Khilafah.id – Temuan atas dakwah eks HTI di dunia kampus sudah menjadi rahasia umum yang sering kita baca. Jika menilik tulisan Mona Gustiani, di IBTimes (22/02/21) dengan judul “Investigasi: Kegiatan Bawah Tanah Eks HTI di UNESA Pasca Pembubaran”. Temuan yang sangat apik menampilkan bagaimana Eks HTI berdakwah di kampus UNESA secara masif melalui kegiatan-kegiatan keislaman yang menarik bagi kalangan mahasiswa.
Kegiatan yang dibungkus “keislaman” justru menarik perhatian mahasiswi untuk mengikuti kajian-kajian keislaman bagi kalangan mahasiswi yang sedang mengalami kegalauan-kegalauan dan haus akan ilmu keislaman. Apalagi trend hijrah yang menjadi kekinian di kalangan milenial justru menjadi dorongan kuat bagi para eks HTI yang berdakwah tanpa menggunakan simbol-simbol HTI.
Kegiatan yang para eks HTI lakukan dalam menggencarkan dakwahnya ialah dengan membentuk lingkaran kajian: Komunitas Muslimah Mengaji. Menariknya, strateginya tidak lain dengan menghadirkan berbagai pemateri yang menarik, berintelektual dan Muslimah yang bisa menjadi representasi para mahasiswi untuk meraih prestasi dengan simbol keagamaan yang kuat. Sehingga hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswi untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Strategi tersebut sejalan dengan tulisan (Siti Aisyah: 2019), bahwa pasca dibubarkannya HTI, mereka menjadikan halaqah sebagai medium kaderisasi dan indoktrinasi. Halaqah diartikan sebagai kelompok studi dalam bentuk lingkaran. Para eks HTI menyebut sistem ini dengan sistem pendidikan tatsqif.
Perbedaan penyebutan ini dikarenakan tujuan halaqah tidak hanya mendidik anggota, namun juga mengarahkan apa yang telah mereka pelajari dalam halaqah untuk diprakteikkan secara nyata dalam kehidupan para anggotanya sehari-hari. Dengan cara ini, halaqah dapat secara langsung berperan menanamkan ideologi HTI kepada kader baru dan anggota penuh baik dalam pemikiran juga dalam perilaku kehidupan mereka sehari-hari.
Simbol-simbol Arab yang dibungkus atas nama agama, dibawa oleh para eks HTI sebenarnya sebagai strategi untuk menunjukkan perbedaan mereka dengan organisas lain. Hal ini yang perlu kita perhatikan, dan menjadi penting sebagai bahan telaah untuk melihat fenomena yang terjadi di kampus.
Eks HTI, Tarbiyah, dan Tantangan Pendidikan Tinggi
Dunia pendidikan tinggi seharusnya menjadi rumah intelektual, peribadatan akademis dan menjadi rumah perubahan bagi seseorang dalam meningkatkan keilmuan, dan mengamalkannya untuk masyarakat. Fenomena yang terjadi belakangan ini, misalnya ketika kita bahwa perguruan tinggi sudah mulai kehilangan marwah keintelektualannya.
Kasus jual beli penganugerahan gelar honoris causa, misalnya. Menjadi salah satu masalah yang amat pelik. Hingga saat ini, kasus tersebut menimbulkan banyak problem baru yang amat panjang ketika dunia pendidikan dijadikan alat kapitalis oleh beberapa oknum yang seharusnya menjadi representasi tokoh sebagai panutan publik.
Kiranya berdasarkan masalah ini, bisa menjadi salah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi oleh perguruan tinggi dan menjadi PR yang harus segera diselesaikan. Sebab institusi pendidikan tinggi bukanlah sebuah organisasi berbasis profit oriented yang berupaya untuk memperbanyak keuntungan secara materil.
Salah satu masalah yang juga menjadi amat pelik adalah merebaknya gerakan-gerakan transnasional di dunia kampus. Organisasi pasca era Soeharto, ditambah dengan pasca bubarnya HTI, masalah tersebut semakin menjadi PR besar bagi kita semua.
Di dalam habitus kampus yang semakin Islami gerakan-gerakan Islam menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kampus tersebut. Gelombang islamisasi kampus menjadi salah satu hal yang berpengaruh terhadap dunia kampus yang semakin Islami. Gerakan tarbiyah, HTI justru menjadi masalah yang rumit dan biasanya diikuti oleh kultur mahasiswi yang haus akan ilmu agama, dengan minim pengetahuan agama tanpa basis keilmuan dari pesantren (Mohammad Zaki ar-Robi: 2020).
Gerakan-gerakan radikalisme dalam dunia kampus dengan wajah “Islam”. Mereka masuk dan mengambil alih lembaga dakwah kampus, masjid-masjid, sehingga melalui upaya tersebut, mereka (kaum santri, kalangan NU dan Muhammadiyah) merasa kecolongan. Sebab mereka memiliki organisasi yang berpisah dengan kampus. Kekosongan itulah yang dimanfaatkan oleh para eks HTI dkk untuk menggencarkan dakwahnya.
Di kampus UI yang menjadi kampus ternama di Indonesia, nyatanya hegemoni kader PKS yang dulunya bernama jamaah tarbiyah yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin. Ketua LDK, Senat, BEM UI yang sebelumnya, dipastikan kader PKS.
Fakta tersebut seperti fenomena gunung es yang tidak bisa terlihat semuanya. Sebab gerakan mereka sembunyi-sembunyi, di bawah tanah, sangat licin dan begitu membahayakan.
Ustazah Faliqah Siawah, Lc., Analis terorisme.