Khilafah.id – Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekhasan yang berbeda dari negara lain, yaitu Pancasila. Kita tahu bahwa penetapan pancasila sebagai dasar negara melalui perjalanan yang cukup panjang. Nah, baru-baru ini isu mengenai pancasila kembali menyeruak, yakni soal apakah pancasila sebagai pilar atau dasar negara. Terutama ketika dikaitkan dengan piagam Jakarta, yang juga membayangi sebagian umat Islam Indonesia.
Untuk memahami lebih mendalam perihal pancasila terutama dikaitkan dengan Islam, reporter bincangsyariah.com Wildan Imaduddin Muhamamd menemui saudara Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), mantan Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan juga penulis buku Islam, Pancasila dan Deradikalisasi, Meneguhkan Nilai Keindonesiaan (2018). Berikut petikan wawancaranya:
Kita tahu bahwa pada masa awal kemerdekaan, terjadi pergulatan antara kelompok nasionalis dan Islam. Bahkan di masa Orde Baru penerimaan terhadap Pancasila sebagai ideologi tunggal juga memantik perdebatan di kalangan ulama. Mengapa demikian?
Ya, ini kan memang perdebatan tentang dasar negara apa yang terbaik bagi negara kita? Juga terkait dengan ragam gerakan politik yang ada menjelang kemerdekaan. Seperti kita tahu, peserta sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memang terbelah dua. Yakni kelompok nasionalis-Islam dan nasionalis-religius. Hanya ada dua kelompok itu. Tidak ada kelompok sekular dan komunis, karena Partai Komunis Indonesia tidak ikut sidang sebab dinyatakan sebagai partai terlarang pasca pemberontakan tahun 1926.
Jadi yang perlu dipahami ialah, meskipun terdapat perdebatan tentang Islam atau dasar negara nasional; kedua kelompok itu sepakat akan beberapa hal. Pertama, nilai ketuhanan harus menjadi landasan bagi negara tersebut. Kedua, konsep negara yang dimiliki keduanya ialah negara-nasional (nation-state). Jadi di kelompok Islam misalnya, tidak ada ide tentang Khilafah yang bersifat global.
Mengapa? Karena ide Khilafah tidak populer di Indonesia era penjajahan. Cita-cita yang ada di benak para pemimpin gerakan Islam ialah negara nasional yang merdeka. Hanya saja memang ada sebagian yang menginginkan Islam sebagai dasar negara nasional itu. Sebuah hal wajar jika dilihat dari garis ideologi pergerakan Islam.
Akan tetapi Islam yang ingin dijadikan dasar negara, bukan Islamisme yang kini dikembangkan oleh gerakan trans-nasional. Ki Bagus Hadikusumo, wakil Muhamamdiyah yang menginginkan dasar negara Islam mengajukan Islam yang demokratis, toleran dan modern. Jadi yang beliau tawarkan ialah demokrasi Islam. Bukan Negara Islam berbasis syariat dengan kepemimpinan monarkis.
Yang menarik adalah pandangan Bung Hatta. Di sidang BPUPK itu, beliau menanggapi perdebatan antara Islam dan negara, dengan mengajukan pandangan yang melampaui pemikiran para peserta sidang.
Menurutnya, perdebatan, “Haruskah Islam dijadikan dasar negara atau tidak?” lahir dari paradigma yang membayangi masyarakat Eropa. Yakni paradigma yang lahir dari hubungan antara agama dan negara. Dalam konteks Kekristenan, hal ini wajar karena menurut Bung Hatta, Gereja memang memiliki kekuasaan. Menjadi persoalan ketika muncul lembaga kekuasaan baru bernama negara. Sedangkan bagi Islam, persoalan itu tidak ada.
Di dalam Islam tidak ada hirarki kependetaan. Islam hidup di dalam masyarakat, sedangkan negara merupakan lembaga politik yang terpisah. Meminjam istilah Jurgen Habermas, Islam hidup di dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt) sedangkan negara beroperasi di dalam sistem administratif.
Oleh karena itu menurut Bung Hatta, Indonesia tidak menganut pemisahan antara agama dan negara, melainkan menganut manajemen pemisahan urusan agama dan urusan negara. Artinya, agama diurus oleh masyarakat, sedangkan negara hanya berperan sebagai fasilitator dalam kehidupan beragama. Bukan faktor penentu. Akan tetapi, nilai-nilai agama itu sendiri tidak terpisah dari negara, apalagi setelah Ketuhanan Yang Maha Esa dinobatkan menjadi sila pertama Pancasila.
Perdebatan antara umat Islam dan kebijakan Pancasila Orde Baru? Ya ini konteksnya lain. Menurut para pemimpin Islam, keharusan Asas Tunggal Pancasila dianggap hendak meminggirkan ideologi Islam di level Organisasi Masyarakat. Kekhawatiran ini sudah muncul sejak Pak Harto mencetuskan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) yang ditatarkan secara massif. Kekhawatiran kelompok Islam, P-4 akan melakukan religiusasi Pancasila sehingga menempatkan dasar negara ini setara dengan agama.
Apa argumentasi yang dibangun oleh para ulama di internal NU misalnya, dalam menerima Pancasila sebagai ideologi tunggal?
Argumennya jelas ya. Karena Panacsila mengandung tauhid dan syariah Islam. Sehingga bagi NU, menerima dan mengamalkan Pancasila adalah cara mengamalkan tauhid dan syariah.
Persoalannya syariah seperti apa yang ada di dalam Pancasila? Ini yang tidak dijelaskan oleh piagam penerimaan NU atas asas tunggal Pancasila di Munas Alim Ulama di Situbondo (1983) tersebut. Baru belakangan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyempurnakan argumen ini. Menurut beliau, kelima sila Pancasila mencerminkan lima hal dasar (ushul al-khamsah) yang dilindungi oleh tujuan utama syariah (maqashid al-syar’ah).
Kelima hal tersebut adalah perlindungan terhadap agama, nyawa, akal, keturunan dan harta. Nah menurut Gus Dur, maqashid al-syari’ah ini justru bisa ditegakkan hanya di dalam negara nasional yang demokratis, bukan dalam kerangka Negara Islam yang despotik. Mengapa? Karena hanya demokrasi yang bisa menjamin kebebasan berpikir, nyawa (Hak Asasi Manusia), dan kesetaraan kesejahteraan (keadilan sosial). Negara Islam dengan ideologi tunggal dan kekuasaan yang mengatasnamakan Tuhan tidak akan bisa menjadi pranata lembaga yang kondusif bagi berbagai perlindungan ini.
Nah argumen seperti ini yang harus kita kumandangkan untuk menangkis pengafiran terhadap Pancasila. Karena alasan para penolak Pancasila kan jelas: dasar negara ini sekular dan bertentangan dengan Islam. Artinya bertentangan dengan tauhid dan syariah. Pertanyaannya, gimana bisa bertentangan dengan tauhid lha wong sila pertamanya saja tauhid (Ketuhanan YME). Gimana bisa bertentangan dengan syariah lha wong sila-silanya mencerminkan maqashid al-syari’ah. Kalau ada orang dan kelompok yang mengharamkan Pancasila, berarti mereka mengharamkan tauhid! Serem khan?!
Terkait dengan fenomena baru-baru ini, Habib Rizieq Shihab mengatakan bahwa Pancasila dengan roh Piagam Jakarta bukan Pilar Negara. Bagaimana menjawab hal ini?
Yang dimaksud Pancasila dengan roh Piagam Jakarta itu seperti apa? Bilang saja Habib Rizieq ingin menghidupkan Piagam Jakarta. Ini kan yang menjadi esensi dari ide NKRI Bersyariah itu. NKRI berdasarkan Pancasila dengan “tujuh kata” kewajiban menjalankan syariah Islam. Ini kan pemikiran yang mundur ke belakang. Sebab Bung Karno sendiri melalui Dekrit Presiden 1959 menyatakan Piagam Jakarta menjiwai Pancasila. Arti menjiwai ya syariah itu menjadi spirit. Bukan “badan” dari Pancasila.
Soal Pancasila bukan pilar negara memang betul, karena Pancasila adalah dasar, bukan pilar. Ini kan awalnya konsep Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara MPR RI. Di dalam empat pilar itu, Pancasila ditempatkan sebagai pilar, bersama dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Konsep ini memang bermasalah dan sudah dihapus oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013. Sekarang MPR sudah menggantinya dengan Empat Konsensus Kehidupan Berbangsa.
Pandangan Anda terkait dengan NKRI Bersyariah, bagaimana sebaiknya kita menyikapi ide tersebut?
Ditanggapi santai aja. Ide ini tidak berbahaya jika dibanding dengan Khilafah, misalnya. Ini ide “setengah matang”. Pengusungnya menawarkan hal yang setengah-setengah. Dan jika bentuk konkret dari NKRI Bersyariah adalah penghidupan Piagam Jakarta, maka hal ini sudah lama mengalami kegagalan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saja sudah mengganti cita-cita Piagam Jakarta dengan Piagam Madinah yang mereka samakan dengan Pancasila.
Hanya saja sifat yang “setengah matang” ini juga memiliki keunggulan. Sebab ia akan mudah diterima oleh umat awam. Alasannya sederhana: NKRI Bersyariah tetaplah NKRI yang justru disempurnakan dengan syariah. Makanya tidak heran jika menurut survei LSI Denny JA, terdapat peningkatan dukungan terhadap NKRI Bersyariah sebanyak 9% sejak 2005-2018, dibandingkan dengan penurunan dukungan terhadap Pancasila sebanyak 10%. Yang perlu kita lakukan adalah edukasi kepada umat, bahwa secara syar’i, Indonesia ini sudah bersyariah.
Buktinya ada Kompilasi Hukum Islam, nikah, waris, wakaf, zakat dan haji diformalkan hukumnya, diatur dan difasilitasi oleh pemerintah. Bahkan kita juga menganut perbankan Islam. Jadi NKRI Bersyariah ini sebuah ide yang kalau dalam bahasa pesantren disebut sebagai tahsilul hasil: mengadakan sesuatu yang sudah ada. NKRI ini sudah bersyariah, kok mau disyariahkan?!
Bagaimana seharusnya umat Islam menempatkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks saat ini?
Umat Islam, dan juga umat agama lain harus memahami dan menghayati Pancasila sebagai pancaran nilai-nilai ketuhanan. Kalau untuk umat Islam, Pancasila adalah pancaran tauhid dan maqashid al-syari’ah itu. Mengapa demikian? Karena sila pertama adalah tauhid dan tauhid ini lalu menerangi atau diamalkan melalui nilai-nilai kemanusiaan, persatuan di dalam kemajemukan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Jadi membaca Pancasila tidak bisa seperti membaca urutan kalimat yang terpisah-pisah, melainkan harus sebagai kesatuan nilai, kesatuan argumentasi. Kemanusiaan Pancasila ialah kemanusiaan yang Ilahiah. Demikian pula kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Semuanya Ilahiah. Bukankah terdapat banyak ayat al-Qur’an, juga hadist Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan keempat sila-sila Pancasila itu?
Jika Pancasila tidak dihayati dalam pemahaman teologis-transedental ini, maka selamanya ideologi bangsa kita terpisah dari nilai-nilai yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat, yakni agama.
Wildan Imaduddin, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menekuni studi tafsir, dan peraih beasiswa LPDP.