Khilafah.id – Terdapat potret metaforis tentang katak yang dimasukkan ke dalam rebusan air. Ketika katak dimasukkan langsung ke dalam air yang sudah mendidih, dengan refleks mereka akan langsung lompat untuk menyelamatkan dirinya.
Namun, ketika katak dimasukkan ke dalam air biasa kemudian dipanaskan secara perlahan, ia merasa tidak sedang dalam bahaya. Si katak justru berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya tanpa menyadari bahwa ia sebenarnya sedang dalam bahaya hingga akhirnya mati.
Kita mungkin berpikir, katak tersebut mati karena air yang mendidih. Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun faktor utama yang menentukan mati atau tidaknya katak tersebut adalah ketidakmampuannya untuk memahami situasi dan menyelamatkan dirinya di waktu yang tepat. Bukannya menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam situasi yang membahayakan, ia malah menyesuaikan dirinya di lingkungan yang tidak menguntungkan baginya.
Metafor ini relevan diterapkan dalam situasi kompleksitas dakwah kelompok radikal teroris yang dinamis pasca bubarnya JI. Narasi yang diangkat kemungkinan besar tidak bermuatan kekerasan, perang, bom, bunuh diri, teror, dan semacamnya. Tetapi sekadar memberikan citra bahwa negara gagal dalam beberapa sektor kehidupan sehingga mengesankan bahwa ada sesuatu yang perlu dievaluasi bahkan dirubah.
Ini yang dilakukan Abu Bakar Ba’asyir pada momen upacara bendera 17 Agustus di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki pada 2021 lalu.
Meski ia sudah ikrar NKRI dan Pancasila, dalam tausiyahnya usai upacara, Ba’asyir tampak tetap berjuang untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini. Ia memisahkan antara asas negara dan sistem pemerintahan.
Artinya, ia tetap sepakat bahwa Pancasila menjadi landasan filosofis negara, namun sistem pemerintahannya harus diganti dengan yang diturunkan Allah, yang diyakini merujuk pada sistem khilafah
Gagasan apapun termasuk kekerasan yang dikemas dalam doktrin ideologis sangat susah dilepaskan dari inangnya. Berbeda dengan gagasan kekerasan dengan motif politik maupun ekonomi yang klausulnya jelas.
Militansi dakwah ini nyari dipastikan terus aktif melalui agen-agen radikal teroris di ruang maya. Media sosial, kecerdasan buatan, tren budaya digital menjaga asa mereka untuk terus menghadirkan narasi radikal teorrisme.
Gen Millenial, Gen Z, dan Gen Alpha sebagai wajah demografi bangsa dimanjakan dengan narasi-narasi heroisme yang seakan mengesankan pemuda sebagai pahlawan yang menyelamatkan bangsa dari kebobrokan.
Padahal, mereka hanya akan menjadi “katak-katak” yang tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sedang terjebak dalam bahaya ideologi radikal terorisme yang mengarah pada ekstremisme kekerasan di dalam panci-panci algoritma media sosial itu.
Mereka merasa apa yang disampaikan para tokoh agama radikal teroris mengenai “kegagalan” sistem pemerintahan modern benar adanya sehingga dibutuhkan transformasi radikal sebagai respon terhadap itu.
Menurut Gen Z, merasa skeptis terhadap negara mungkin dianggap sikap kritis yang perlu dilakukan dalam konteks kebebasan berekspresi. Tetapi menurut kelompok-kelompok radikal teroris seperti eks anggota JI yang belum bertobat, neo HTI, atau JAD, sikap kritis pemuda ini menjadi indikasi bahwa target sudah rentan, dan siap untuk dikelola lebih lanjut secara ideologis.
Akhirnya, pemuda-pemuda itu mengalami swa-radikalisasi dan dimanfaatkan sebagai martir untuk memenuhi libido politik ideologis kelompok-kelompok itu. Nalar kritis mereka tergadai dengan janji-janji surgawi yang kosong, akhirnya masa depan mereka mati oleh aktivisme palsu yang sebetulnya tidak patut mereka dapatkan.
Sikap skeptis yang dipahami sebagai kebebasan berpendapat oleh generasi muda dieksploitasi oleh kelompok radikal sebagai peluang untuk mengarahkan mereka menuju swa-radikalisasi.
Narasi radikal disamarkan dalam bingkai dakwah atau kritik sosial, menjadikan kaum muda merasa bahwa mereka melakukan sesuatu yang benar dan heroik, padahal sebenarnya mereka dimanipulasi sebagai alat untuk kepentingan politik dan ideologi kelompok radikal.
Dakwah yang dikedepankan kelompok radikal ini bukan tujuan akhir, tetapi sekadar langkah awal sebelum mencapai tahap berikutnya, yaitu jihad. Oleh karena itu, tulisan ini memberikan peringatan bahwa meskipun aksi kekerasan belum terlihat, ideologi yang disebarkan tetap berbahaya dan menjadi ancaman laten bagi stabilitas negara.
Ketidakmampuan mengenali transformasi strategi kelompok radikal ini dapat menyebabkan generasi muda terjebak dalam ekstremisme dan menjadi martir ideologi yang merusak masa depan mereka sendiri dan bangsa.
Tantangan terbesar bukan hanya pada aksi teror yang terlihat jelas, tetapi justru pada infiltrasi ideologis yang subtil dan tersamarkan, terutama di kalangan generasi muda.
Tokoh agama moderat perlu terlibat dalam menyebarkan pesan-pesan damai dan inklusif, agar pemuda tidak merasa harus memilih jalan ekstrem untuk mengekspresikan keimanan mereka.
Agama juga harus dilihat sebagai kekuatan untuk perdamaian dan rekonsiliasi, bukan alat untuk membenarkan kekerasan. Pemahaman bahwa agama mengajarkan kasih sayang dan toleransi, bukan kebencian, akan menjadi tameng kuat dalam menangkal ideologi ekstrem.
Pemuda harus menyadari bahwa jalan keluar dari “panci” ideologi radikal ada di tangan mereka sendiri. Mereka harus berani melompat keluar sebelum air didih ekstremisme membunuh masa depan mereka.
Gatot Sebastian, Alumni UIN Surakarta.