Khilafah.id – Di dalam sistem pemerintahan otoriter, perempuan selalu menjadi pihak paling dirugikan. Termasuk dalam hal ini adalah rezim Taliban di Afghanistan. Sejak berkuasa medio 2021 kemarin saja, mereka sudah memberlakukan banyak pembatasan terhadap perempuan.
Teranyar, laporan bbc.com mencatat pemerintah Taliban melarang perempuan bekerja di pemerintahan, melarang anak-anak perempuan menempuh pendidikan di sekolah menengah, dan melarang perempuan berpergian lebih dari 72 kilometer tanpa mahram atau pendamping laki-laki. Bisa dibayangkan bagaimana pergerakan perempuan sangat dibatasi dan tidak lagi bisa menjalani kehidupan yang layak dan nyaman.
Bahkan, 7 Mei 2022 kemarin, Taliban kembali memberlakukan aturan soal pakaian yang harus harus dipakai perempuan di ruang publik, yakni cadar atau niqab. Catatan bbc.com juga kembali mencatat bahwa banyak perempuan di Afghanistan menganggap perintah untuk mengenakan cadar merupakan serangan terbaru terhadap hak asasi mereka. Bahkan, pengakuan perempaun di sana menyebutkan bahwa menjadi perempuan di Afghanistan seperti sebuah kejahatan.
Ya, benar saja, perempuan di mata penguasa otoriter, baik yang sekuler atau agamis sekalipun, merupakan sebuah beban yang harus diatur keberadaannya. Oleh sebab itu, mereka harus didisiplinkan dan dipaksa untuk patuh. Aturan agama dipakai karena dapat mencapai harapan penguasa dengan cepat dan kepatuhan penuh. Melanggar tidak saja dianggap melawan penguasa namun juga Tuhan.
Kewajiban pemakaian cadar di kalangan perempuan Afghanistan tidak bisa diihat relasi antara warga dan pemerintah Taliban. Ada unsur pendisiplinan tubuh perempuan di sana. Mengapa demikian?
Dalam buku Disipline and Punish: The Birth Of Prison yang ditulis oleh filsuf asal Perancis, Michel Foucault, digambarkan penggunaan disiplin sebagai sarana untuk mendidik tubuh. Penggambaran secara satir pernah diilustrasikan dalam film Enola Holmes, di mana pada saat itu seorang perempuan dipaksa memakai banyak atribut dalam pakaian mereka untuk disebut sebagai wanita terhormat. Tak berbeda dengan apa yang kita lihat di Afghanistan kan?
Foucault melihat bahwa pada abad ke-17 dan 18, disiplin adalah sarana untuk mendidik tubuh. Sebab, dalam praktik disiplin dapat melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Penguasa otoriter tentu mengharapkan masyarakat yang patuh, untuk kestabilan politik, sosial, dan ekonomi. Jika dulu, menurut Foucault, di era kerajaan monarki, tiap proses penghukuman kriminal bisa dianggap serius, apabila telah melibatkan elemen penyiksaan tubuh dalam pelaksanaannya. Sebab, dengan menghukum tubuh manusia maka penguasa telah menguasai tubuh masyarakatnya.
Secara umum, pandangan Foucault terhadap pendisiplinan, termasuk pemaksaan pemakaian pakaian tertentu, sangat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol, dengan mengontrol tubuh maka pikiran pun akan mudah dikontrol. Sebagaimana pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu tetraloginya “Rumah Kaca”, pernah menjelaskan bahwa pengawasan adalah langkah pertama dalam membungkam sebuah pergerakan.
Burqa adalah satu dari sekian model pakaian di kalangan muslim. Keberadaan ajaran agama yang menafsirkannya sebagai pakaian wajib perempuan adalah fakta. Namun, model atau batasan pakaian perempuan tentu sangat beragam, ini harusnya dapat diberikan kebebasan perempuan untuk memilih dengan bebas dan independen model pakaian yang ingin dia kenakan.
Sayangnya, anjuran memakai burqa atau cadar kemudian berubah menjadi wacana hitam-putih. Sebab, ajaran agama tersebut telah berubah menjadi aturan politik. Pengendalian pakaian bagi kalangan perempuan dipakai oleh pemerintah otoriter sebagai langkah mendisiplinkan atau membungkam mereka.
Kehadiran Islam, akhirnya, tidak lagi menjadi rahmat bagi semua orang. Perempuan adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari wacana keislaman, lewat peminggiran mereka di ruang publik. Pakaian adalah wacana paling awal dan ampuh dalam peminggiran mereka.
Cadar atau burqa menjadi wacana politik pemerintah Taliban seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, sekaligus perlawanan terhadap penggunaan narasi agama guna menekan kelompok-kelompok minoritas. Memang, Taliban memiliki sejarah panjang atas eksploitasi wacana agama pada kelompok yang dianggapnya sebagai ancaman atau warga kelas dua.
Keberagaman dalam ajaran Islam tidak boleh dipersempit karena keinginan kita untuk menekan kelompok minoritas, terlebih kepada perempuan. Perbedaan tersebut seharusnya dapat menjadi solusi beragam kesulitan yang kita hadapi di kehidupan sehari-hari, dengan ketentuan yang berlaku.
Pendisiplinan terhadap perempuan, dan kelompok minoritas lainnya, tidak boleh lagi terjadi. Kasus Taliban di Afghanistan telah menempatkan Islam sebagai alat, bukan medium untuk menjadi rahmat bagi dunia.
Supriansyah, Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute di Banjarmasin.