Khilafah.id – Tidak bisa dipungkiri, bahwa gerakan Islam radikal merupakan suatu penyakit yang harus dihindari. Bagaimana tidak, bentuk tindakan yang meresahkan dan merugikan tersebut mereka lakukan dengan mengatasnamakan agama, serta menyebut tindakan mereka sebagai bentuk sempurna akan penghambaan kepada Tuhan. Bermula dari spiritualitas yang dangkal inilah radikalisme Islam lahir.
Peradaban yang kian maju terkesan ditepis oleh paham mereka. Gerakan radikal menilai segala intervensi kepada agama merupakan suatu hal yang perlu untuk diberantas. Berdalih purifikasi agama, mereka justru menjadikan agama sebagai entitas yang bersifat stagnan, yang tidak bisa membaur dengan kemajuan peradaban.
Di sinilah mereka menampakkan kedangkalan intelektual dan kesulitan bernalar, sehingga menyebut fenomena-fenomena yang berada di luar kendali akal mereka sebagai suatu yang sesat.
Historisitas dan Eksklusivitas Radikalisme
Telah banyak dibahas tentang sumber munculnya paham Radikalisme, yaitu dari konflik pada masa Sayyidina Ali ibn Abi Thalib yang memunculkan kaum khawarij.
Cara beragama yang ditunjukkan oleh kaum khawarij yaitu dengan memberantas paham yang bertentangan dengan mereka, termasuk para penganutnya. Paham yang seperti inilah yang akhirnya terwariskan kepada beberapa golongan muslim yang tersebar di seluruh muka bumi.
Pada abad ke-21, muncul istilah neo-Khawarij yang tidak lain tidak bukan adalah regenerasi dari kaum khawarij di masa 1300-an tahun silam. Salah satu kelompok radikal yang terbesar adalah ISIS, yang tercatat telah membuat keonaran karena paham takfiri, dan menghalalkan darah non-muslim.
Paham eksklusif seperti ini sungguh tidak elegan, mengingat nilai Islam sendiri adalah rahmatan lil ‘aalamin. Ketidakmampuan mengolah data dan merekonsiliasikan agama dan realitas kebudayaan manusia, menjadi faktor terbesar dari paham yang mereka anut.
Radikalisme Anti-Intelektualitas
Semangat anti-intelektualitas bergentayangan di atap-atap paham gerakan radikalisme. Kejumudan agama yang mereka pahami menegaskan bahwa agama dan tradisi adalah dua esensi yang berbeda.
Proses bernalar dalam proses beragama merupakan tradisi kemanusiaan, bukan titah Tuhan yang harus dilaksanakan. Agama harus dipandang dari sudut pandang Tuhan (teosentris) bukan dari sudut pandang kemanusiaan dan kemaslahatan.
Kebencian mereka terhadap proses bernalar keberagamaan (ijtihad) sangat terlihat. Padahal ijtihad merupakan metode berpikir yang telah terimplementasikan sejak zaman pertengahan olah ilmuwan Islam. Kendati demikian, mereka memproklamirkan finalnya agama dan tidak memerlukan interpretasi lebih lanjut.
Mengambil argumentasi Abdul Kareem Sourosh, bahwa Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang diwahyukan kepada Nabi terakhir Muhammad SAW dan Islam adalah agama pamungkas.
Akan tetapi, Sourosh berpendapat bahwa tidak ada mufassir yang terakhir. Produk tafsir Al-Qur’an akan selalu berkembang sesuai dengan problematika zaman yang berbeda-beda.
Jalan Pikiran Kaum Radikal
Gerakan Radikal hanya menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman. Mereka tidak mengindahkan ijtihad ulama dalam interpretasi ayat. Intelektualitas yang dikembangkan oleh sarjana muslim hanya dianggap sebagai ekstra-skriptualis, yang hadirnya ditelantarkan.
Itu karena radikalisme tidak memiliki pijakan intelektual dan metodologi keberagamaan yang kredibel, selain menyembah kepada literalitas teks.
Dalam kultur keberagamaan sarjana Islam, tidak hanya dikenal Al-Quran dan Hadits sebagai basis agama, tapi juga ijtihad sebagai basis metodologis dalam memahami agama. Ijtihad juga tidak bersifat tunggal, tapi beragam sesuai dengan kecakapan epistemik yang mengitari penafsir. Hal ini menambah khazanah keislaman, yaitu inklusivitas intelektual dalam agama Islam.
Secara substantif, ayat Al-Qur’an mengandung perintah yang bersifat doktrinal dan epistemik. Gerakan radikalisme hanya menerima kandungan dengan muatan perintah-perintah praktis saja, utamanya perintah untuk memerangi orang kafir dan dianggap salah.
Kaum radikal tidak mengindahkan perintah-perintah epistemologis untuk mengaktifkan kemampuan nalar dalam proses beragama. Mereka memandang Al-Quran yang memuat kalam Ilahi, hanya dari segi perintah ibadah dan hukum-hukumnya semata.
Islam Dilarang Anti-Intelektual
Sikap anti-Intelektual berarti kebodohan. Manusia berpijak dengan dua esensi dasar dalam tubuhnya, yaitu emosionalitas dan rasionalitas. Jika rasionalitas dinafikan, maka yang menguasai manusia di dalam dirinya adalah aspek emosional.
Gerakan kekerasan kemanusiaan, termasuk tindakan teroris, merupakan produk dari emosionalitas manusia yang menggerakkan. Karena aspek rasionalitas tidak akan menghendaki manusia untuk berbuat negatif.
Islam perlu menerima semua ilmu pengetahuan yang berkembang dan mendialektikakan keseluruhan untuk menunjang kemajuan Islam. Dalam buku Islam dan Ilmu Pengetahuan karya Abudin Nata, semua ilmu pengetahuan harus terintegrasi dan terikat satu sama lain dengan baik.
Ilmu agama dihayati sebagai landasan spiritual dan moral, ilmu alam sebagai alat riset ciptaan Tuhan, ilmu sosial untuk membangun sinergitas umat yang harmonis, ilmu filsafat sebagai metodologi berpikir, dan ilmu-ilmu lainnya.
Jika Islam memberikan atensi yang cukup terhadap perkembangan ilmu, maka tidak bisa diragukan lagi bahwa Islam akan mampu bersaing dengan kemajuan yang diciptakan oleh agama lain. Bahkan hak tersebut menjadi tindakan implementatif dari hadits Nabi Muhammas SAW yang berbunyi,
اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى.
“Islam adalah (agama) yang tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya”.
Untuk itu, pilihan yang dipilih oleh kaum radikal yang anti-intekektual adalah kesalahan dan kontradiktif dari nilai-nilai Islam. Hal itu benar-benar melambangkan akan kedangkalan nalar, kedangkalan intelektual, dan kedangkalan metodologi keilmuan.
Mahfudhin, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.