Khilafah.id – Menyebutkan kata radikalisme pada saat ini seperti menjadi momok yang menakutkan. Bagi sebagian orang, gencar menarasikan radikalisme akan disebut islamofobia, imbasnya pada banyak hal. Pada kelompok yang lain, mengkritik radikalisme juga akan dianggap orang yang tidak pro terhadap permasalahan negara, lebih jauh dianggap pro terhadap permasalahan agama dan mendukung adanya perpecahan antar kelompok agama.
Menanggapi fenomena ini, ada banyak kejadian yang perlu kita telaah bersama bagaimana persoalan radikalisme ini kian mengakar dengan banyaknya media yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mendukung ideologi tersebut. Media sosial, misalnya. Menjadi media yang paling efektif dalam penyebaran ideologi radikalisme. Meskipun demikian, setiap orang memiliki pengertian berbeda tentang radikalisme itu sendiri.
Tahap Radikalisasi pada Seseorang
Melalui penjelasan di atas, radikalisme memiliki pengertian bermacam-macam bagi setiap orang. Namun, melalui tulisan ini, radikalisme dipahami sebagai paham yang dianut oleh seseorang dengan menghendaki perubahan politik yang berimbas terhadap perubahan negara.
Orang-orang radikal menghendaki perubahan negara ini menjadi negara Islam dengan narasi-narasi agama yang selalu dibawa pada setiap kesempatan. Lahirnya narasi-narasi agama ini dipengaruhi oleh cara pandang yang tekstualis sehingga penggunaan simbol agama sangat penting untuk digunakan pada setiap aspek kehidupan. Pengaruh tersebut juga ditambah dengan faktor-faktor lain seperti faktor eksternal yang berdasarkan dari lingkungan, sumber informasi, bacaan, dll.
Artinya, bagi orang-orang radikal, negara sangatlah tidak islami jika tidak ada simbol Islam di dalamnya. Indonesia tidak islami karena tidak unsur Islam di dalamnya.
Lebih jauh, pemaknaan semacam itu pada diri seseorang berakibat pada cara pandang seseorang dalam melihat agama. Dengan menjadikan agama sebagai pegangan hidup, penggunaan nash/dalil yang mendukung terhadap pemahaman dirinya, turut memiliki andil besar kepada perbuatan-perbuatan untuk mencapai tujuannya mengubah negara Islam dengan cara keras dan keji.
Berdasarkan hal itu, orang-orang radikal memiliki alasan yang cukup kuat untuk melakukan perubahan ketika ketiadaan simbol Islam tidak berdiri pada sebuah negara. Sebab segala bentuk kekurangan, kelemahan negara menjadi cibiran yang cukup kuat dan menjadi alasana kuat mengapa negara Islam harus ditegakkan.
Pada seseorang, radikalisme memiliki beberapa tahap, diantaranya: pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi (aksi). Pra-radikalisasi merupakan periode awal proses radikalisasi yang menggambarkan kondisi individu terkait sebelum jadi teroris garis keras. Lalu, identifikasi diri kerap diartikan sebagai fase ketika individu mulai terpapar paham ideologi radikal yang membuat mereka menafsirkan kembali arti agama dan kehidupan.
Setelah proses identifikasi diri selesai, individu akan masuk ke tahap indoktrinasi. Proses ini merupakan momentum saat yang bersangkutan mulai meyakini bahwa tindakan jihad dibenarkan untuk mewujudkan tujuan yang dibawa kelompok tersebut. Fase terakhir yakni jihadisasi atau tahapan di mana individu sudah masuk ke eksekusi teror. Identitas mereka juga beralih rupa jadi “pejuang suci agama.” Tidak heran, pelaku teror setelah melakukan aksinya memiliki semangat yang kuat bahwa dirinya adalah pejuang agama yang sangat layak mendapat surga.
Radikalisme Adalah Penyakit, Tapi Bisa Disembuhkan
Berdasarkan tahapan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat dipahami bahwa radikalisme adalah penyakit, sebab akan menimbulkan kerugian bagi banyak orang, ditambah lagi bahwa ia akan merekrut sekian banyak orang untuk regenerasi. Sehingga ideologi tersebut tidak akan mati, terus memiliki generasi dari masa ke masa.
Dengan fakta tersebut, apakah mungkin seseorang yang radikal bisa sembuh? Sangat mungkin. Sebab dalam setiap fase perjalanan kehidupan, seseorang bisa saja belajar kepada lain guru, membaca setiap isi kitab/buku yang berbeda, bergaul dengan orang-orang yang berbeda. Sehingga proses tersebut tidak lain adalah pencarian menemukan jati dirinya.
Proses tersebut tidak lain upaya yang dialami oleh seseorang dalam melihat luasnya fenomena masyarakat yang majemuk dengan pemahaman Islam yang berbeda. Seseorang sangat bisa untuk sembuh dari penyakit kronis tersebut asalkan terus mencari, belajar, membaca dan tidak berhenti atas pemahaman yang dimiliki. Sehingga dari pemahaman tersebut, setiap waktu seseorang akan memiliki pemahaman yang berbeda tentang agamanya, termasuk dalam melihat persoalan sosial yang kerap kali menjadi persoalan yang pelik bahkan berpotensi merusak keutuhan negara.
Muallifah, Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.