Khilafah.id – Syirik, murtad dan kafir tiga istilah yang terkadang digunakan dalam pemahaman yang sama. Yaitu mengingkari atas keesaan Allah swt. Namun, kata syirik lebih banyak digunakan dalam hal menyekutukan Allah swt. Hal ini sesuai dengan makna syirik secara kajian bahasa yaitu “bersekutu”.
Umat Islam sepakat bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar. Bahkan tidak ada dosa apapun yang tidak diampuni oleh Allah swt kecuali dosa syirik ini. Dalam al Qur’an disebutkan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ باللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki_Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisa’: 48)
Dalam haditst juga diterangkan tentang dosa yang paling besar adalah syirik. Dalam riwayat Abdullah bin Ma’ud ra dijelaskan:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ لله نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ
Artinya: “Saya bertanya kepada Nabi saw: Dosa apa yang paling besar menurut Allah swt ? Ia menjawab: Kamu membuat tandingan bagi Allah, padahal dialah yang menciptakanmu” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kendati demikian, tindakan yang berpotensi syirik tidak pasti dihukumi syirik. Dalam Ahlussunnah wal Jama’ah, suatu perbuatan dapat dinaytakan syirik apabila meliputi dua hal:
- Menyekutukan Allah swt dengan meyakini ada dzat lain yang layak disembah atau dapat memberi kebaikan dan keburukan.
- Ada niat (kesengajaan) melakukan hal tersebut[1].
Sebab itu, mendatangi kuburan dan menghiasianya dengan taburan bunga, tidak pasti hukumnya syirik selama ia tidak berniat menyekutukan Allah swt. Begitu juga memberikan sesajen yang ditaruk di tempat-tempat keramat, tidak dihukumi syirik selama meyakini Allah swt yang memberikan kebaikan semuanya.
Bahkan bersujud kepada manusia sekalipun tidak dihukumi syirik selama ia berniat sekedar memulyakan orang tersebut. Imam As Syaukani berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ: “وَمِنْهَا اَلسُّجُوْدُ لِغَيْرِ اللهِ” فَلَا بُدَّ مِنْ تَقْيِيْدِهِ بِأَنْ يَكُوْنَ سُجُوْدُهُ هَذَا قَاصِدًا لِرُبُوْبِيَّةِ مَنْ سَجَدَ لَهُ فَإِنَّهُ بِهَذَا السُّجُوْدِ قَدْ أَشْرَكَ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَثْبَتَ مَعَهُ آلَاهَا آَخَرَ. وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَقْصِدْ إِلَّا مُجَرَّدَ التَّعْظِيْمِ كَمَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْ دَخَلَ عَلَى مُلُوْكِ الْأَعَاجِمِ أَنُّهُ يُقْبِّلُ الْأَرْضَ تَعْظِيْمًا لَهُ فَلَيْسَ هَذَا مِنَ الْكُفْرِ فِي شَيْءٍ
Artinya: “Perkataan: “Sebagian dari syirik bersujud kepada selain Allah”. Maka dalam hal ini sujudnya harus ada tujuan (niat) menganggap Tuhan terhadap yang disujudi. Karena dengan demikian, berarti ia benar-benar telah menyekutukan Allah azza wa jall, serta menetapkan ada Tuhan yang disembah selain Allah. Akan tetapi, jika tidak ada tujuan demikian, hanya semata-mata mengagungkan sebagaimana yang sering dilakukan kebanyakan orang ketika mendatangi raja-raja, maka tidak termasuk syirik sama sekali”[2]
Di dalam kitab I’anatut Thalibin juga dijelaskan:
حاشية إعانة الطالبين (4/ 153)
لَوْ عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَسْجُدْ لَهَا عَلَى سَبِيْلِ التَّعْظِيْمِ وَاعْتِقَادِ اْلإِلَهِيَّةِ، بَلْ سَجَدَ لَهَا وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالتَّصْدِيْقِ لَمْ يُحْكَمْ بِكُفْرِهِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ وَإِنْ أَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْكَافِرِ فِي الظَّاهِرِ
Artinya: Seandainya orang yang sujud tersebut diketahui ia tidak bersujud dalam rangka mengagungkan dan meyakini yang disujudi adalah Tuhan, akan tetapi hanya sekedar bersujud tetapi hatinya masih beriman, maka tidak dihukumi kafir diantara dia dengan Allah swt, sekalipun secara dzohir terlihat kafir”[3]
Sebab itulah, dalam Ahlussunnah wal Jama’ah sangat menjaga lisan untuk tidak mudah mengumbar kata kafir atau syirik kepada orang lain. Karena kesyirikan masih ada keterkaitan dengan masalah hati. Dan tidak ada seorang pun mengetahui niat hati seseorang selain Allah swt.
Catatan Kaki
[1] Sulaiman bin Umar Al Jamal, Hasyiyah Al Jamal, Juz 21, Hal 61
[2] As Syaukani, As Sailul Jaral Al Mudaffiq, Hal 979
[3] Syaikh Umar Syatha Ad Dimyathi, Hasyiyah I’anatut Thalibin, Juz 1, Hal 67
M. Jamil Chansas, Dosen Qawaidul Fiqh di Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember.