Sudan; Oase Keilmuan dan Ikhwanul Muslimin

Sudan Ikhwanul Muslimin

Khilafah.id – Hingga bulan Juli 2022 kali ini, sejumlah massa melakukan unjuk rasa dengan aksi i’tisham (mendiami tempat hingga tuntutan terpenuhi)  di kota Khartoum, Sudan. Aksi ini dilakukan oleh pihak Sipil dibawah arahan Gerakan Kebebasan dan Perubahan/GKP untuk menggulingkan militer setelah aksi revolusioner tanggal 30 Juni 2022 tidak berhasil, dan justru menewaskan 10 (sepuluh) orang pengunjuk rasa, di samping penangkapan puluhan aktivis dan pemutusan jaringan internet selama dua hari. Pengunjuk rasa menyuarakan sikap anti kepada militer dan Ikhwanul Muslimin/IM. Perjuangan revolusi pun kandas setelah ribuan massa dibubarkan oleh Apkam dengan serangan gas air mata dan juga senjata api.

Beberapa pengamat menilai militer dan sayap politiknya Rapid Support Forces/RSF beserta koalisi Gerakan Bersenjata masih memiliki “syahwat politik” yang kuat sehingga sulit menyerahkan kekuasaan kepada sipil sebagaimana kudeta yang di lakukan di masa transisi bulan Oktober 2021 lalu. Kerumunan massa dalam aksi i’tisham tersebut berpotensi untuk dibubarkan paksa bahkan represif sebagaimana tragedi tahun 2019 saat pelengseran Dewan Transisi Militer/DTM di depan Gedung Angkatan Bersenjata.

Gejolak politik yang tiada henti ini telah memunculkan sebuah asumsi di kalangan masyarakat Sudan bahwa “Sudan pemerintahnya gagal, tapi masyarakatnya berhasil”. IM terbukti mampu bertahan pasca lengsernya Presiden Omer al-Bashir pada tahun 2019 yang berkuasa selama 30 tahun. Di masanya,  IM menempati posisi penting dalam dunia akademik Sudan meskipun peran IM nampak tidak seimbang dan membuat tokoh-tokoh nasional berpengaruh “berjalan sendiri-sendiri”.

Selain mensubordinasi, IM membatasi ruang gerak para akademisi dan intelektual sebagai penyuara kebenaran atau penyambung aspirasi rakyat. Sudan yang sebenarnya merupakan oase keilmuan cukup banyak kehilangan kader akademisi terbaiknya karena faktor sentimen dan kebisingan politik. Disamping itu, pengajaran, penelitian dan penerbitan juga tidak didukung kebebasan dan fasilitas memadai.

Tidak heran jika IM yang merupakan entitas organisasi sekaligus kekuatan politik praktis dianggap memberikan pengaruh bagi penurunan peran ilmuwan dalam berkarya di dalam negeri dan imigrasi mereka ke luar negeri untuk berkarya. Baru di masa pensiun, mereka pulang ke tanah air untuk mengabdi atau pulang karena permintaan khusus dari IM.

Sebagai negara yang pernah dijajah oleh Inggris, Sudan memiliki keunikan keilmuan dan akademik. IM membanggakan Kerajaan Sennar yang sangat berpengaruh terhadap aliran keberagamaan Sudan paska abad 16 H sehingga madzhab Maliki diikuti hingga sekarang. Hanya saja IM lebih politis dan elektis dalam merujuk madzhab Sunni. Sebelum penetrasi madzhab Sunni-Maliki, madzhab Syi’i pernah berkembang di era dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir. Kemudian berubah setelah dinasti Ayubiyah mengambil alih kekuasaan dan menggantinya dengan madzhab Sunni-Syafi’i.

Spirit IM juga tidak lepas dari kebanggan pada Turki Usmani hingga menginspirasi IM (Omer al-Bashir) untuk membangun masjid negara dengan icon Turki di Khartoum. Ia nampak tidak memperhatikan akar sejarah Sudan sendiri, termasuk akar kemerdekaannya dari Presiden RI Sukarno saat Konferensi Asia Afrika di Bandung. Indikatornya, generasi muda dan milenial Sudan hampir tidak mengenal Indonesia sebagai inspirator kemerdekaan Sudan, berbeda dengan generasi tua yang sangat paham dengan peci hitam “Sukarno”.

Kecenderungan Sudan dibawah kepemimpinan IM semakin islamis dan globalis dengan biaya pencitraan yang mahal meskipun kondisi pendidikannya masih mengandalkan infrastruktur sederhana dengan sumber daya keilmuan yang cukup maju. Gejolak politik yang tidak selesai hingga saat ini tidak bisa lepas dari warisan Pemerintah Sudan yang belum berhasil membangun infrastruktur demokrasi. Disisi lain, sebagai persemakmuran Inggris dan Turki, Sudan memiliki budaya literasi yang tinggi dibanding negara Afrika lain, dan tidak hanya mencerminkan keadaban Arab-Afrika, melainkan juga keadaban Eropa.

Ketika Omer Al-Bashir lengser, Amerika Serikat/AS “masuk” ke Sudan mengatur masa transisi hingga akhir tahun 2021 oposisi Al-Bashir dikudeta oleh militer dan IM kembali merapat ke Rusia. AS tidak mau menyerah demi kepentingan geopolitik Timur Tengah dan terus menekan Sudan melalui perantara Emirat Arab dan Saudi Arabia mengingat keduanya adalah negara kerajaan dan tidak menghendaki IM kuat. IM terus menolak upaya pendekatan AS dan terus memperkuat gerakan IM yang diperantarai oleh militer sebagaimana yang dikemukanan oleh (Hasan Bakti Nasution, 2017) yaitu gerakan dak’wah salafi, Sunni, Sufi, politik, kesehatan, intelektual, ekonomi dan sosial.

Dr. Hassan al-Turabi sebagai inteligensia dan globalis dengan hubungan luar negerinya yang kuat mewariskan arah politik dan ekonomi yang  berseberangan dengan Barat. Dalam tataran keilmuan, IM memegang dua prinsip utama; pertama,  fikih dan spirit pembaharuan, kedua kebebasan dan keluwesan berfikir (Muhammad bin Mukhtar al-Syinqity, 2011). Kepemimpinan IM memiliki hubungan erat dengan gaya kepemimpinan  etnisitas Arab Sudan ditandai dengan tingginya pengaruh organisasi kesukuan (al-Idarah al-Ahliyah) dan regenerasi kepemimpinan partai yang masih menggunakan prinsip keturunan. Persoalan etnisitas terpolakan dalam dua kutub ekstrim; IM dan Komunis-Sekuler.

Kondisi yang kompleks menjadikan persaingan antar etnis nampak keras dan selalu  mewarnai dunia politik hingga dunia keilmuan. Pasang surut persoalan etnisitas telah menjadi the hot point yang mendiskriminasi sektor pendidikan Sudan seperti fenomena “tebang pilih” dalam proses penerimaan input pendidikan dimana kader sekuler dan komunis sulit diterima di Perguruan Tinggi.

IM lebih banyak menggunakan energi negara untuk melawan hegemoni Amerika Serikat (AS) melalui penguatan hubungan dan kerjasama pertahanan dengan negara sahabatnya hingga anggaran pendidikan hanya berada di kisaran 1-2 persen dan berdampak pada kelesuhan hingga memaksa kader-kader terbaik pergi ke luar negeri. Kekuatan learning di Sudan bisa diandalkan namun ruang gerak di sektor riil terbatas karena fasilitas dan skill-production yang kurang didukung anggaran.

Selain itu, ulama al-Azhar yang sebelumnya sering didatangkan ke Sudan untuk membacakan kitab dianggap bisa memperkuat Sufi dan mengancam pengaruh Omer Al-Bashir. Entitas Sufi yang berkumpul dalam Lembaga Sufi Nasional dinilai bersebrangan ideologi dengan IM sehingga langkahnya untuk membuat suatu pergerakan nasional dipersulit.

Meskipun demikian, Minat literasi pelajar Sudan tergolong baik dipengaruhi oleh ekosistem pendidikan yang menekankan pentingnya ujian dan evaluasi belajar dan cara pandang terhadap peran vital dan strategis perpustakaan serta kuatnya perlakuan apresiatif dosen terhadap mahasiswa. Peran akademik IM nampak dari perhatiannya yang besar terhadap riset meskipun lebih diarahkan untuk mencari peluang bagi Sudan dalam berperan di lingkup regional maupun global, disamping semangat “menggebu-nggebu” untuk tidak menggantungkan diri kepada Barat.

Ribut Nurhuda, Penasehat PCI NU Sudan.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Islamofobia Masih Marak (?)

Sen Jul 25 , 2022
Khilafah.id – Umat Muslim perlu memikirkan kondisi Islam global saat ini dan masa depan. Ini penting karena masih banyak terjadi praktik Islamofobia di muka bumi seperti di Negara-negara Amerika, Eropa, bahkan di Asia. Pernyataan itu diucapkan Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Masjid Indonesia (DMI), Komjen Pol (purn) Syafruddin  saat menutup […]
Islamofobia

You May Like