Khilafah.id – Konflik Taliban di Afghanistan semakin runyam dengan berbagai fakta-fakta baru yang terus bergulir dan membuat bingung. Setelah mendapat pengakuan bahwa Taliban sudah berkuasa atas Afghanistan, negara-negara seperti China mulai menawarkan kerjasama, serta bisa kita prediksi beberapa negara akan mulai melakukan kerjasama-kerjasama yang lain kepada Afghanistan, di bawah kekuasaan Taliban.
Di samping itu, ketakutan kepada kekuasaan Taliban terus bergulir dengan fakta sejarah yang pernah terjadi di Afghanistan pada 20 tahun silam, tepat pada tahun 1996-2001. Keganasan Taliban pada waktu itu yang tidak memperbolehkan perempuan memperoleh pendidikan, melarang akses publik terhadap perempuan, serta mewajibkan perempuan untuk memakai burqa.
Fakta sejarah yang terulang pada 20 tahun silam ini menjadikan sikap trauma tersendiri bagi warga Afghanistan. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya pemuda Afghanistan yang lari ke Turki (Detik). Di samping itu, kegelisahan perempuan Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban juga dilihat dari berbagai respons yang dilihat dari media sosial dengan ketakutan dan berbagai trauma luka lama yang masih tersimpan dalam memori ingatan.
Perampasan Hak-hak Perempuan
Tentu kita masih ingat tentang perempuan peraih nobel perdamaian paling muda yang menjadi korban Taliban. Suaranya menggema untuk memperjuangkan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan. Kondisinya sempat kritis, bahkan ia sudah melewati mautnya dan menjadi kekuatan baru untuk terus menyuarakan pendidikan bagi anak perempuan.
Meski demikian, persoalan kesempatan pendidikan bagi perempuan bagi para pejuang khilafah di Indonesia tidak seperti Taliban di masa silam. Mereka tetap menyuarakan pentingnya pendidikan untuk perempuan, peran yang bisa dilakukan dalam ranah publik dan memberikan kesempatan yang bisa kita lihat pada berbagai tokoh perempuan pejuang khilafah.
Ini yang menjadi perbedaan penting antara keduanya, khilafahers di Indonesia sangat soft. Mereka hanya menginginkan agar sistem khilafah ditegakkan di Indonesia. Membenci kapitalis, dan segala hal yang berhubungan dengan luar Islam. Maka ketika Taliban memutuskan untuk hijrah tidak seperti 20 tahun silam, sikap ini menjadi selebrasi utuh bagi para khilafahers di Indonesia untuk menjadikan Taliban bagian dari afirmasi bahwa khilafah Islamiyah adalah sistem yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Propaganda Syiar Islam yang Terus Berkembang di Indonesia
Parahnya, di Indonesia isu Taliban ini dijadikan sebuah serangan bagi para tokoh kampanye khilafah dalam mempromosikan ideologi yang lebih kejam dari Taliban tersebut. Apalagi kalau bukan mendirikan negara Islam.
Saya selalu hampir merasa tidak habis pikir, bahwa kelompok ini selain cerdas, cerdik pula. Mereka memanfaatkan dalam setiap momentum isu-isu internasional yang erat kaitannya dengan isu keislaman. Eksistensinya bukan main, tentu narasi yang akan dibangun tidak lepas dari kepentingan yang tidak berubah dari awal hingga sekarang.
Hal ini bisa dilihat pada tulisan yang berjudul, “Taliban dan Ketakutan Penerapan Syariat Islam” yang dimuat dalam website Muslimahnews.id. Penulis menjelaskan bahwa perbedaan dalam menerapkan ajaran Islam menjadi sangat berbeda pada masing-masing orang yang menerapkan di Indonesia. Hal itulah yang menjadikan kewajaran bagi Taliban pada berbagai pemaknaan Islam yang terjadi pada 20 tahun silam.
Pada tulisan itu pula juga dijelaskan bahwa keberadaan Taliban adalah harus diakui eksistensinya sebagai kelompok yang mampu merubah Afghanistan sebagai negara yang menerapkan sistem Islam. Memaafkan Taliban yang sedang berhijrah dari sikap yang ditampilkan 20 tahun silam menjadi keniscayaan yang harus dipahami oleh masyarakat.
Tulisan tersebut juga sejalan dengan penegasan Taliban, bahwa setelah pengambilalihan kekuasaan, Afghanistan akan menerapkan hukum Islam sebagai landasan dalam segala aspek kebijakan yang akan diambil.
Fakta ini yang terus dijadikan narasi propaganda oleh kelompok HTI di Indonesia. Di masa akan datang, eksistensi Afghanistan sebagai negara yang menerapkan sistem hukum Islam terus gencar dijadikan cerita perjuangan para khilafah di Indonesia, yang gencar memperjuangkan Indonesia untuk menjadi negara khilafah Islamiyah.
Syiar Islam terus menjadi kampanye masif yang terus disemarakkan oleh khilafahers di Indonesia. Mereka akan terus berjuang mengusung ideologinya yang tidak akan pernah mati. Bagi saya perjuangan itu tidak akan pernah berhasil. Sikap optimis ini bukan tanpa dasar. Indonesia memiliki banyak ulama, para kiai, bangsa yang kokoh dalam mempertahankan NKRI.
Kondisi yang demikian tidak kemudian menjadi kita untuk tidak berusaha dalam melawan para kampanye mereka di media sosial. Kita justru harus memperbanyak usaha dan upaya untuk membuat mereka kalut. Ketika kekuatan mereka bertambah besar, kekuatan kitapun juga semakin membesar melawan ideologi mereka.
Muallifah, penulis lepas.