Sunan Kalijaga, Idul Adha, dan Pengingat Jati Diri Kita

Sunan Kalijaga

Khilafah.id – Kadilangu memiliki keunikan tersendiri dalam menyambut hari raya Idul Adha. Sudah menjadi pengetahuan umum bila perayaan hari raya idul adha di Kadilangu selalu diiringi dengan tradisi penjamasan pusaka yang diorganisir oleh keturunan atau ahli waris Sunan Kalijaga. Tradisi itu terdiri dari berbagai rangkaian acara yang diselenggarakan sejak beberapa hari sebelum tibanya hari raya.

Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk turut serta mengikuti rangkain puncak tradisi penjamasan pusaka Sunan Kalijaga. Penjamasan di sini dapat dipahami sebagai ritus khusus untuk membasuh atau mencuci dua pusaka utama peninggalan Sunan Kalijaga, yakni Keris Kyai Carubuk dan Rompi Kutang Antakusuma.

Dua pusaka itu memiliki cerita keunikannya masing-masing. Namun pada dasarnya, eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari proses islamisasi tanah jawa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Rangkaian penjamasan pusaka Sunan Kalijaga berjalan dengan prosesi yang cukup panjang. Dimulai dari upacara penerimaan tamu khusus dari keraton Yogyakarta melalui utusan Adat Nusantara dengan proses yang terbilang sakral selepas sholat ied.

Saling sambut terjadi di antara tuan rumah dan perwakilan Keraton Yogyakarta beserta punggawanya dalam balutan talang atur jawa. Setelah itu, dilakukan prosesi jalan bersama atau semacam pawai menuju makam Sunan Kalijaga di Kadilangu oleh keluarga sunan dengan iringan beberapa kelompok khusus seperti, silat pagar nusa, tim pramuka, dan rabbana. Hal itu pun juga mendapat pengawalan ketat dari pihak kepolisian dan tentara setempat.

Penjamasan dua pusaka di  lakukan dalam cungkup makam Sunan Kalijaga oleh beberapa keturunan yang sudah dipilih. Tidak ada satu orang pun yang dapat melihat proses penjamasan itu karena dilakukan dengan sangat tertutup. Seiring dengan itu pula, pihak lain yang tidak ikut serta ke dalam cungkup makam, mengiringi prosesi penjamasan dengan istighosah bersama di luar cungkup.

Tradisi itu juga mendapatkan respon yang positif dari masyarakat. Beberapa melihatnya sebagai hiburan berbalut kebudayaan yang menarik, dan ada pula yang menjadikannya sebagai instrumen untuk ngalap berkah dari sang sunan.

Mereka berbondong-bondong turut serta menyaksikan rangkaian puncak itu dengan penuh gembira. Hal itu dapat dilihat dari tingginya antusiasme mereka dalam mengiringi acara itu sejak awal, mulai setengah delapan pagi, hingga akhir acara menjelang sholat dzhuhur dengan senyum bungah.

Ada satu makna penting yang saya tangkap dari tradisi yang dilakukan setiap tahunnya itu. Adanya tradisi itu tentu tidak dapat dipisahkan dari peranan Sunan Kalijaga sebagai penyebar agama islam di tanah jawa dengan balutan kebudayaan. Oleh karena itu, saya melihat tradisi itu sebagai sebuah alarm, atau sejenis pengingat.

Ya. Saya menyebutnya pengingat lantaran tradisi itu seolah membawa pesan kepada kita, bahwa peninggalan para leluhur itu penting untuk kita rawat, baik peninggalan benda maupun tak benda. Ini artinya, tradisi itu menjadi semacam monumen kebudayaan yang menjadi simbolisasi upaya pewarisan kebudayaan oleh generasi masa kini.

Kita seolah diingatkan kembali bahwa kita ada karena adanya para pendahulu melalui produksi kebudayaan-kebudayaan semacam itu. Kita diminta untuk berpikir kembali, sebetulnya siapakah jati diri kita ini? Dari mana asal mula kita? Dan bagaimanakah kita saat ini?

Ini tentu relevan dengan situasi kebudayaan kita hari ini yang mulai ditinggalkan oleh generasi penerus, terlebih karena adanya gempuran kebudayaan dalam wujud westernisasi dan juga arabisasi serta budaya luar lainnya. Artinya, situasi kebudayaan kita hampir di ujung tanduk.

Oleh karena itu, secara tidak langsung dapat dikatakan, melalui tradisi penjamasan berikut rangkaiannya, adalah upaya untuk mengingatkan para generasi muda untuk menjadi kalijaga-kalijaga baru. Dalam hal ini, saya sepakat dengan Taufik Ahmad (Langgar.co, 2019), bahwa makna “kalijaga” juga mengandung makna vital perihal kebudayaan kita.

Kalijaga bermakna “menjaga sungai.” Patut digarisbawahi bahwa di sepanjang sejarah manusia, sungai menjadi sumber hidup manusia, sumber terbangunnya peradaban-peradaban besar di dunia. Oleh karena itu, kali di sini dapat pula dimaknai sebagai sumber peradaban. Dan sebagaimana dituliskan Harari dalam Sapiens (2014),  sumber peradaban itu sendiri adalah kebudayaan.

Jelas bahwa Sunan Kalijaga adalah salah satu aktor penting dalam upaya memproduksi kebudayaan jawa sekaligus menjaganya. Ia tidak hanya bertugas menyebarkan agama islam, namun juga memberikan fondasi sekaligus menjaga peradaban manusia jawa pada melalui kebudayaan.

Mendorong lahirnya kalijaga-kalijaga baru sama halnya mendorong kita untuk menjadi manusia yang tidak lupa dengan budaya sendiri. Akhirnya, dapat dikatakan jika Kalijaga dapat bersemanyam pada diri siapapun, utamanya pada manusia-manusia yang tidak melupakan serta gigih dalam merawat kebudayaan asalnya.

Firhandika Santury, Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Sikap Kelompok Radikal tentang Isu Pencabulan di Pesantren

Sel Jul 12 , 2022
Khilafah.id – Tempat yang paling tepat untuk belajar ilmu agama adalah pesantren. Di sana santri (orang belajar di pesantren) akan dididik untuk menjadi manusia yang bukan hanya pintar, melainkan juga berakhlak. Mirisnya, pesantren akhir-akhir ini mengalami banyak masalah yang cukup memalukan, yaitu pencabulan pengasuh pesantren atau anaknya terhadap santri putri […]
pencabulan pesantren

You May Like