Khilafah.id – “Benarkah Kitab Kuning Jadi Sumber Terorisme?” begitu judul artikel yang ditulis saudara Ahmad Khoiri di Harakatuna beberapa waktu lalu. Di dalam tulisannya ia menjawab pertanyaan tersebut sambil lalu memejamkan sebelah matanya. Kitab kuning sebagai warisan (turats) para cendekiawan Muslim masa lalu memang memiliki nilai lebih berharga dari karya-karya sebagian para cendekiawan masa kini.
Karya-karya yang tertuang di dalam kitab kuning merupakan karya yang tak ternilai dan begitu berharga sebab ditulis dengan penuh keikhlasan oleh para penulisnya termasuk tujuannya yang begitu murni karena Allah swt.
Kontekstualisasi karya-karya tersebut memanglah penting sebagaimana yang disampaikan Khoiri dalam artikelnya, sebab karya tersebut memang kebanyakan lahir di masa Islam menjadi negara adidaya dan superior, berbeda dengan saat ini di mana dunia dipenuhi dengan keberagaman dan nampak fakta keadidayaan negara-negara Barat sebagai pemimpin dunia yang mengendalikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peradilan Internasional pun dikuasai oleh Barat.
Di dalam artikelnya Khoiri mengutip satu keterangan di dalam kitab Sullam al-Taufiq, kitab yang digunakan di hampir seluruh pesantren salaf di Nusantara, tentang sanksi potong tangan bagi pencuri. Ia menilai sanksi tersebut tidaklah relevan untuk zaman ini, sebab saat ini faktanya penjara adalah sanksi yang dapat memberikan efek jera. Namun argumen Khoiri terbantahkan dengan sendirinya oleh fakta di lapangan.
Penjara tidak bisa memberi efek jera, tidak sedikit pencuri yang telah dipenjara mengulangi perbuatannya bahkan semakin menjadi-jadi, dan koneksi antarpencuri semakin kuat, walaupun memang ada satu dua pencuri yang insaf setelah dipenjara. Santri dan para pelajar yang telah selesai mempelajari kitab Sullam, Safinah dan Bidayah kebanyakan dari mereka tidak menjadi pencuri sebab keyakinan dan pemahaman mereka dengan apa yang telah mereka pelajari di pesantren.
Keyakinan mereka bahwa sanksi dari pencurian adalah dipotong tangannya, meskipun mereka menyadari dengan baik bahwa hukuman tersebut tidaklah diterapkan di Indonesia yang menganut hukum positif, tapi mereka yakin bahwa di akhirat nanti hukuman itu akan ditegakkan jika Allah tidak mengampuni mereka, sebagaimana banyak keterangan yang diceritakan oleh para asatiz di pesantren.
Dan memang perlu diakui bahwa ada juga pencuri yang memahami dan sebelumnya pernah mempelajari kitab kuning, namun bukan berarti itu karena kitab kuning mengajarkan sanksi bagi pencuri adalah potong tangan yang tidak diterapkan di Indonesia.
Selanjutnya terkait pertanyaan Khairi benarkah kitab kuning jadi sumber terorisme? Jawabannya bukanlah berarti “ia” sebagaimana keyakinan dan argumentasi Khoiri. Di sini kita akan melihat kitab kuning sebagai turats (warisan salaf) sebagaimana yang dilakukan Khoiri, sebagai warisan yang lahir di masa superioritas Islam yang terus dipelajari dari setiap generasi ke generasi termasuk generasi penulis dan Khoiri tentunya yang juga turut mempelajari warisan tersebut. Saat dipelajari tidak satupun penjelasan yang dipahami dan diuraikan di dalam kitab kuning yang mengajarkan untuk bertindak dan bersikap selayaknya teroris.
Misalnya, di dalam kitab Sullam al-Taufiq terdapat banyak sekali penjelasan cara menjadi manusia paripurna dari sisi interaksi sosial, anjuran menjaga lisan dari merumpi dan menyebarkan berita bohong yang dapat memicu kesalahpahaman radikalisme, adab berinteraksi dengan Allah dalam konteks ibadah mahdhah, adab anak kepada orang tua dan adab di dalam pertemanan.
Jika generasi kita mengatakan turats yang berisi hal-hal baik seperti ini sebagai pemicu terorisme maka akan sulit bagi generasi selanjutnya untuk memahami di mana yang adab baik dan buruk.
Di dalam penelusuran penulis tentang para pelaku teror yang ada di Indonesia maupun dunia internasional tidak ditemukan dari mereka yang memahami betul esensi isi kitab kuning yang ia pelajari di pesantren salaf dengan sanad keilmuan yang jelas dan sampai ke Rasulullah. Kebanyakan dari mereka belajar di pesantren Salafi yang tidak mempelajari kitab-kitab kuning warisan ulama salaf.
Lantas siapakah pelaku teror yang memahami esensi kitab kuning yang dimaksud Khoiri? Hingga ia dengan cukup tegas di dalam artikelnya mengatakan kitab kuning jadi sumber terorisme.
Muhammad Izul Ridho, Mahasiswa Jurusan Studi Islam, Pascasarjana UIN Khas Jember.