Khilafah.id – Secara umum, pemahaman syirik dalam perspektif Wahabi dengan Ahlussunnah wal Jama’ah sama. Begitu juga konsekwensi dari syirik, seperti tidak ada ampunan dari Allah swt bagi pelakunya. Dalam kasus-kasus tertentu, ada juga kesamaan semisal orang yang meyakini ada Tuhan selain Allah swt, atau meyakini ada dzat yang dapat memberikan kebaikan atau keburukan selain_Nya adalah perbuatan syirik.
Lalu apa perbedaannya yang mendasar antara Wahabi dengan Ahlussunnah wal Jama’ah ?
Dalam aspek lain, jelas ada perbedaan antara Wahabi dengan Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai syirik.
Wahabi membagi syirik ke dalam dua bagian, yaitu: 1) Syirk Akbar dan 2) Syirik Asghar.
Syirik akbar adalah syirik yang berpotensi pelakunya menjadi kafir. Sementara syirik asghar tidak sampai kepada taraf kafir, tetapi masuk kategori dosa besar. Dalam tulisan ini, tidak membahas tentang syirik asghar, tapi lebih kepada syirik akbar.
Syirik akbar sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad bin Jamil Zainu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:
- Syirik yang disebabkan keyakinan terhadap sifat-sifat Allah swt ada pada Nabi atau para wali, seperti mengetahui kejadian yang akan datang
- Syirik yang disebabkan do’a dan ibadah, seperti meminta kepada selain Allah swt
- Syirik yang disebabkan karena taat kepada hukum yang ditetapkan suatu negara dan dinilai bertentangan dengan al Qur’an dan al Sunnah.
- Syirik karena meyakini ada dzat lain yang dapat menciptakan suatu hal [1].
Sebenarnya, jika kita cermati penyebab syirik yang rumuskan oleh Wahabi tidak lepas dari konsep Tauhid mereka sendiri, yaitu Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ Was Sifat. Misal syirik yang disebabkan karena meminta kepada selain Allah swt sebenarnya tidak lain mau mengkafirkan setiap orang yang bertawassul dan bertabarruk kepada Nabi dan orang-orang shalih. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan tokoh referensi Wahabi sendiri, Ibn Taimiyah:
وَأَمَّا زِيَارَةُ قُبُورِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ لِأَجْلِ طَلَبِ الْحَاجَاتِ مِنْهُمْ أَوْ دُعَائِهِمْ وَالْإِقْسَامِ بِهِمْ عَلَى اللَّهِ أَوْ ظَنِّ أَنَّ الدُّعَاءَ أَوْ الصَّلَاةَ عِنْدَ قُبُورِهِمْ أَفْضَلُ مِنْهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَالْبُيُوتِ فَهَذَا ضَلَالٌ وَشِرْكٌ وَبِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
Artinya: Ziarah kubur para nabi dan orang-orang shalih karena meminta agar kebutuhannya dikabulkan, atau meminta kepada mereka dan bersumpah dengan mereka atasnama Allah swt, atau menyangka bahwa berdo’a atau shalat di kuburan lebih utama daripada di masjid-masjid atau rumah-rumah, maka ini semua merupakan perbuatan sesat dan syirik dan bid’ah berdasarkan kesepakatan umat Islam”[2]
Tidak lain rumusan tersebut karena Wahabi menganggap orang-orang yang bertawassul dan bertabarruk telah mengingkari terhadap Tauhid Rububiyah. Padahal Ahlussunnah wal Jama’ah sama sekali tidak demikian. Ahlussunnah wal Jama’ah masih meyakini bahwa yang memberikan kebaikan dan keburukan adalah Allah swt.
Sebab itu, maka yang paling signifikan dalam perbedaan antara Wahabi dan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pada niat. Wahabi sama sekali tidak mempertimbangkan adanya niat pada seseorang dalam melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi syirik, sehingga apapun yang secara dzohir adalah menyalahi Tauhid ala mereka, maka wajib kafir.
Catatan Kaki
[1] Muhammad bin Jamil Zainu, Manhaj Al Firqah An Najiyah, Hal 51-52
[2] Ibn Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, Juz 17, Hal 471
M. Jamil Chansas, Dosen Qawaidul Fiqh di Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember.