Khilafah.id – Sudah lebih setengah bulan umat Islam berpuasa di bulan Ramadhan. Mengingat makna “puasa” (menahan diri), sudahkah mereka menahan diri dari dorongan hawa nafsu melakukan segala sesuatu yang negatif? Terus, apa hubungan puasa dengan pengendalian hawa nafsu?
Menahan hawa nafsu merupakan sesuatu yang paling penting diperhatikan dibanding puasa sebatas makan dan minum. Jika seseorang mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka ia akan menjadi pribadi yang baik, bukan hanya baik kepada orang lain, tetapi juga baik kepada diri sendiri.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya Minhajul Abidin, “An-Nafsu aduwwun mahbubun.” Maksudnya, nafsu adalah musuh yang dicintai. Statemen ulama Sunni terdengar menarik. Karena, secara umum musuh dibenci sehingga ia tidak mampu mendekat. Anehnya, nafsu yang jelas-jelas musuh masih dicinta. Jadi, mengendalikan hawa nafsu dalam diri jauh lebih sulit dibanding mengendalikan musuh dari luar.
Kegagalan mengendalikan hawa nafsu akan menyeret seseorang terjebak dalam keburukan. Bukankah banyak orang yang terpapar paham radikal karena kalah melawan hawa nafsunya? Orang ini diperbudak hawa nafsunya sendiri sehingga lupa nasehat nuraninya untuk mengambil keputusan dengan baik dan benar.
Orang yang terpapar radikalisme memandang agama secara sempit. Mereka bukan memandang kebenaran secara umum. Melainkan, melihat kebenaran jika berpihak pada dirinya sendiri. Ini kan jelas pengaruh hawa nafsu? Tidak mungkin orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya memandang kebenaran sesempit itu.
Saking pentingnya mengendalikan hawa nafsu, Nabi pernah mengatakan kepada para sahabatnya selepas kembali dari jihad perang, “Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Pernyataan ini ditanya, “Apakah jihad besar itu?” Nabi menjawab, “Jihadnya seorang hamba melawan hawa nafsunya.”
Bahkan, ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an tidak selamanya dipahami dengan memerangi orang kafir atau musyrik. Tetapi, perang ini berupa memerangi hawa nafsu yang bersemayam dalam diri. Karena, seseorang yang mampu memerangi hawa nafsunya akan mampu memerangi kekufuran dengan cara yang baik (ma’ruf).
Memerangi kekufuran bukan dilakukan dengan cara kekerasan sebagaimana yang dilakukan kelompok radikal. Yang benar, kekufuran diperangi dengan mengubah mindset atau cara berpikirnya, karena segala perbuatan manusia tergantung cara berpikirnya. Jika manusia ini terbuka terhadap perbedaan, maka mereka tidak bakal mencela atau mengkafirkan orang lain.
Kembali kepada fungsi puasa disebutkan dalam Al-Qur’an adalah menjadi pribadi yang bertakwa. Takwa ini kesucian jiwa dari kekotoran hawa nafsu. Jadi, umat Islam yang puasanya benar tidak bakal diperbudak oleh hawa nafsunya. Pribadinya menjadi oase kehidupan, sehingga orang yang bersamanya merasakan kedamaian.
Sebagai penutup, bersyukur umat Islam memasuki bulan Suci Ramadhan yang di dalamnya terdapat puasa sepanjang bulan. Dengan puasa ini umat Islam dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu sehingga mereka tidak mudah terpapar paham radikal. Ia dilatih menjadi pribadi yang “muslim”, yang kehadirannya mendamaikan semesta.
Khalilullah, Lulusan Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.