Kalau Anda mau sedikit meluangkan waktu membuka-buka homepage Hizbut Tahrir, Anda bisa sedikit paham kenapa ada begitu banyak anak muda yang terpesona pada gagasan khilafah ini. Pola kampanye Hizbut Tahrir adalah mengutuk kenyataan. Mereka mencari-cari kesalahan pada hidup kita saat ini, kemudian serta merta menudingnya sebagai akibat tidak dilaksanakannya syariat Islam.
Misalnya, soal pengelolaan sumbe daya alam. Mereka mulai dengan tudingan bahwa sumber daya alam kita dikuasai oleh asing, dan rakyat dirugikan dengan sistem itu. Apa solusinya? Khilafah. Dalam sistem khilafah, sumber daya alam akan dikelola oleh negara, semua hasilnya akan dipakai untuk kesejahteraan rakyat. Hebat bukan?
Demikian pula soal buruh. Saat ada unjuk rasa buruh, orang-orang Hizbut Tahrir akan berkata bahwa masalah buruh itu ada karena syariat Islam tidak ditegakkan. Di bawah sistem khilafah dengan syariat Islam, masalah perburuhan akan bisa diselesaikan. Pendek kata, apapun masalah yang dihadapi, khilafah adalah solusinya.
Tapi, bukankah uraian mereka itu benar? Mereka dengan meyakinkan menghadirkan dalil-dalil untuk mendukung gagasan itu. Jadi, apa salahnya? Sebenarnya itu sama saja dengan Anda membahas sebuah tim sepak bola imajiner yang bisa mengalahkan Real Madrid, saat Persija babak belur ketika bertanding melawannya. Tim Persija akan punya pemain dengan kualitas begini dan begitu, strateginya begini dan begitu, maka mereka pasti bisa mengalahkan Real Madrid. Hebat bukan? Nah, di mana salahnya? Salahnya sederhana, yaitu semua itu tak nyata.
Dalam kenyataannya, sistem khilafah itu persis sama dengan sistem apapun yang pernah dipakai manusia. Bahkan sebenarnya, hampir sepanjang sejarahnya khilafah itu hanyalah sebuah sistem kerajaan. Khulafaurrasyidin berumur tak lebih dari 100 tahun, kemudian diganti oleh Muawiyah dengan sistem kerajaan.
Dalam sejarahnya, kekhilafahan tak selalu islami. Maududi misalnya dengan terang benderang telah menguraikan berbagai kebobrokan dan degradasi moral yang dipraktikkan oleh sejumlah khalifah. Hal yang sama juga dibahas oleh Foda. Sejarah khilafah sendiri juga tak melulu gemilang. Ia tediri dari beberapa fase jatuh bangun. Persis seperti sejarah peradaban lain. Bahkan sejarah mencatat peralihan kekuasaan bersimbah darah, seperti penggulingan Dinasti Ummayah, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah.
Kenapa anak-anak muda itu bisa terpesona? Mungkin karena kurang pengetahuan sejarah. Mereka menelan mentah-mentah sejarah emas versi Hizbut Tahrir yang disodorkan pada mereka. Dalam sejarah versi emas itu, khilafah adalah catatan gemilang belaka. Kalau pun mereka punya pengetahuan, mereka mengabaikan fakta-fakta kelam tadi.
Saya pernah berdialog cukup panjang dengan aktivis HTI soal sejarah itu. Setelah saya sodorkan begitu banyak fakta, akhirnya ia mengakui sisi-sisi kelam tadi. Tapi sayangnya, doktrin sudah begitu kuat menancap di otaknya, sehingga dia tidak goyah dengan keyakinannya.
Apa pangkal doktrin ini? Ketakutan pada neraka. Orang-orang HT pandai meramu dalil-dalil untuk membuat orang merasa sangat bersalah. Negara Republik Indonesia ini menurut mereka salah, karena tidak menegakkan syariat Islam. Kalau syariat tidak ditegakkan, maka kita semua ini kafir. Kafir akan masuk neraka, bukan?
Orang-orang yang tidak paham tentu akan ketakutan dengan doktrin itu. Ditambah dengan ramuan yang serba indah tadi, maka dengan mudah orang akan terpesona. Nah, bagaimana sebenarnya? Kenapa dulu tokoh-tokoh Islam yang menjadi anggota BPUPKI yang merumuskan bentuk negara Indonesia yang akan mereka dirikan tidak berpikir untuk mendirikan khilafah? Padahal banyak dari mereka itu adalah ulama, misalnya Wahid Hasjim.
Hal-hal di atas sebenarnya adalah hal-hal yang sudah tuntas dikaji oleh para ulama terdahulu. Tentu saja mereka paham dalil-dalil yang dipakai oleh HT itu. Kesimpulan yang mereka keluarkan: NKRI adalah negara yang sudah final berdasarkan ijtihad para ulama. Kesimpulan itu sudah ditegaskan oleh MUI, Muhammadiyah, dan NU, serta banyak lagi ormas Islam lainnya.
Nah, kenapa kesimpulannya berbeda? Karena penafsirnya berbeda. Para ulama NU dan Muhammadiyah itu adalah orang-orang yang hidup di Indonesia sejak lahir, menghirup udara Indonesia, bergaul dalam adat dan budaya Indonesia. Mereka berpikir dengan darah Indonesia yang mengaliri sel-sel otak mereka. Maka hasil berpikirnya membumi, berpijak pada tanah Indonesia.
Pemikiran khilafah itu diproduksi oleh orang Timur Tengah, dalam situasi konflik yang mereka hadapi. Bahkah di Timur Tengah saja pemikiran itu ditolak. Apalagi untuk Indonesia. Itu gagasan salah lahan.
Hasanudin Abdurakhman, Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.