Khilafah.id – Radikalisme menjadi isu publik yang tak kunjung usai. Bukan sesuatu yang asing lagi mendengar isu yang membayangkan masa depan ideologi masyarakat ini. Radikalisme memiliki banyak tipe. Ada berbentuk aksi-aksi kekerasan semisal terorisme. Ada juga sebatas ideologi saja, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Pada tulisan ini akan diceritakan perjalanan ideologis mantan HTI Mas Roni Fauzan dari Kenjeran-Surabaya. Mas Roni diangkat sebagai daris (tahap sebelum menjadi hizbiyyin) sejak 2000. Dia aktif mengikuti kegiatan HTI sehingga pada tahun 2001 disumpah (qasam) menjadi hizbiyyin dan diberi nama haraki menjadi Zaini Azhar.
Ketika aktif di HTI Mas Roni memasukkan tokoh-tokoh HTI seperti dr.Usman, Rahmat S.Labib, Fikri Arsyad, Faqih Syarif Hasyim, dll untuk acara keagamaan di radio itu di bulan Ramadhan. Perbuatan ini secara tidak langsung bermaksud menggeser beberapa da’i dari LDNU yang biasa mengisi ceramah di radio tersebut. Sungguh cara yang tidak dapat dibenarkan!
Pada kesempatan yang lain, pernah mengikuti pengajian Ustadz Zakaria, Pimpinan Pesantren Al-Islam Desa Tenggulun, Lamongan, saat mengisi kajian di Surabaya. Ustadz Zakaria ini dikenal “dekat” dengan teroris yang dihukum mati, yakni Amrozi. Bahkan, Mas Roni pernah dijodohkan oleh musyrifnya dengan seorang akhwat, tapi dia menolak dengan alasan dia sudah “dekat” dengan mahasiswi IAIN Sunan Ampel.
Setelah sekian lamanya di HTI, Mas Roni memilih keluar. Dia memilih keluar dari HTI karena sering terjadi perdebatan dengan orangtuanya. Berikut beberapa hal yang mereka perdebatkan: Pertama, masalah ru’yatul hilal saat lebaran. HTI seringkali beda dengan pemerintah atau ormas lain soal penentuan lebaran dengan alasan ru’yah global. Sehingga, Mas Roni seringkali berdebat dengan orangtuanya yang Nahdliyin menjelang lebaran. Mas Roni bersikukuh atas pendapatnya. Sayangnya, ayah-ibunya menolak.
Kedua, menolak berinteraksi dengan perbankan, karena dianggap riba. Pernah ayahnya menyuruh Mas Roni membukakan rekening ke Bank, karena saat itu tangan ayahnya sakit. Tapi dia bersikukuh menolak pergi ke bank, dengan alasan transaksi di bank adalah riba. Peristiwa ini termasuk perbuatan makar yang menjadikan sang ayah muram dan sangat kecewa.
Ketiga, terjadinya perdebatan soal mobil peninggalan ayahnya yang dibawa Mas Roni melakukan demonstrasi (biasanya orang HTI mengistilahkannya dengan “masirah”). Ibunya geram melihat kenyataan itu. Karena, anaknya kurang menjaga peninggalan ayahnya. Mas Roni tetap membantah bahwa demonstrasi adalah bagian dari perjuangan.
Hingga sampailah pada suatu saat di mana sang ibu bercerita kepada Mas Roni, bahwa sebelum sang ayah meninggal dunia, ia masih sangat memikirkan sikap dan perbuatan anaknya yang dianggap terlalu keras dengan ajaran yang diikutinya di HTI. Ibunya juga tak jarang menasehati Mas Roni dan berkata, “Ibu nggak akan berhenti untuk terus mendoakanmu, agar kembali seperti sediakala”.
Melalui cerita dari ibunya, Mas Roni seakan mendapatkan hidayah yang menyelusup ke dalam hatinya. Ia seakan dibawa pada suatu jalan kebenaran yang menyejukkan. Mas Roni memutuskan keluar dari HTI dan ia memilih aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah organisasi kegamaan, yang menurutnya, lebih tepat membawa kepada jalan kebenaran.
*Tulisan ini disadur dari cerita Mas Roni yang dimuat di media online Santrinow.com