Khilafah.id – Ekstremisme belum juga reda. Namun demikian, ia ditanggapi secara beragam. Ada yang setuju lantaran menyadari bahwa ekstremisme sudah berada di titik mengkhawatirkan, namun tak sedikit pula yang kontra. Yang terakhir ini disebabkan, misalnya, karena anggapan kesalahan taktis penanganan paham ekstrem, juga sebab ketidaklaikan komentar atas radikal itu sendiri. Padahal, bagi semua pihak, memberantas ekstremisme adalah keharusan.
Tanggapan kontra tadi, jika disebabkan anggapan kesalahan taktis, barangkali dimaklumi. Setiap narasi kontra ekstremisme merupakan kebijakan yang gradual dan, oleh karena itu, bersifat dinamis. Diperlukan sumbangsih berbagai kalangan, banyak akademisi, atau para praktisi hukum, agar penanganan ekstremisme tak sebatas menjadi rutinitas tambal-sulam. Tentu kita semua harus terlibat untuk urun-rembuk penanganannya. Itu yang pertama.
Akan tetapi, yang kedua, jika tanggapan kontra tersebut dilatarbelakangi anggapan ketidaklaikan komentar terhadap ekstremisme sendiri, itu adalah masalah. Misalnya, ketika orang merasa sinis dengan narasi kontra ekstremisme yang dilakukan sebagian buzzer. Lalu orang beranggapan, bahwa memberantas ekstremisme sendiri adalah muka lain dari memancing ekstremisme. Perang ideologi, umpamanya, yang membuat kita hendak putus asa untuk terlibat di dalamnya.
Belum lagi komentar sementara kalangan bahwa menarasikan pemberantasan ekstremisme tetapi mengaitkan, satu-satunya, pada agama, teramat memuakkan. Dendam, konflik internal, kesenjangan sosial, kata orang-orang ini, juga menjadi penyebab terjadinya ekstremisme. Karena faktor tersebut tak bersentuhan dengan agama, menyelesaikan dengan agama saja dianggap salah taktis. Atau sekalipun bersentuhan, namun berdalih, “yang waras ngalah!”.
Ini ironis. Karenanya, penanganan ekstremisme membutuhkan seseorang yang paham dan layak berbicara mengenai topik tersebut. Agar ketika ada yang menyanggah, ia sudah memiliki argumen cukup kuat untuk mematahkan sanggahannya. Atau sekalipun tidak terlalu ahli, setidaknya kita tidak abai terhadap upaya memberantas ekstremisme karena alasan mengalah. Silent majority semacam ini hanya akan menambah kekejaman ekstremisme itu sendiri.
Ekstremisme yang Kejam
Apakah ekstremisme dan radikalisme itu sama, atau keduanya berbeda? Apakah keduanya merupakan hierarki, bahwa ekstremisme adalah klimaks radikalisme? Atau apakah semua term beragam tersebut tak memiliki kesinambungan satu sama lain? Jawaban atas pertanyaan ini relatif panjang. Yang jelas keduanya sama-sama kejam. Radikalisme dan ekstremisme menjadi biang kerok dari seluruh kekacauan di negara-negara Islam.
Islam pun, oleh para aktor ekstremisme, dianggap telah hilang. Artinya bahwa dalam keadaan tertentu, seseorang merasa bahwa posisi ideal Islam sudah tidak ada. Mereka merasa hidup di tengah kondisi sosial yang mendiskreditkan agama mereka, sehingga merasa perlu adanya perlawanan. Kausalitas sikap radikal dan tindakan ekstrem menyuguhkan kita satu fakta penting, bahwa di antara keduanya, ada masalah yang begitu kompleks.
Untuk itu, fokus utama memberantas ekstremisme adalah mempertahankan negara dari rongrongan pemikiran terlarang yang mengatasnamakan Islam. Ekstremisme dalam segala wujudnya, baik pemikiran maupun pergerakan dan tindakan, adalah sesuatu yang mesti dieliminasi. Kendati deradikalisasi sudah dilakukan oleh pemerintah, tetapi bukan berarti kita punya alasan untuk tidak ikut terlibat, apalagi dengan kalimat sinis seperti diinggung tadi.
Kita, yang muda, yang punya wawasan kebangsaan, yang memahami moderasi beragama, harus punya ke bahwa target utama memberantas ekstremisme ialah kaum milenial, sekaligus menjadikan mereka aktor dari kontra-ekstremisme itu sendiri. Posisi urgen generasi milenial dalam hal ini disebabkan terlibatnya mereka dalam setiap kemungkinan yang terjadi ke depan. Apakah upaya tersebut akan berhasil, juga, salah satunya, ditentukan oleh sejauh mana kita terlibat.
Masifnya ekstremisme yang ditandai dengan kuatnya simpati atas berdirinya khilafah membuktikan keberhasilan kaum tersebut memanfaatkan para pemudanya. Itulah sebabnya meskipun dalam persentase minoritas, mereka tidak bisa disepelekan. Kecenderungan para pemuda memilih organisasi baru, yang sesuai proyek hijrah mereka, adalah bukti konkret kebenaran tesis ini. Sampai di sini, apakah kita masih mau bilang “yang waras ngalah”?
Justru karena waras, kita harus maju ke baris terdepan dalam memberantas ekstremisme. Bagaimana kita sebagai generasi milenial memegang kunci penting dalam kontra-ekstremisme, adalah sesuatu yang mesti disadari bersama. Hak-hak pembelaan pada negara memiliki nilai absolut. Negeri ini butuh kita menjadi pribadi yang memiliki kegigihan kuat dalam memberantas ekstremisme. Bukan ahli main TikTok saja, tapi juga ahli moderasi beragama.
Peran Moderasi Beragama
Sebenarnya ini tidak perlu dijelaskan lagi. Kita yang waras, adalah kaum berpendidikan. Kita yang berpendidikan, harus ikut andil memberantas ekstremisme. Ini bukan tentang merebut narasi, melainkan menjaga negeri. Sebagaimana kaum ekstrem, seperti laskar FPI, aktivis HTI, para dedengkot Salafi, yang solid satu sama lain, kita juga mesti solid untuk membumihanguskan mereka dari Indonesia. Di sinilah, kita harus memakai strategi moderasi beragama.
Pertama-tama kita harus mengetahui tolok ukur ekstremisme. Seseorang dikatakan ekstrem ialah jika yang bersangkutan mengalami pergolakan batin untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tak dibenarkan. Karenanya, sikap ekstrem juga muncul lantaran problem individual. Tidak berhenti di situ saja, pergolakan tersebut kemudian menemukan justifikasinya. Setelah ini, manifestasi ekstremisme beragam, tergantung concern gerakan organisasinya.
Namun perbedaan indikator ekstremisme tidak lantas menjadikannya sebagai permasalahan yang simpang siur. Ada yang mendukung, tak sedikit pula yang menentang, menganggapnya sebagai kesalahan premis tentang kekerasan. Bom bunuh diri, sebagai contoh, merupakan bentuk riil dari hipokrisi ekstremisme mengatasnamakan Islam. Islam yang awalnya moderat, diekspolitasi menjadi ekstrem. Maka tantangan kita satu: mengembalikan kemoderatan tersebut.
Moderasi beragama ibarat obat untuk menyembuhkan penyakit ekstrem. Namun demikian, obat tidak bisa datang sendiri, melainkan butuh resep dokter. Kita semua adalah dokter yang bertugas menyembuhkan mereka yang telah terpapar, sekaligus mengantisipasi pasien yang belum terpapar. Memilih abai dengan mengatakan “yang waras ngalah!” adalah ibarat membiarkan orang gila menangani penyakit. Apa jadinya? Kita yang waras malah akhirnya akan ikut gila juga.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.