Khilafah.id – Maraknya propaganda khilafah yang selalu membawa nama dan simbol syariat memunculkan paradigma yang merasahkan masyarakat. Eksistensi agama yang mengajarkan perdamaian mulai pudar akibat rentetan tindakan terorisme dengan dalih agama.
Mereka selalu bertanya ada apa dengan agama? Kenapa agama selalu melahirkan intoleransi dan radikal-terorisme? Pertanyaan ini sering muncul di benak banyak orang ketika melihat berita dan peristiwa yang melibatkan kelompok-kelompok ekstremis yang mengatasnamakan agama untuk membuat kerusuhan. Padahal beberapa agama lain juga tidak luput dari tindakan terorisme seperti pembantaian Rohingya, diskriminasi etnis Uighur, dan lainnya.
Agama apa pun secara esensial adalah tentang kedamaian, kasih sayang, dan persaudaraan. Ajaran-ajaran spiritual yang mendalam menekankan pentingnya hidup harmonis dan damai di antara sesama manusia. Sayangnya, kita menyaksikan realitas yang menyedihkan di mana beberapa oknum kelompok radikal telah mengubah agama, yakni Islam, menjadi alat politik, yakni khilafah. Mereka mengeksploitasi keyakinan agama untuk membenarkan tindakan kekerasan dan pertumpahan darah demi kepentingan politik mereka.
Ajaran Agama yang Dipolitisasi
Sejatinya agama itu hadir untuk membimbing umat manusia ketika menjalani hidup di dunia. Agama hadir bukan hanya untuk memberikan serangkaian aturan saja, tetapi untuk membimbing kita menuju kehidupan yang teratur dan harmonis.
Ajaran agama tidak saja memuat praktik ritual dan ibadah yang harus dijalankan umatnya. Akan tetapi agama juga sangat menekankan tentang aspek moralitas yang harus dimiliki umatnya. Nilai-nilai tentang kebaikan, keadilan, dan kasih sayang menjadi nilai-nilai fundamental yang harus dimiliki dan wajib diimplementasikan dalam segala aspek muamalah.
Ajaran agama adalah identitas dari pemeluknya dan berkembang menjadi pegangan yang selalu dibawa tidak bisa dipisahkan dalam kehidupannya. Ketika menyangkut urusan agama, maka tidak ada kompromi lagi pasti semua tindakan dan keputusan mereka akan dilakukan demi kepentingan agama. Karenanya mayoritas manusia di dunia ini akan menjadikan ajaran agama sebagai rujukan sebelum bertindak dan berperilaku.
Namun sayangnya ajaran suci agama justru menjadi alat politik beberapa kelompok untuk ambisi pribadi mereka, karena dirasa sangat strategis. Mereka dengan sengaja membelokkan ajaran agama yang mengajarkan nilai-nilai positif menjadi alat untuk manipulasi dan propaganda, sehingga ajaran yang seharusnya menjadi sumber kedamaian dan moralitas berubah menjadi alat pemecah-belah.
Agama adalah kekuatan mutlak yang dapat digunakan untuk memanipulasi dan menggerak sekelompok orang demi tujuan tertentu. Seperti yang tertera dalam buku “The Power of Faith: Religion, Politics, and Social Change” karya Philip G. Ziegler bahwa agama dapat dieksplorasi dan digunakan sebagai alat kekuasaan dalam politik dan perubahan sosial karena menyangkut tentang keyakinan individual. Ketika keyakinan sudah dikendalikan maka mudah saja untuk menggerakan pemilik keyakinan sesuai tujuan pengendalinya.
Sekarang kita coba lihat beberapa kasus terorisme yang sudah terjadi, kebanyakan pasti dibungkus dengan ajaran-ajaran agama. Contohnya kelompok ISIS yang menggunakan narasi jihad yang ekstrem untuk merekrut anggota baru, mengklaim bahwa mereka sedang berjuang untuk memperjuangkan agama Islam padahal tindakan mereka justru bertentangan dengan syariat Islam.
Contoh lain, misalnya kasus pemboman Imam Samudra dan kawan-kawan pada peristiwa Bom Bali dua dekade silam yang juga menggunakan jihad sebagai alasannya. Ada juga tindakan teror yang menggunakan nama agama lain seperti pembantaian Rohingya, diskriminasi etnis Uighur, Muslim di Indonesia, dan lainnya.
Rentetan terorisme yang terjadi seakan-akan mengatakan bahwa ajaran agamalah penyebab semuanya terjadi. Secara sepihak, banyak yang mengatakan bahwa agama menjadi biang keladi munculnya radikalisme. Padahal realitasnya agama hanya dijadikan alat politik saja, dan hanya digunakan sebagai tameng atau pembenaran bagi tindakan kekerasan.
Meminjam teori penyebab terorisme yang dikemukakan oleh Club de Madrid bahwa penyebab utama atau pra-kondisi (root cause atau precondition) dari terorisme keagamaan adalah ajaran-ajaran agama tertentu yang dianut oleh para pelaku teror. Ajaran-ajaran agama ini merupakan faktor yang memersiapkan arena bagi terorisme dalam jangka waktu yang panjang. Artinya munculnya bibit terorisme itu disebabkan karena beberapa individu mempelajari ajaran agama yang salah karena disesuaikan dengan kepentingan kelompok teroris.
Urgensi Revitalisasi Pendidikan Agama
Praktik politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok radikal-teror benar-benar menghilangkan identitas sebenarnya dari ajaran Islam. Esensi sejati Islam sebagai rahmatan lil alamin menjadi kabur, tergantikan oleh ajaran agama yang keras. Ajaran suci yang seharusnya mengajarkan tentang perdamaian dan kasih sayang pada akhirnya terkontaminasi oleh doktrin-doktrin radikal yang membawa kekacauan.
Selanjutnya, persoalan ini pun meruncing lagi menuju program pendidikan agama yang dijalani oleh sebagai besar umat Islam. Pendidikan agama yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan kasih sayang tergeser menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ideologi radikal karena ajaran-ajaran agama yang dipolitisasi. Bahkan beberapa lembaga pendidikan sudah disusupi kelompok radikal untuk menjalani program pendidikan agama yang radikal dan ekstrem.
Revitalisasi pendidikan agama menjadi sangat penting untuk segera dilakukan dimana saat ini banyak sekali bertebaran doktrin-doktrin dan retorika-retorika agama yang mampu menyesatkan beberapa umat Islam ke dalam labirin radikalisme. Pendidikan agama harus dikembalikan pada esensinya yang mengajarkan nilai-nilai kedamaian, toleransi, dan kasih sayang agar tidak ada ruang sedikit pun untuk ajaran radikal berkembang.
Dalam sebuah lembaga pendidikan revitalisasi pendidikan agama penting dilakukan, metode ini dapat digunakan sebagai disengagement radikalisme yang selama ini terus membayangi lembaga pendidikan. Pengkajian kurikulum pendidikan harus benar-benar dilakukan agar program pendidikan khususnya pendidikan agama didasarkan kepada ajaran-ajaran agama yang moderat serta berorintasi pada tujuan pembentukan kesalehan normatif.
Pemilihan pengajar juga harus diperhatikan, pengajarnya harus memiliki kualitas keilmuan agama yang dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Seorang pengajar agama yang berkualitas tidak hanya memahami ajaran agama secara mendalam, tetapi juga mampu mengajarkannya dengan cara yang bijaksana dan inspiratif.
Ajaran agama yang berkembang di media digital juga harus diperhatikan, di era ini masyarakat tidak hanya belajar agama lewat lembaga pendidikan seperti sekolah atau pesantren saja namun juga di ruang digital khususnya media sosial. Media sosial, sebagai platform yang sangat efektif untuk menyebarkan informasi, harus dimanfaatkan dengan baik untuk menyampaikan ajaran agama yang moderat dan damai.
Dengan menggandeng penggiat media sosial dan influencer dan dikolaborasikan dengan tokoh-tokoh agama yang kredibel, retorika-retorika radikal yang menyesatkan pengguna media sosial dapat dilawan dengan memperbanyak konten-konten yang mengedukasi tentang nilai-nilai perdamaian.
Untuk memutus rotasi atau perkembangan ajaran-ajaran radikal khususnya radikalisme yang membawa nama agama, penting sekali untuk mengkaji ulang pendidikan-pendidikan agama yang dijalani oleh pemeluknya. Pendidikan agama harus dikembalikan kepada tujuan awalnya, yaitu membentuk umat beragama yang memiliki kesalehan ritual dan sosial. Agama bukan malah digunakan sebagai siasat menegakkan khilafah. Jadi, revitalisasi pendidikan agama adalah titik tolak kontra khilafahisme itu sendiri.