Khilafah.id – Pola keberagaman masyarakat pada hari ini semakin menemukan perbedaan yang cukup signifikan di pelbagai ranah. Mencari jawaban atas kegelisahan tentang agama, misalnya, hanya cukup dengan ruang maya. Situs internet adalah salah satu ruang besar yang digunakan pada masa kini untuk menjawab kegelisahan tersebut.
Untuk mencari ilmu agama, rasanya kita semacam sudah tidak perlu lagi pergi belajar ke Lembaga pendidikan, mengkaji ilmu agama lewat mengaji di pesantren, menikmati proses bertahun-tahun dengan menghafal, belajar langsung kepada kiai, serta sudah merasa tidak perlu lagi untuk mengikuti kajian agama yang membosankan itu.
Sebab hari ini, semua itu bisa kita akses hanya dengan situs internet. Di tiktok, Instagram, youtube, atau facebook bahkan twitter, semua orang berani untuk membranding diri sebagai orang yang ahli pada sebuah bidang ilmu. Tidak sedikit, yang justru ahli dalam semua bidang, sehingga menjadi sang maha benar sangat penting untuk disematkan kepadanya. Fenomena itu nyatanya benar terjadi.
Mencari tokoh yang paham agama, mencari tentang hukum segala hal dalam kehidupan, bisa diakses dengan mudah serta bisa menjadi kiblat kita dalam melaksanakan perintah agama.
Proses mencari pendapat keagaamaan seperti yang ada pada penjelasan di atas tidak lain adalah shopping fatwa. Menariknya dalam proses pencarian ini, kita akan cenderung untuk mencari pendapat pertama, kedua, atau bahkan ketiga untuk mencari afirmasi yang sesuai dengan pendapatnya sendiri. Artinya, kita membiarkan diri kita memiliki keinginan atau bahkan pendirian. Untuk mengafirmasi pendirian yang kita miliki, maka kita mencari pendapat keagamaan yang cocok terhadap pendapat tersebut.
Kebaikan atau kejelekan dari fatwa online adalah bahwa kita membiarkan hampir semua orang untuk menampilkan diri sebagai orang yang berwenang dan membuat pendapat-pendapat hukum. Cara semacam ini adalah bisa dikatakan demokratis, namun sejatinya menjadi PR besar kita supaya bisa menelaah bagaimana isi dari fatwa yang tersebar luas tanpa ada hambatan itu (Greg; 2012).
Tidak hanya itu, nyatanya pada beberapa bagian tertentu, otoritas keilmuan seseorang yang memberikan pendapat agama tidak lebih penting, dibandingkan dengan ketenaran, jumlah followers, atau jumlah penonton, atau jumlah like dan share pada media sosialnya. Lihat saja pada beberapa tokoh agama dengan fatwanya. Jika banyak yang membagikan bahkan akun centang biru, berarti ia memiliki otoritas keilmuan yang mumpuni. Padahal tidak selamanya begitu.
Algoritma media sosial nyatanya memberikan ruang bagi seseorang untuk menjadi ilmuan medsos. Semua berlomba untuk mendapatkan pengakuan tersebut agar kalimatnya bisa didengarkan oleh banyak orang. Makanya, pada beberapa kasus-kasus tertentu, pendapat agama yang didengarkan oleh banyak orang adalah pendapat yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Hal ini kita bisa melihat tentang ceramah agama dengan topik jodoh, kehidupan, kegalauan, hijrah, atau sejenisnya, sangat digandrungi oleh anak muda. Maka, jika kita ingin mengambil otoritas keilmuan agama itu, bicaralah sesuai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kenyataan ini yang menimbulkan matinya kepakaran akibat tolok ukur yang digunakan adalah ketenaran media sosial.
Matinya kepakaran akibat erat internet
Tom Nichol dalam bukunya yang berjudul, “Matinya Kepakaran (the Death of Expertise), menjelaskan bahwa, tidak ada seorangpun yang dapat menguasai begitu banyak informasi. Kita melakukan yang terbaik, ketika harus mencari tahu tentang sesuatu, kita berkonsultasi ke sumber terbaik yang dapat kita temukan.
Era internet sebagai salah satu media untuk mendapatkan jawaban atas kegelisahan tentang pengalaman keberagamaan, menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilalui. Kita tidak bisa meninggalkan fenomena tersebut lalu membiarkan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan, menguasa media sosial dengan sikap sok tahu dan menjawab segala problem keberagamaan.
Selayaknya kita sebagai konsumsi, orang-orang yang beragama, harus memilih secara ciamik dan tepat, kepada siapa kita memperoleh informasi. Perlu dipahami pula bahwa, setiap ustaz, penceramah, tokoh agama, memiliki spesifikasi keilmuan masing-masing. Ada yang ahli bidang fikih, ahli bidang tafsir, dll. Makanya, kita perlu mencari sesuai dengan kebutuhan.
Kepada siapa kita berguru atas fatwa yang sudah diberikan. Jangan sampai, orang yang kita jadikan guru justru tidak memiliki kapasitas kemampuan untuk menjawab hal itu. akan tetapi, hanya memiliki keunggulan secara sosial, yakni lebih dikenal oleh publik.
Muallifah, Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.