Khilafah.id – Di tengah arus peralihan dunia global yang begitu hebat, kita selalu menemukan orang-orang yang tidak siap dan bahkan menolak perubahan yang terjadi. Meski mayoritas manusia di masa peralihan membuatnya terus berpikir tentang pentingnya pendidikan dan inovasi. Termasuk mengenai agama dan politik. Mereka yang tersungkur dalam disrupsi, tidak akan ada semangat kompetisi dan tidak bisa membaca peradaban dunia global yang serba-digital sekarang ini.
Pada abad ke-20, seruan menggema di seluruh sudut Tanah Air akan pentingnya nasionalisme dalam sebuah perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan utama. Kebutuhan akan identitas nasional Indonesia, membuat semua pihak tidak mengedepankan satu keagamaan tertentu, satu kesukuan, kebudayaan, dan bahasa kedaerahan tertentu.
Misalnya dalam segi bahasa: melayu merupakan bahasa yang selama berabad-abad digunakan sebagai lingua franca dalam komunikasi—baik dalam perdagangan maupun hubungan politik diplomatik—di Nusantara. Karenanya, bahasa terbebas dari primordial kedaerahan dan kesukuan tertentu. Khususnya bahasa dan suku Jawa yang potensial menjadi bahasa nasional. Padahal, bahasa dan suku Jawa juga semenjak berabad-abad lamanya sudah lama mendominasi Nusantara.
Kontribusi kesusastraan telah memberikan kontribusi besar dalam bahasa. Kaum terpelajar Indonesia yang menulis kesusastraan, tidak lagi menyebut karyanya ‘berbahasa melayu’, melainkan ‘bahasa Indonesia’ sebagai sarana komunikasi nasional. Demikian juga beberapa kalangan dengan etnis tertentu—komunitas Cina dan Arab—mendukung cita-cita nasionalisme dengan alasan negeri yang multirasial.
Setelah runtuhnya Turki Utsmani dari jabatan khalifah—pemimpin semua Muslim—pada Tahun 1924, kaum Muslim harus segera berpikir keras bagaimana kelanjutan dunia Islam yang telah mengalami peralihan luar biasa hebat terkait negara-kebangsaan (nation-state). Para ulama beserta tokoh agama lainnya—setelah pertentangan-pertentangan antaragama, mazhab, dan ideologi politik mereka masing-masing—menyadari bahwa identitas nasional harus tumbuh dalam rangka perlawanan terhadap imperialisme.
M.C. Ricklefs (1943-2019), menyebut, pertumbuhan nasionalisme juga memiliki akar-akarnya yang lebih positif, karena banyak pemimpin merasa yakin akan adanya bangsa Indonesia dan bahwa bangsa ini mempunyai hak atas kehidupannya sendiri (Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2010: 293-294).
Ironisnya, setelah sekian lama kita merdeka, sebagian kaum Muslim mendambakan kembalinya sistem khilafah yang tidak realistis untuk umat Islam di Indonesia. Bagaimana tidak, nasionalisme dalam wadah negara-kebangsaan di dunia global saat ini telah menjadi suatu realitas faktual yang mapan. Gagasan imajiner yang digelorakan kaum khilafahisme inilah sebuah bentuk disrupsi akut. Mereka menolak perubahan dan memiliki kecenderungan tidak siap berkompetisi. Kita sebagai umat Islam tentu memiliki keyakinan yang kokoh dalam menghadapi segala revolusi arus zaman sekaligus bersiap menghadapi kompetitor dunia apapun dan manapun. Mengingat, Al-Quran dan Hadis dapat menyesuaikan dan juga melampaui zaman sebagai panduan kehidupan.
Pada era itu, para ulama Indonesia tidak mengalami distorsi sebagaimana kaum khilafahisme yang menolak perubahan-perubahan yang terjadi saat ini. Akibatnya, sekarang ini dunia Islam terlihat mengalami kemunduran dan ketertinggalan ketimbang dunia Barat yang lebih progresif. Namun, kita tidak patah arang melalui generasi milenial yang tumbuh sebagai kekuatan peradaban baru. Kita mesti menumbuhkan kesadaran generasi milenial bahwa teknologi informasi begitu bergerak cepat dan menuntut kita semua untuk berpikir dan bertindak lebih cepat lagi, melalui kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yang berbasis moral. Bukan khilafahisasi yang berbasis politik.
Lalu apa yang dimaksud disrupsi (disruption)? Rhenald Kasali menyebut disrupsi adalah sebuah inovasi. Inilah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disrupsi juga berarti menggantikan teknologi lama yang serbafisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat (Disruption, 2017: 27). Penting bagi kita umat Islam agar lebih mengedepankan pembaharuan-pembaharuan tidak bersifat material kosmetik, akan tetapi nilai-nilai religiusitas yang mengandung kebermanfaatan dan kemaslahatan bagi umat.
Sementara khilafah adalah sistem politik pemerintahan dan bukan agama, meskipun selalu terkait dengan Islam. Khilafah bukan kewajiban yang bersifat prinsipil dalam Islam. Yang bersifat prinsip dan wajib bagi umat Islam adalah menjalankan poin-poin rukun Islam sekaligus meyakini poin-poin rukun iman. Tidak ada satu poin pun dalam rukun iman dan rukun Islam yang mewajibkan dan mengharuskan sistem politik khilafah.
Kemungkinan besarnya, kaum Islamis yang berkampanye khilafah sadar betul bahwa perjuangannya tidak akan mungkin bisa menuju sistem politiknya yang dianggap ideal. Karena itulah mereka bergerak secara senyap penuh kelembutan dogmatik. Pergerakan sosial yang mereka lakukan begitu efektif secara taken of granted. Selain tingkat religiusitas masyarakat Indonesia yang masih tinggi, mereka juga kritis propagandis dilihat dengan kacamata oposisi biner terhadap isu-isu nasional yang menjadi problematika pemerintah Indonesia yang begitu kompleks.
Karena itulah mereka memberikan tawaran-tawaran mengenai gagasan cita-cita khilafah dengan penuh optimisme yang seolah-olah dapat memecahkan segala persoalan rumit Indonesia dengan satu framing solusi utopisnya itu. Dalam kampanye politik khilafah, mereka mempromosikan tegaknya syariat Islam dan gaya hidup yang lebih Islami.
Mereka juga anti terhadap sistem ekonomi kapitalisme yang feodalistik. Padahal, dunia kekhalifahan Islam terdahulu juga tidak melulu romatik sebagaimana imajinasi kaum Islamis. Dalam sejarahnya, banyak intrik politik, saling menikam, dan saling mengeksploitasi kekayaan. Bahkan saling bunuh antarsaudara seiman hanya demi kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh kekhilafahan Abbasiyah terhadap bani Umayyah.
Politik kebangsaan Indonesia sama sekali tidak benar-benar sekuler. Umat Islam di Indonesia menganggap gerakan politik Islam berada pada ruang kesalehan personal, tidak harus dilegal-formalkan. Para ulama dahulu melakukan Islamisasi individu, tidak berpikir khilafahisasi yang tidak masuk akal lagi dalam konteks saat itu untuk diformalkan dalam bentuk negara. Sedangkan beberapa kelompok Islamis belakangan, berusaha melakukan khilafahisasi di tengah arus perubahan ekonomi-politik dengan memanfaatkan teknologi informasi dan sistem demokrasi yang mereka anggap “sistem kafir”.
Karena masyarakat Indonesia memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, banyak Muslim awam menerima doktrin absolut dengan dibumbui beberapa ayat suci yang telah diolah menurut pandangan mereka sendiri. Selain itu, dalam rangka menarik atensi khilafahisasi yang lebih luas dan mendalam, pola gerakan sosial yang dikembangkan kaum Islamis menyasar kontekstualisasi kekinian yang tengah dihadapi umat Islam di Indonesia.
Baik dalam konteks ekonomi, politik, penegakkan hukum, maupun menyasar gaya anak muda milenial untuk mencapai ide khilafahnya di Indonesia. Kendatipun khilafahisasi berhasil menginfiltrasi banyak kalangan, akan tetapi mayoritas umat Islam Indonesia menolak—bahkan cenderung melawan—gagasan khilafah.
Mereka gencar menggulirkan keberislaman dari sisi politik. Dalam politik praktis, propaganda, melakukan tipu daya, dan menelikung kanan-kiri merupakan hal biasa dilakukan oleh politisi karena. Di sinilah terkadang beberapa orang menganggap “politik itu kotor.” Masyarakat Muslim Indonesia tidak akan sepakat dengan ide-ide penegakkan khilafah dan implementasi syariat yang legal formal dalam perundangan Indonesia, dalam gerakan politik kebangsaan.
Politik Islam lebih kepada nilai-nilai substantif, di mana nilai-nilai syariat yang mengandung kemaslahatan manusia ada di dalamnya. Beberapa partai Islam yang ada, tidak lagi mengampanyekan gagasan syariat yang bersifat simbolistik oleh karena tidak populer dan tidak bisa menarik simpati publik.
Kita semua umat Islam perlu kesadaran secara penuh dalam menghadapi era disrupsi yang mendorong ke arah perubahan yang radikal sekarang ini. Khilafahisasi adalah gagasan sistem politik yang mengancam, amat disruptif, dan membelenggu. Khilafahisasi juga adalah sebuah ide yang usang dan kehilangan relevansi dalam menghadapi dunia baru. Gelombang perubahan mendorong kita semua agar dapat hidup berdampingan secara damai dalam pluralitas, pada realitas baru yang harus kita hadapi sekaligus mengharuskan kita hidup dalam kolaboratif, bukan perseteruan yang memecah-belah.
Sementara sebagian kaum Muslim di sekitar kita masih berada dalam perangkap pertempuran internal antarmazhab yang sempit. Saya harus mengatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di era disrupsi tidak bisa ditangkal dan menyangkal hanya dengan gagasan khilafah sederhana.
Akan lebih baik jika umat Islam berdamai dan mulai berinovasi menciptakan hal-hal yang dapat menyesuaikan untuk menyambut era baru yang lebih inklusif pada masa yang akan datang, pada abad ke-21 yang baru kita jalani sekarang ini.
M. Aminulloh RZ, Intelektual Islam dan pengamat politik transnasional.