi Muhammad SAW yang diromantisir. Pembalikan menuju era masa silam ini barangkali merupakan tantangan utama ketika harus memodernisir pasukan-pasukan IS.
Kelompok IS secara sistematis menerbelakangkan dirinya dalam kapasitas pendidikan, ekonomi, industrial, sosial dan militer demi mencapai visi raksasanya mendominasi dunia. Ideologi kaum Bolshevik cukup menarik bagi 8.000 sukarelawan di jajaran tentara Rusia Tsar yang lantas membentuk Tentara Merah. Sebaliknya, ideologi IS telah menarik ribuan orang-orang sipil yang gelisah dari wilayah sekitar dan luar negeri tetapi dengan latar belakang pelatihan militer yang kecil atau bahkan tidak ada. IS berusaha menarik hanya 100-160 mantan perwira Saddam Hussein yang telah pensiun dari tentara Irak.
Modernisasi bukanlah semata mendapatkan teknologi pembunuhan (tank, pesawat tempur, artileri berat dan seterusnya), ia adalah mindset, pola pikir. Inilah yang menjelaskan mengapa banyaknya orang-orang skill yang diperlukan untuk menjalankan teknologi modern malahan dibantai oleh ideolog-ideolog IS atau pun desertir IS ketika mereka bisa membunuhnya.
Arkian, catatan di atas membawa kita pada kesimpulan sementara bahwa kesamaan antara gerakan Bolshevik dengan IS kiranya cukup banyak tinimbang perbedaannya.
Riza Bahtiar, Peneliti Kindai Institute Banjarmasin.