Khilafah.id – Sebagai umat Islam, saya tentu bahagia jika ada teman non-Muslim tertarik belajar Islam, apalagi sampai menjadi mualaf. Perasaan ini secara psikologis merupakan hal yang wajar. Seseorang akan cenderung menyukai jika jalan yang diambilnya juga ditempuh oleh orang lain.
Apalagi jika sudah mengacu pada jalan hidup, agama misalnya. Selain itu, Islam sebagai agama yang mempunyai konsep dakwah tentu meniscayakan misi untuk memperbanyak pengikut dengan mengkonversi keyakinan seseorang, tentu dengan etika dan moral yang telah diatur.
Pertanyaannya, apakah proses migrasi aqidah tersebut perlu dirayakan dengan penuh euforia?
Kenyataannya, ada oknum komunitas Islam di Indonesia yang mendeklarasikan tanggal 25 Desember sebagai “Hari Mualaf Sedunia”. Salah satunya bernama ‘ARIMATEA’, yaitu kepanjangan dari Advokasi Rehabilitasi Imunisasi Aqidah Terpadu, Efektif, dan Aktual.
Spirit yang sama juga banyak ditemukan di platform media sosial. Ambil satu contoh, akun YouTube “INDONESIANA TV NEWS”. Dalam salah satu videonya, akun dengan pelanggan sekitar 79 ribu tersebut memposting sebuah video kompilasi orang-orang yang konversi ke Islam pada tanggal 25 Desember 2021.
Akun YouTube “Pengamat Debat Lintas Agama” juga membuat webinar tentang Hari Mualaf Sedunia 23 Desember 2023 lalu. Admin saluran youtube tersebut, mengacu pada “Hari Mualaf Sedunia” yang sudah diperingati sejak tahun 2018.
Jika dielaborasi, maklumat tersebut bukan hanya diproduksi oleh dua kanal tersebut, melainkan juga berbagai akun lain yang mempunyai gagasan serupa. Akun-akun tersebut tidak bergerak seorang diri, para simpatisan yang terlihat dalam kolom-kolom komentar pun turut memberikan afirmasi dan dukungan terhadap deklarasi tersebut.
Kembali lagi ke pertanyaan awal, perlukah demikian?
Jika mengacu pada literatur hadis Nabi dan fiqih ulama klasik, hampir tidak ditemukan dalil yang membincang perlunya merayakan orang-orang yang baru masuk Islam. Yang cukup mendekati mungkin adalah hadist-hadist tentang bagaimana perlakuan Nabi terhadap para mualaf.
Artinya, perayaan ini bukan dalam tataran benar atau salah, melainkan etis atau tidak, bermoral atau amoral. Tulisan ini secara tegas menjawab bahwa deklarasi tersebut tidak etis. Pernyataan tersebut berangkat dari poin-poin yang akan dijelaskan di bawah ini.
Orang-orang yang mengkampanyekan hari mualaf ini bukanlah sosok-sosok terkenal. Mereka hanyalah orang awam yang dipersenjatai demokrasi dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat sehingga bisa menciptakan akun-akun tersebut. Mereka memanfaatkan channel YouTube dan media sosial untuk menyebarkan wacana tersebut.
Selain itu, tidak ada yang mengkonfirmasi apakah kompilasi mualaf tersebut benar-benar terjadi di tanggal 25 Desember. Namun yang pasti, mereka membuat citra seolah hari yang diperingati oleh umat Kristen sebagai Hari Natal tersebut justru menjadi momentum migrasi aqidah besar-besaran ke dalam Islam.
Ditambah lagi, mereka memberi kesan bahwa konversi tersebut merupakan fenomena internasional, bukan hanya di Indonesia saja. Oleh karena itu, perlu rasanya merayakan mualaf-mualaf baru tersebut. Mungkin begitumindsetpara penggagas kampanye.
Ada dua poin yang mengantarkan mengapa deklarasi ini merupakan agenda yang tidak perlu, bahkan berpotensi merusak citra Islam yang santun. Pertama, apa poinnya merayakan orang yang berpindah agama yang notabene merupakan keputusan yang sangat personal.
Jika menggunakan logika, hal ini juga mengandaikan kemarahan dan kesedihan umat Islam ketika ada umat Islam yang memutukan untuk keluar dan memeluk agama lain.
Mereka akan bahagia jika ada mualaf baru. Secara bersamaan, tentu mereka akan marah jika adamurtadinbaru. Jika pola pikir ini terus dipupuk, bukan tidak mungkin kelak relasi antara Islam dan Kristen akan merenggang.
Kedua, menyinggung relasi antara Islam dan Kristen, mengapa memilih tanggal 25 Desember? mengapa tidak 1 Muharram sebagai tahun baru Islam? atau mengapa tidak 12 Robi’ul Awal sebagai hari lahirnya Nabi Muhammad?
Dengan memilih 25 Desember sebagai “Hari Mualaf Sedunia”, mereka seakan sedang mengolok-olok umat Kristen,
“Kalian boleh saja bergembira ria dengan hari raya kalian. Tapi ingat, umat kalian sekarang sedang ramai-ramai pindah dan masuk Islam.”
Citra semacam ini berpotensi menjadi duri dalam daging hubungan harmonis antar umat beragama di Indonesia.
Tulisan ini tidak sedang berusaha mengaitkan mereka dengan indikasi radikalisme atau semacamnya. Namun, tetap saja gejala-gejala glorifikasi Islam yang berlebihan merupakan salah satu pintu masuk efektif untuk menanamkan benih radikalisme.
Akun-akun tersebut bukanlah akun dengan banyak penonton dan pelanggan. Oleh karena itu, kampanye yang mereka dengungkan terhitung masih baru dan amatir. Amplifikasinya mungkin hanya sebatassharelewat akun-akun media sosial di kalangan mereka. Namun lumrahnya, sepanjang lintasan sejarah, pergerakan besar memang dimulai dari gerakan-gerakan kecil di akar rumput.
Tentu gagasan dan deklarasi perayaan “Hari Mualaf Sedunia” tersebut sah-sah saja, karena itu adalah hak berserikat adalah dilindungi oleh negara. Namun tentu, demokrasi meniscayakan gagasan tandingan yang menguji apakah ide mereka membawa manfaat atau justru rentan menciptakan perpecahan.
Jika gagasan ini hanya semakin menambah daftar faktor perusak hubungan keberagamaan di Indonesia, tentu Muslim yang berakal tentu memiliki kewajiban untuk memberikan kontra narasi terhadap gagasan-gagasan tersebut.
Gatot Sebastian, Alumni Pesantren Gontor Ponorogo.