Khilafah.id – Dalam dunia sepak bola kisah kebencian fans satu klub terhadap fans klub lain jamak ditemui. Salah satu yang cukup keras adalah antara fans Borusia Dortmund dan fans Schalke FC di Bundesliga Jerman. Revierderby adalah nama yang disematkan terhadap persaingan ini. Sebuah rivalitas yang diyakini paling panas di Jerman. Penuh persaingan, penuh kebencian dan acap tercipta kekerasan.
Pada setiap pertandingan fans schalke 04 akan meneriakkan lagu bernada kebencian ke pemain Dortmund beserta fansnya dengan kata – kata kotor seperti “ Di depan stadionku berdiri babi – babi BVB (Dortmund)”. Ejekan itupun dibalas para fans Dortmund dengan kalimat yang tak kalah kotor “Suatu Hari Ketika FC (Schalke) Tai Mati! Ekspresi benci yang diverbalkan dalam nyanyian bernada menghina dan merendahkan.
Pada setting sosial, kita sering melihat benturan antar kelompok massa yang berujung pada kekerasan verbal maupun fisik. Atas nama kecintaan dan kesetiaan terhadap kelompoknya mereka menutup diri dari kelompok lain hingga saat terjadi gesekan berujung saling ejek dan baku hantam.
Kerugian tidak hanya bagi mereka yang berseteru tapi juga orang awam yang tak tau menau. Sebut misalnya bentrokan di Karawang pada Rabu 24 November 2021 yang menyebabkan kemacetan panjang hingga kawasan industri Karawang International Industry City (KIIC) ditutup dan bentrok di Pancoran, Jakarta Selatan pada 24 februari 2021 yang mengakibatkan 11 orang terluka (okezone.com).
Mengapa individu ikut membenci dalam sebuah kelompok? Apakah individu dalam kelompok memiliki alasan rasional untuk membenci kelompok lain?
Kita membutuhkan emosi benci dan bertindak agresi untuk memproteksi diri dari ancaman dan serangan. Begitu kata Patrick Wanis (2017). Sigmund Freud menyebut istilah irrational subsconcious forces atau unconscious forces yang secara khusus mewujud dalam bentuk agresi dan dorongan libidinal. Istilah Freud ini, menurut Patrick Wanis, yang kemudian kita kenal dengan in-group dan out-group, tendensi kecintaan berlebih pada kelompok sendiri dan di saat bersamaan benci terhadap kelompok lain.
Ketika kita mengidentifikasi diri dengan satu kelompok tertentu maka kita ada dalam situasi in-group dimana kita merasa memiliki, mencintai, dan bagian dalam kelompok. Ragam perasaan tersebut mengarahkan semua emosi positif kepada kelompok dimana kita bergabung. Jika kita atau salah satu dari anggota kelompok (in-group) terancam maka semua anggota kelompok akan bersatu melawan kelompok pengancam (out-group).
Pada peristiwa bentrok antar kelompok massa, acap kali pemicunya adalah kesalahpahaman atau ketersinggungan antar individu beda kelompok kemudian melibatkan kelompok masing masing. Perasaan sebagai satu kesatuan kelompok dan kesetiaan sesama anggota dalam satu kelompok membuat semua anggota dengan suka rela dan bersemangat melibatkan diri dalam kekerasan.
Dari ini dapat dipahami alasan individu dalam satu kelompok merasa harus membenci kelompok lain yaitu adanya keyakinan bahwa kelompoknya, atau orang – orang yang ada dalam satu kelompok dengannya, terancam atau diancam oleh kelompok lain. Reaksi ikut membenci, dan melakukan tindak kekerasan, merupakan bentuk loyalitas kelompok yang diyakini sebagai bentuk perjuangan mempertahankan eksistensi kelompok dari ancaman kelompok lain.
Faktor lain penyebab kebencian antar kelompok adalah fanatisme, ketaatan membuta, ketiadaan berpikir kritis, dan dogmatis (Navarro, 2013). Fanatisme menutupi empati dan rasa bersalah kepada objek benci. Individu fanatik alpa terhadap rasa salah pasca melakukan tindak kekerasan atas nama benci terhadap kelompok di luar kelompoknya.
Fanatisme dalam kelompok mengarahkan perilaku anggota tanpa pertimbangan kritis. Norma individu lebur, lenyap bersamaan dengan kepatuhan buta terhadap yang dianggap sebagai loyalitas kelompok. Ketika mendengar salah satu kawan dalam satu kelompok diancam, disakiti, secara verbal atau fisik individu fanatik akan bereaksi tanpa berusaha mencari kebenaran informasi tersebut.
Individu fanatik hidup dalam ruang dimana nalar logis dikebiri. Tak heran mereka mudah di-brainwash, dicekoki realitas semu, dan diarahkan menjadi generasi membenci. Echeburúa (2000) mencirikan para individu fanatik dengan ketidakmatangan emosi, bergantung pada orang lain, impulsive, paranoid, agresif, mudah frustasi, tidak memiliki self esteem, dan menyalahkan orang lain ketika gagal. Umumnya individu yang terlibat kekerasan antar kelompok massa cenderung melampiaskan emosi marah secara agresif, bertindak impulsive, dan mudah menyalahkan orang lain.
Segala tindak kekerasan antar kelompok massa dan atas nama loyalitas kelompok merugikan tidak hanya bagi para pelaku tapi juga orang di luar kelompok berseteru. Nyatanya, sebagian individu terlibat kekerasan dan benci terhadap individu lain yang beda kelompok didasari oleh dorongan irrasional. Mereka meleburkan diri dalam kebencian dan kekerasan tanpa alasan logis; yang berselisih orang lain (walaupun kawan dalam satu kelompok) tapi rela melibatkan diri mengotori pikiran dengan kebencian dan laku kekerasan yang merugikan.
Bagaimana dengan benci atas nama keyakinan? Risalah kebencian berikutnya Insya Allah akan mengulas pemicu ekspresi benci atas dasar keyakinan atau hate crime.
Muhammad Ghufron, Sahabat JIB, Ketua Alumni Psikologi UIN Jakarta 2017 – 2019, Wakil Sekretaris Lakpesdam NU DKI 2021-2026.