Khilafah.id – Pada 3 Maret 1924, Kekhalifahan Turki Utsmani resmi dibubarkan melalui keputusan yang diambil Meclis-i Umumî (“Majelis Nasional”, parlemen Turki Utsmani sejak 1876). Kelak, berakhirnya monarki di Turki dikenang oleh kalangan Islam politik di seluruh dunia dengan nada murung sebagai tamatnya teokrasi Islam.
Sejak itu pula beragam gagasan Islam politik senantiasa menoleh pada imperium Utsmani sebagai contoh tatanan politik yang ideal. Hizbut Tahrir Internasional, hingga Al-Qaeda dan yang terakhir, ISIS merupakan beberapa dari organisasi yang secara eksplisit mengklaim terbentuk demi cita-cita politik kebangkitan Khilafah.
Tapi benarkah segala aspek Khilafah Turki Utsmani mewakili model tatanan sosial dan politik Islami seperti yang dibayangkan organisasi semacam Hizbut Tahrir?
Demokrasi dan sekularisme tidak datang tiba-tiba dalam kekhalifahan Utsmani dan juga bukan semata-mata didesakkan oleh Mustafa Kemal Pasha dan pengikutnya. Percobaan demokrasi dan sekularisme di dalam pemerintahan Islam sudah dimulai sejak 1839, delapan puluh tiga tahun sebelum keruntuhan Khilafah.
Dalam laporan singkat berjudul “The Tanzimat: Secular reforms in the Ottoman” (2011), Istihaq Hussain mengerucutkan tiga pencapaian reformasi Turki Utsmani yang berlangsung selama hampir 30 tahun antara 1839 hingga 1876: (1) dekriminalisasi homoseksualitas; (2) ditinggalkannya hukuman rajam dan (3) dicabutnya hukuman mati untuk orang-orang yang keluar dari Islam (murtad).
Laporan ini dikeluarkan Faith Matters, lembaga swadaya masyarakat yang berdomisili di London, Inggris, yang bergerak di bidang dialog lintas agama dan resolusi konflik. Implikasi lebih jauh dari laporan ini juga membantah prasangka orientalis yang menyatakan bahwa secara esensial Islam tidak kompatibel dengan sekularisme.
Nasib LGBT di Turki
Meski hanya selintas dibahas, laporan “The Tanzimat” meletakkan dekriminalisasi homoseksualitas sebagai pokok pertama hasil reformasi Turki Utsmani. Pokok ini, dan juga dua pokok lainnya, selain terang-terang bertolak belakang dengan apa yang dibayangkan oleh para pendukung khilafah, juga kontras dengan represi terhadap kaum LGBT hari ini di Turki.
Harian berbahasa Inggris Turki, Hurriyet Daily News, pada Mei 2016 memuat artikel tentang kekerasan terhadap komunitas LGBT. Dikutip dari Hurriyet, terjadi lima kasus pembunuhan bermotif kebencian, 32 penganiayaan, 2 serangan siber dan 3 kasus bunuh diri sepanjang 2015. Lima belas penganiayaan melibatkan pelaku lebih dari satu orang. Dari jumlah 15 tersebut, dua kasus melibatkan polisi.
Empat dari sembilan kasus ujaran kebencian terhadap LGBT melibatkan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdoğan, mantan Perdana Menteri Ahmet Davutoğlu, mantan Wakil Perdana Menteri Yalçın Akdoğan dan Menteri Dalam Negeri Efkan Ala. Informasi yang disuguhkan Hurriyet bersumber dari laporan tahunan Kaos Gay and Lesbian Cultural Research and Solidarity Association (Kaos GL). Laporan tersebut juga menyebut pawai LGBT pada Juni 2015 yang direpresi oleh aparat keamanan dengan gas air mata dan semprotan air.
Pada era Turki Utsmani, antropolog Stephen O. Murray dalam “Homosexuality in Ottoman Empire” (2007) mencatat sejarah panjang ragam praktik homoseksual di Turki, mulai dari yang tersirat dalam karya para penyair klasik antara abad 16 dan 18 seperti Necati dan Nedim, yang kasat mata di kedai-kedai kopi, hingga dalam praktik-praktik perbudakan di keluarga elit.
Hari ini homoseksualitas legal di Turki. Namun tidak ada undang-undang yang melindungi kaum gay, lesbian, dan transeksual dari diskriminasi.
Khalifah Pembaharu
Sejak pertengahan abad 19, pemberontakan buruh, tani, dan sejumlah bangsawan setempat merebak di sekujur teritori kekuasaan Austria. Dimulai dari Berlin, wilayah-wilayah petutur bahasa Jerman, disusul Polandia, hingga ke negeri-negeri kecil yang lantas memutuskan mendirikan Republik Italia. Selain tuntutan kemerdekaan teritorial, beberapa pergolakan menuntut penghapusan monarki absolut, misalnya pemberontakan besar di Paris yang melengserkan pewaris Dinasti Bourbon (yang berkuasa sebelum Revolusi Prancis 1789).
Imperium Turki Utsmani tidak kebal dari pergolakan tersebut. Selama 600 tahun Turki Utsmani telah melebarkan kekuasaannya hingga ke Anatolia, dataran Balkan, Yunani, pesisir semenanjung Arab, Mesir, dan Afrika Utara. Millet, tata politik dan sistem hukum berbasis agama yang otonom dari pusat, berlaku di tiap provinsi Utsmani.
Sejak permulaan abad 19, kombinasi dari kekalahan militer, perebutan teritori, serta meledaknya sentimen nasionalis di banyak provinsi, membuat kekokohan tahta Utsmani mulai doyong. Pada 1817 Serbia memperoleh otonominya. Menyusul 13 tahun kemudian, Yunani dinyatakan merdeka. Kekhalifahan dilanda krisis.
Sultan Selim III, intelektual istana dan loyalisnya di birokrasi merespon gelombang ketidakpuasan tersebut dengan meluncurkan program pembaruan besar-besaran mengikuti model Eropa Barat, khususnya Prancis. Program ini dikenal sebagai Tanzimat (reorganisasi). Selama puluhan tahun secara bertahap millet diganti dengan sistem hukum universal di mana warga Muslim dan non-Muslim setara.
Pajak-pajak tertentu yang sebelumnya hanya berlaku pada non-Muslim dihapus. Rekrutmen militer terbuka untuk semua warganegara. Penolakan terbesar awalnya datang dari Yenicheri, kesatuan militer tradisional yang sangat berkuasa dan terkenal dengan aksi-aksi penggulingan sultan, salah satu korbannya adalah Selim III. Dalam perkembangannya, para sultan pendukung Tanzimat mesti bersusah payah membangun tentara reguler nasional berdasarkan tradisi Napoleon yang masih bertahan sebagai pakem nyaris di seluruh negara modern hingga kini.
Pencapaian Tanzimat mencapai puncaknya masa pemerintahan Abdülmecid I. Hukum perdata dan kriminal modern diberlakukan. Meclis-i Maarif-i Umumiye (embrio parlemen Turki) berdiri, beikut Kementrian Kesehatan, Kementrian Pendidikan, kampus-kampus dan akademi-akademi ilmu pengetahuan.
Di bawah Abdülmecid I pula perbudakan dihapus dan Turki mengadopsi sistem perbankan modern. Sejarawan Christine Kinealy mencatat, Turki turut membantu mengentaskan kelaparan di Irlandia dengan mengirim donasi sebesar 1000 Poundsterling (yang nilainya setara dengan 3.170.000 poundsterling pada 2015).
Tanzimat sukses. Antara 1839-1870an, laju separatisme melambat. Namun demikian, eksperimen demokratis tersebut terpaksa dihentikan oleh Abdul Hamid II, sultan Turki Utsmani terakhir. Parlemen dibubarkan dan konstitusi dibekukan. Alasannya bukan agama, melainkan situasi perang melawan Rusia (1877).
Namun bahkan dalam ukuran Barat pada abad itu, Turki Utsmani di bawah Abdülmecid I tergolong paling awal mendekriminalisasikan homoseksualitas; kelima di Eropa setelah Prancis, Kerajaan Prussia (sekarang masuk dalam wilayah Jerman), Belanda (waktu itu mencakup Hindia-Belanda/Indonesia), dan Portugal.
Amerika Serikat sendiri, yang mengklaim sebagai kampiun hak-hak LGBT, baru menghilangkan homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa pada 1973. Terlambat satu abad lebih dibandingkan Turki.
Fadrik Aziz Firdausi, Jurnalis Tirto.id.