Tentang Indonesia Tercinta yang Terancam Khilafah

indonesia

Satu buat semua, semua buat Satu
—Bung Karno, Proklamator

Humanity’s next target are likely to be immortality,
happiness and divinity

—Yuval Noah Harari, Homo Deus

Khilafah.id – Ya, semuanya tentang kita, perihal epidemi global coronavirus yang melanda di penjuru dunia. Data terkini total kasus Covid-19 yang mengkarantina dunia, tembus korban 100 juta jiwa. Amerika Serikat menjadi negara tertinggi yang dilanda corona, termasuk negeri tercinta Indonesia. Tapi sebelum bercerita itu semua, ada yang kita lupa yakni nikmat Tuhan bagi kita sebagai sebuah negara-bangsa.

Di antara anugerah dan nikmat Tuhan yang terbesar adalah Dia telah menjadikan kita semua hidup di negeri dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Sangat indahnya pulau-pulau di bangsa ini, hingga bangsa lain menyebut kita sebagai untaian zamrud di khatulistiwa.

Indonesia, negeri kita adalah negeri yang memiliki 3 takdir besar. Takdir pertama adalah takdir geografi, berapa luas tanah dan daratannya? 195 juta hektar. Kalau peta Indonesia dihamparkan di atas peta dunia, besarnya hamparan negeri ini terbentang dari kota London di Inggris sampai Teheran, di Iran. 195 juta hektar. Lebih dari seluruh negara Eropa. Ayo dicatat, dari 195 hektar itu sekitar 178 juta hektar dikuasai perusahaan-perusahaan asing, perusahaan kelapa sawit, perusahaan minyak dan gas, pertambangan mineral, batu bara dan kehutanan. Mereka menguasai 93 persen dari tanah-tanah di Republik ini.

Sisanya saat ini, sedikit demi sedikit diambil mereka untuk pabrik, mall-mall, super-market, hotel dan sebagainya. Ketika kita menyanyikan lagu Kebangsaan ini, menangislah: Indonesia, Tanah Airku! Ah, tanah air itu bukan lagi milik kita! Terus piye Wak Kaji?

Posisi takdir geografi ini sangat strategis membuat negara-negara lain ikut “berebut pengaruh dan mencipta proxy”. Takdir geografi oleh kalangan pakar disebut“geography is destiny”. Lalu takdir kedua adalah “demography is destiny”. Raut wajah demografi bangsa menunjukan pertumbuhan demografi kaum mudanya yang keren, progresif dan inovatif. Lihatlah guys!

Jika para pengelola Republik ini abai, Indonesia akan mengalami bencana sosial dengan segala kekacauannya. Ini adalah kesempatan sejarah, yang seringkali kita abaikan. Sedangkan takdir ketiga adalah identity is destiny. Lebih dari 300 etnik, yang terdiri dari 700 bahasa yang membentuk konsensus nasional dengan apa yang dinamakan Indonesia. Belum lagi suku, agama dan budaya. Ngeri banget ya!

Kemudian jika memang 3 (tiga) takdir adalah kenikmatan dari Tuhan dan kesempatan kita pastinya jadi bangsa yang maju dan makmur, bukan bangsa yang muter-muter dalam lingkaran setan. Sebuah lingkaran “history misfortune”. Bangsa yang penuh duka cita, langit Indonesia yang kelabu, bencana dan malapetaka seperti yang kita alami saat ini, salah satunya adalah wabah corona yang ngeri.

Detik ini saja sudah menjangkiti saudara-saudara se-bangsa menembus hampir 1 juta jiwa. Sebuah peristiwa yang mengerikan dan menakutkan dalam sejarah bangsa masa kini. Rakyat kita akankah siap untuk menghadapinya? Misalnya di-lockdown sebagaimana nasib negara-negara Eropa dan Asia?

Apa yang terjadi?

Dalam sebuah kesempatan ngopi ganteng-ganteng serigala dengan om Hafiz, kolega yang paham dunia tarekat atau sufisme, paham juga ilmu Hubungan Internasional. Respon dia terkait coronavirus dan segala yang terjadi saat ini, menarik dikaji.“Mungkin Tuhan ingin manusia istirahat Mas, sudah terlalu larut mungkin kita mengejar dunia” katanya. Ayahnya Bajradewi dengan seksama mendengarkan paparannya, walaupun ada hal yang kakeane yaitu setiap kejadian kayak gini, kapitalisme global yang menggeruk untung besar di tengah ketakutan massa.

Lihatlah begitu banyak lautan manusia yang memburu dan ngantri jajanan dan makanan seabrek di super-market, swalayan, mall-mall, Indomart, dan Alfamart, bukannya di warung-warung tetangga sebelahnya. Sebuah pemandangan ketakutan manusia kepada makanan dan pangan, bahkan mungkin takut kepada kematian.”Setiap tarikan nafasmu adalah menuju kuburanmu,” demikian dawuh Sayyidina Ali.

Ada apa dengan-Mu? Apa yang terjadi di negeri tercinta ini? Di penjuru dunia, Amerika, China, Italia, Korsel, Singapura, Iran, Spanyol, Brazil dan 170 negara lainnya yang dilanda wabah virus corona. Mengapa kenikmatan telah berubah wujud jadi malapetaka dan bencana?

Mengapa kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan berubah jadi bencana banjir, longsor, gempa, dan lainnya? Akankah ini adalah faktor keserakahan manusia? Atau ada faktor lain cuk misalnya bocornya senjata biologis, konspirasi atau dampak pertengkaran perang dagang global antara China vs Amerika. Antum-antum setuju yang mana? Atau punya paparan lain seperti ramainya perdebatan novel besutan Dean Koontz berjudul The Eyes of Darkness di jagat medsos. Terserahlah antum melihatnya! Tapi yang jelas, langkah melawan epidemi corona di negeri kita wajib digelorakan secara berjama’ah. Berbuatlah, bergeraklah untuk sesama!

Sekali lagi ada apa dengan negeri tercinta?

Kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan analisa ilmiah atau dengan sekedar mengotak-atik otak. Tetapi, bagaimana dengan penjelasan kitab suci Al-Qur’an? Karena salah-satu sebab-sebab ghaib, di samping sebab-sebab lahir. Padahal sains adalah makhluk bermata satu, yang melacak berbagai peristiwa pada sebab-sebab material. Jika sebab-sebab material itu tidak ditemukan, sains berkata: kejadian ini tidak rasional.

Di antara sebab-sebab ghaib yang mempengaruhi hidup kita adalah perilaku moral kita. Tuhan menyebut sebab kejatuhan dan hancurnya satu generasi pada perilaku mereka yang melalaikan sembahyang dan mengikuti hawa nafsunya (QS. 19:59). Dalam surat al-A’raf ayat 96, Tuhan menisbahkan terbukanya keberkahan dari langit dan bumi pada perilaku sebuah Bangsa yang beriman dan bertakwa.

Dalam surat Al-Anfal ayat 53-54, Tuhan mencabut kenikmatan pada satu bangsa karena bangsa itu sudah menjadi keluarga besar Fir’aun: “ (Siksaan) yang demikian itu terjadi karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu bangsa sehingga bangsa itu mengubah apa yang ada di dalam diri mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Keadaan bangsa itu sama dengan keadaan keluarga Fir’aun serta orang-orang sebelumnya.

Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya. Maka kami binasakan mereka dengan dosa-dosa mereka dan kami tenggelamkan keluarga Fir’aun. Semuanya adalah orang-orang yang zalim (QS. 8:53-54).” Jangan-jangan langit kelabu Indonesia yang menimpa kita awal tahun 2021 ini terjadi karena seluruh bangsa ini sudah menjadi keluarga Fir’aun wa ashabihi. Politikus yang serakah dan kejam, tapi halus mainnya.

Jangan-jangan para pengendali negara, pejabat dan pengelola kekuasaan di antara kita sudah menjadi fir’aun-fir’aun kecil, yang menggunakan daya politik dan ekonominya untuk memeras yang lemah, mempermainkan nasib rakyat, menindas yang rendah dan merampas hak-hak orang yang tidak berdaya. Abai dan ngga’ peduli nasib kaum sudra dan paria, menyingkirkan jama’ah rawa-rawa. Perilaku kita sudah seperti layaknya para dewa-dewi. Maklum berkuasa guys! Korupsi dimana-mana terjadi mas bro.

Jangan-jangan orang-orang berharta kita, pengusaha dan konglomerat sudah menjadi Qarun, sang rakus yang mengumpulkan dunia dengan tidak peduli halal dan haram, sikat guys. Demi duit, kita tak ragu-ragu menghajar dan menghantam, menyakiti, bahkan ‘membunuh’ sesama saudara kita. Kita sudah jadi binatang-binatang buas, karena memang aslinya binatang dengan kadar yang tinggi, cuman bukan anggota kebun binatang Ragunan om. Julukan zamrud Khatulistiwa sudah kita ubah menjadi rimba raya yang mengerikan bos. Indonesia yang diisi para serigala, homo homini lupus.

Jangan-jangan para intelektual keren dan top markotop negeri ini sudah menjadi Haman dan jaringannya. Mereka bermetamorposis jadi penggerak yang mempersembahkan kecerdasannya untuk mengabdi kepada aliran hitam kezaliman. Kecerdikannya digunakan untuk meliciki rakyat. Kepintaran kita manfaatkan untuk ‘menyesatkan’ orang-orang lemah dan menipu ummat atas nama agama. Semuanya total demi kekuasaan, belaka tanpa kepedulian akan kemanusiaan. Harta, tahta dan nama adalah trilogi perjuangannya.

Jangan-jangan tokoh agama kita sudah berubah jadi Bal’am bin Ba’ura. Kita jual ayat-ayat suci untuk memenuhi saldo rekening bank kita. Kita kemas ambisi duniawi dengan ritus-ritus keshalehan langit. Seyogyanya kita langkahkan kaki-kaki kita ke gubuk-gubuk rakyat, mengetuk pintu mereka, memberikan bantuan kepada warga yang tertimpah masalah dan sakit. Tetapi yang terjadi, mereka abai nasib rakyat, diperas oleh sapi perah kapitalisme, jadi sekrup-sekrup mesinnya.

Dan kini, kita mengayunkan langkah ke markas besar para penguasa dan geng oligarki, menundukkan kepala kita di hadapan mereka, seraya menggunakan ayat-ayat Tuhan untuk membenarkan tirani dan kezaliman mereka. Padahal kita adalah hamba Tuhan, bukan hamba politikus lokal, nasional dan global.

Jangan-jangan kita semua sudah tidak peduli dengan perintah-perintah Tuhan. Kita semua sudah jadi budak-budak dunia. Di tempat ibadah, kita membesarkan nama Tuhan yang akbar. Di luar tempat ibadah yang mulia, kita menyepelekan Dia. Di tempat ibadah, seluruh anggota badan kita pergunakan untuk beribadah kepada Tuhan. Di luar tempat ibadah, kita menggunakannya untuk bermaksiat sosial kepada-Nya.

Tangan-tangan dan jari-jemari yang kita angkat dalam untaian do’a-do’a kita adalah juga tangan-tangan yang bergelimang dosa-dosa Kebangsaan. Lidah-lidah yang kita getarkan untuk menyebut nama Tuhan yang suci dan agung adalah juga lidah-lidah yang berlumuran kata-kata kotor, fitnah, cacian, kebencian, penghakiman dan makian kepada liyan di mimbar suci dan medsos. Aksi-aksi intoleransi dan persekusi kita lakukan dengan semena-mena dan barbar.

Kepala yang kita rebahkan dalam sujud-sujud adalah juga kepada yang kita dongakkan dengan angkuh dan sombong di hadapan hamba-hamba Tuhan. Sebuah rincian perilaku moral kita yang ngeri, yang berdampak besar kepada ekosistem sosial dan kebangsaan Indonesia kita. Ampunnn!

Apa yang Mesti Diperbuat?

Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2017) telah menunjukkan bahwa dalam ratusan tahun ini, manusia telah berhasil mengembangkan teknologi kesehatan mengatasi wabah. Misalnya wabah pes hitam pada 1330-an telah membunuh lebih dari 75 juta jiwa. Wabah itu mengurangi populasi secara drastis hingga seperempat penduduk Afrika Utara dan Eropa.

Dengan kecanggihan teknologi kesehatan, para pakar berhasil menemukan berbagai obat anti-virus sehingga mampu mencegah berkembangnya korban dalam skala global. Meski virus baru sering muncul dalam waktu beberapa tahun, jumlah korban dapat ditekan. Inovasi teknologi medis berhasil memberantas wabah.

Tentunya tidak cukup, ada cara lain dalam melawan coronavirus. Begitu banyak kalangan yang punya pandangan menyalahkan epidemi coronavirus secara global, dan mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi lebih banyak wabah adalah dengan mengglobalisasi solidaritas persaudaraan. Penawar epidemi coronavirus bukanlah pemisahan melainkan kerja sama dalam kepemimpinan kemanusiaan, kata Yuval sejarawan dari Israel. “Epidemi atau wabah akan selalu ada dan manusia selalu menemukan jalan keluarnya.

Karena manusia mencoba untuk hidup selamanya, begitu kata Gus Amin dari bumi Cirebon punya. Akhirnya, tampillah vaksin Sinovac dari China, pfizer dan lainnya. Presiden Jokowi adalah orang pertama yang divaksin. Ia ingin membuktikan pemerintah sangat serius mengatasi wabah tersebut. Dilanjutkan masyarakat untuk menerimanya secara gratis tis tis.

Akhirul Kalam

Terkini, suasana bathin Indonesia kita sedang muram, the doom and the gloom. Apakah semuanya merupakan sebentuk kearifan, a kind of wisdom in a twisted form untuk menghindari puspa ragam bencana dan malapetaka di masa depan?

Marilah semua anak bangsa mengubah musibah dan bencana wabah corona dan malapetaka gempa, longsor, banjir yang melanda bangsa, yang kita alami sekarang menjadi nikmat kembali, yakni dengan mengubah perilaku moral kita. Tinggalkan arogansi dan kesombongan Fir’aun, kerakusan dan keserakahan Qarun, kelicikan Haman dan kemunafikan Bal’am. Semuanya demi padamu negeri, Indonesia tercinta yang aman, damai dan makmur

Marilah kita berbuat, kolaborasi satu barisan dan satu jiwa agar umat manusia segera terbebas dari wabah corona. Presiden Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin pemimpin bangsa harus bergerak total dengan langkah-langkah yang terukur bersama menteri-menteri, stafsus milenial yang katanya super keren-keren (terjunkan mereka di lapangan Pak De), Kepala Daerah, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat. Komunitas-komunitas di penjuru Tanah Air mesti bersatu padu dalam solidaritas sosial, ditautkan dalam satu jalan seiring memberesi krisis Kebangsaan (problem of evils).

Inilah sebuah era pertaruhan besar Presiden Jokowi di hadapan rakyatnya dan di tengah pergaulan dunia. Semoga Presiden terhormat selalu sabar dan tabah dalam menggerakkan kapal besar bernama Indonesia. Sebagaimana dawuh Sayyidina Ali,”siapa pun yang mengendarai kuda kesabaran pasti akan menemukan jalannya, menuju medan kemenangan.”

Kita sebagai umat beragama dan warga negara yang baik, seluruh rakyat mesti bergandengan tangan dan hati, bahu-membahu, dan bergotong-royong. Hempaskan sikap egois kita semua untuk mengeluarkan semua anak bangsa dari gua kegelapan menuju cahaya pencerahan sebagaimana jalan hidup Soekarno-Hatta, pendiri nation state of Indonesia.

Tuhan kami,
janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau berbuat dosa.
Tuhan kami, jangan timpakan kepada kami beban
seperti Engkau timpakan kepada umat sebelum kami.
Tuhan kami, jangan timpakan kepada kami siksa yang kami tidak sanggup memikulnya. Maafkan kami, sayangi kami,
Hanya Engkau sajalah Pelindung kami.

Tentunya, sebagai umat beragama, marilah kita lantunkan bersama juga do’a syair ijazah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari saat menghadapi wabah penyakit yang melanda bangsa.

Li Khomsatun, uthfi-biha # Harol waba-il Hathimah
Al-Musthofa wa Murtadho # Wabnahuma wa Fathimah

Artinya: “Aku berharap diselamatkan dari panas derita wabah yang mengakibatkan kesengsaraaan, dengan wasilah derajat luhur 5 (lima) pribadi mulia yang aku punya: Baginda Nabi Muhammad al-Musthafa Saw, Sayyidina Ali Al-Murtadho dan kedua putra (al-Hasan dan al-Husain),
serta Sayyidatina Fathimah Az-Zahra binti Rasulillah Saw.”
Shollu alannabiy.

Semuanya tidak berarti, kecuali Allah Tuhan yang sejati.
Jangan lupa bahagia. Ngeluh boleh, tapi seyogyanya
jangan banyak-banyak. Berbanyak nyeduh kopi ya.
Bergeraklah untuk rakyat dan ilahi.
Selalu salam ngopi!

Dino Brasco, Pengamat politik kebangsaan.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Membabat Habis Bibit Radikalisme di Era Digital

Rab Apr 20 , 2022
Khilafah.id – Fenomena radikalisme di Indonesia hingga saat ini merupakan PR kita bersama yang harus terus dilakukan pencegahannya. Radikalisme merupakan pola pikir atau ideologi yang ekstrem atau berlebihan dan bertolak belakang dengan ideologi bangsa Indonesia, agama dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Dinilai bertentangan mengingat paham yang mereka anut […]
radikalisme Digital

You May Like