Khilafah.id – Malala Yosafzai (2015) perempuan peraih Nobel Perdamaian 2014, pernah menyatakan, “Melawan terorisme dengan senjata bukan jalan terbaik, sebab terorisme hanya bisa diatasi melalui pendidikan”.
Pernyataan Malala bukan pernyataan kosong tanpa dasar. Sekolah memiliki peran vital membentuk karakter anak. Apa yang dilihat dan didengar semenjak dari PAUD, TK, SD/MI akan direkam dengan baik dalam otak mereka. Pengaruhnya terhadap perkembangan cara berpikir kelak setelah dewasa sangat signifikan. Karenanya, sekolah menjadi sarana paling efektif untuk melawan radikalisme dan terorisme. Dan, hal itu harus dimulai sejak dini, dari tingkat pendidikan paling bawah.
Penanaman anti radikalisme dan terorisme di tingkat pendidikan paling bawah tidak harus ditetapkan dengan kurikulum resmi. Tidak harus ada pelajaran tersendiri tentang anti terorisme, tapi sekolah menciptakan lingkungan yang berbasis pada karakter cinta tanah air dan nilai-nilai kebangsaan.
Sekolah cukup menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak didik, penuh keakraban, kasih sayang dan toleransi. Kemudian menanamkan nilai-nilai cinta tanah air dan kebangsaan dengan, misalnya, menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum memulai pelajaran dan menjelang pulang menyanyikan lagu wajib nasional.
Untuk menciptakan sekolah anti radikalisme dan terorisme peran guru sangat menentukan. Guru harus menyadari bahwa radikalisme dan terorisme merupakan ancaman bagi peserta didik. Dengan demikian, guru akan melakukan antisipasi terhadap sel penyebaran radikalisme dan terorisme, serta menutup ruang-ruang yang biasanya dimanfaatkan oleh jaringan kelompok radikal, seperti media sosial, tempat pengajian di sekolah, program kerohanian OSIS dan seterusnya.
Sebaliknya, jika guru tidak peduli dan diam; karena tidak tahu tentang bahaya radikalisme dan terorisme, tidak membaca secara kritis apa yang terjadi, dan tidak menyadari bahaya yang mengancam anak didiknya, maka jaringan kelompok terorisme akan dengan mudah menyusup ke lingkungan sekolah.
Kita tentu masih ingat beberapa tahun yang silam, Kepala Sekolah SMPN di Kalimantan Barat melalui akun Facebooknya menuduh bom bunuh diri Surabaya sebagai rekayasa pemerintah sehingga dirinya terpaksa diamankan Kepolisian. Kalau pihak pengelola pendidikan dan guru memiliki pemikiran seperti itu, sulit menciptakan sekolah anti terorisme, apalagi sekolah melawan terorisme.
Karenanya, para pendidik (guru) dan seluruh pihak yang ada di lingkaran pendidikan seperti pengawas harus memiliki kesadaran yang tinggi terhadap bahaya radikalisme dan terorisme. Bagaimana pun, sekolah berada di garda paling depan menentukan nasib bangsa ini ke depan.
Sekolah yang mencetak generasi bangsa ini. Apabila generasi penerus memiliki semangat religius yang benar, memiliki kecerdasan, pintar dan menjiwai cita-cita luhur para pendiri bangsa, memiliki rasa kecintaan terhadap tanah air, dan memiliki wawasan kebangsaan yang baik, harapan untuk Indonesia maju, aman dan sejahtera bukan isapan jempol.
Tapi sebaliknya, kalau sekolah tidak bisa menciptakan hal itu semua, bahkan sekolah terkontaminasi virus-virus radikalisme dan intoleransi, keruntuhan negara Indonesia hanya tinggal menunggu waktu. Anak didik yang terpengaruh paham radikalisme dan terorisme akan tumbuh menjadi pribadi yang anti NKRI dan anti Pancasila. Ia akan menjadi budak doktrin paham radikalisme, dan pada akhirnya menjadi pelaku terorisme.
Hamdan Maulana, Pegiat literasi keislaman.