Khilafah.id – Kelompok radikal yang ingin mengacak-acak perdamaian bangsa Indonesia, terutama dengan menggunakan ‘senjata’ agama terus bergerilya melalui mimbar-mimbar dakwah. Mereka ‘mempersenjatai’ para penceramah radikal dengan berbagai strategi dan trik agar para pemirsa atau jamaahnya ‘tersihir’ dengan doktrin melalui dalil-dalil agama yang diselewengkan.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan di tengah kondisi bangsa yang tengah berjuang mati-matian membangun kerukunan di tengah demokrasi Pancasila. Memang sudah banyak organisasi masyarakat (ormas) yang dibubarkan karena terafiliasi dengan jaringan radikal terorisme seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Asyarud Daulah (JAD), Jamaah Ansyarut Tauhid (JAT), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), namun faktanya ideologi kelompok-kelompok tersebut masih gentayangan menyebarkan paham-paham kekerasan. Mereka pun melakukan strategi yang senada yaitu dengan mengatasnamakan agama melalui para penceramah-penceramahnya.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid menyatakan soal penceramah radikal yang disampaikan Presiden Joko Widodo sebagai peringatan kuat untuk meningkatkan kewaspadaan nasional. Peringatan itu jerlas harus ditanggapi serius oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah dan masyarakat pada umumnya tentang bahaya radikalisme.
Nurwakhid menegaskan, sejak awal BNPT sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini. Pasalnya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme dan radikalisme merupakan sebuah tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama.
Untuk itulah, Nurwakhid merasa perlu mengurai beberapa indikator yang bisa dilihat dari isi materi yang disampaikan bukan tampilan penceramah. Setidaknya ada lima indikator penceramah radikal dilihat dari isi materi ceramahnya.
Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro idieologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifaan lokal keagamaan.
Nurwakhid mengungkapkan, untuk mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan dan keragaman.
Ia juga menegaskan strategi kelompok radikalisme memang bertujuan untuk menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi yang menanamkan doktrin dan narasi ke tengah masyarakat.
Setidaknya ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilang bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan Isu SARA.
Strategi ini dilakukan dengan mempolitisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme dan agama dengan kebudayaan luhur bangsa. Proses penanamanya dilakukan secara massif di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk melalui penceramah radikal tersebut.
Hal inilah yang harus diwaspadai sejak awal untuk memutus penyebaran infiltrasi radikalisme. Intinya, jangan asal pilih undang penceramah radikal ke ruang-ruang edukasi keagamaan masyarakat.
Tholabun Nusroh
Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Dr. M. Najih Arromadloni mengamini perintah tegas yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi tersebut. Menurutnya, infiltrasi kelompok radikal memang telah sampai pada lini strategis pemerintahan sehingga harus diwaspadai. Salah satunya melalui penceramah radikal, dimana salah satu pergerakan dikenal dengan istilah Tholabun-Nusroh.
Istilah Tholabun-Nusroh sendiri kerap digunakan oleh kelompok Hizbut Tahrir dengan cara mengelabui pihak-pihak yang dianggap memiliki kekuatan dan dapat memberikan perlindungan. Oleh karenanya institusi TNI-Polri ini dijadikan sasaran oleh kalompok tersebut dalam melanggengkan visinya untuk menyebarkan paham radikal.
Kondisi ini juga dipengaruhi oleh semangat beragama dari masyarakat Indonesia yang kian hari kian tinggi. Terbukti dengan banyaknya majelis dan pengajian mulai dari rumah hingga ke lingkungan instansi dan perkantoran.
Menurutnya, ada banyak faktor yang membuat instansi negara kerap ‘kecolongan’ yang telah menjadikan oknum penceramah dengan visi menyebarkan paham radikal sebagai narasumber dalam majelis. Salah satunya faktor ketidaktahuan dan hanya berdasarkan bahwa si penceramah itu populer atau mudah diundang. Kedua, bisa jadi karena memang sudah terpapar.
Dengan peringatan dari presiden ini, sudah seharusnya ada langkah konkrit untuk menanamkan kesadaran dan pengetahuan khusunya anggota serta keluarga ASN, TNI, dan Polri untuk dapat mengenali para pemuka agama moderat yang membawa kepada konsep agama sebagai rahmat.
Sebetulnya dalam pandangannya, tidak sulit untuk mengenali penceramah moderat baik secara konvensional maupun via media sosial. Parameternya isi ceramahnya tentang Islam yang ‘rahmatan lil alamin’.
Apalagi manusia dibekali dengan intuisi dan hati nurani untuk mengenali kebaikan dan penyimpangan. Sehingga jika ajaran agama tidak membawa rahmat dan kebaikan, maka menurutnya bisa jadi hal tersebut hanya sekedar nafsu dan kepentingan politik semata.
Karena itulah, sudah selayaknya para pemuka agama kembali mencontoh metode dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo dan para ulama Nusantara pendahulu dalam rangka menyebarkan agama ditengah kondisi keragaman bangsa.
Dijelaskannya bahwa Islam itu masuk ke Indonesia masuk melalui akulturasi budaya, tanpa ada kekerasan, pemaksaan, tanpa ada upaya menjatuhkan atau menghina. Prosesnya pun sangat soft sekali masuk melalui jalur kebudayaan, kekeluargaan dan sebagainya.
Proses dakwah yang demikian dapat menjadikan agama Islam ini mudah diterima oleh masyarakat Indonesia dan menjadikan kondisi sosial masyarakat saat itu menjadi sangat baik.
Syahrun Hermawan, Mahasiswa Magister UIN Jakarta.