Khilafah.id – Sebelum membahas tiga strategi mengadang NII di Indonesia, harus disinggung dahulu bahwa berita ihwal 59 orang di Garut berbaiat pada NII, beberapa waktu lalu, menerbitkan sebuah pertanyaan; apakah organisasi atau gerakan itu tengah mengalami kebangkitan? Jawabannya bisa “ya” dan bisa juga “tidak”.
Jika kebangkitan dimaknai sebagai upaya atau manuver merekrut anggota baru barangkali iya. Organisasi semacam NII ini memang nyaris mustahil dibasmi. Meski dilarang pun, secara klandestin mereka tetap akan menyebarkan ideologinya.
Namun, jika kebangkitan NII ditafsirkan sebagai keberhasilan organisasi tersebut merebut kekuasaan dari NKRI maka jawabannya ialah tidak. Meski tidak secara jelas muncul ke permukaan, sebagai gerakan NII tetap rajin melakukan rekrutmen. Jejaringnya tersebar di seluruh Indonesia. Menurut catatan NII Center, saat ini ada sekitar 60-80 ribu orang menjadi anggota NII. Sebagian besar di antarnya ialah anak muda berusia 18-25 tahun.
Menurut analisa NII Center, rentannya anak muda dan remaja terpapar ideologi NII disebabkan oleh setidaknya tiga faktor. Pertama, anak muda yang masih dangkal pengetahuan agamanya cenderung menghendaki model beragama yang hitam-putih. Kecenderungan itu sesuai dengan corak keislaman NII yang mengedepankan logika oposisi-biner (halal-haram, muslim-kafir dan sejenisnya).
Kedua, anak muda terlibat NII biasanya berasal dari keluarga tidak harmonis. Hal ini membuat jejaring NII leluasa menemukan celah untuk melakukan indoktrinasi dan rekrutmen. Ketiga, anak muda terlibat NII kebanyakan berasal dari kelompok kelas bawah yang merasa diperlakukan tidak adil oleh kebijakan pemerintah. Perasaan termarjinalisasi inilah yang dimanfaatkan oleh NII untuk memprovokasi sentimen kebencian terhadap pemerintahan.
Parasit Demokrasi
Selama ini, NII dan gerakan sejenis bisa hidup di NKRI karena memanfaatkan demokrasi. Dalam sistem demokrasi, seseorang tidak bisa dihukum karena gagasan, ide, opini atau wacana. Celah itulah yang dijadikan sebagai tameng berlindung bagi NII dan organisasi sejenis. Mereka layaknya benalu yang hidup di alam demokrasi namun menggerogotinya dari dalam.
Manuver NII dapat dibaca setidaknya dalam empat Langkah. Pertama, mendoktrinkan paham takfirisme, yakni menganggap semua orang yang berbeda dengan kelompoknya sebagai kafir. Bahkan orang tua sendiri pun dianggap kafir jika tidak sependapat dan sepaham dengan mereka.
Kedua, menebarkan sentimen kebencian pada NKRI, Pancasila dan pemerintahan yang sah dengan menganggapnya sebagai taghut dan bertentangan dengan Islam. Ketiga, menanamkan keyakinan bahwa perjuangan menegakkan syariah Islam harus dilakuan secara total dan militan, bahkan melalui cara kekerasan dan teror.
Keempat, mengajak para simpatisan dan anggotanya untuk melakukan amaliah (aksi lapangan) demi terwujudnya agenda NII. Mulai dari perampokan yang diklaim sebagai perampasan harta peperangan (fa’i) hingga melakukan aksi teror seperti bom bunuh diri dan sejenisnya. Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa manuver NII tidak hanya di level wacana, namun sampai ke aksi nyata.
Tiga Strategi
Bagaimana pun juga, indoktrinasi dan rekrutmen NII patut diwaspadai. Jangan sampai, wacana kebangkitan NII itu menjadi nyata. Setidaknya ada tiga strategi untuk mengadang kebangkitan NII yakni yuridis, ideologis dan sosiologis.
Strategi yuridis idealnya dimanifestasikan pada kebijakan hukum pemerintah untuk melarang segala aktivitas NII. Seperti kita lihat, NII tidak lagi beroperasi di level wacana, namun sudah menggalang kekuatan nyata dengan cara merekrut anggota dan mempersiapkan sumber daya. Tujuannya apalagi jika bukan makar pada NKRI. Pelarangan NII tentu bukan bagian dari islamophobia, melainkan upaya mencegah ideologi makar mengatasnamakan agama.
Strategi ideologis kiranya bisa diwujudkan melalui penguatan Pancasila dan wawasan kebangsaan serta menggalakkan narasi kontra-radikalisasi dan kontra-ekstremisme. Disinilah pentingnya vaksinasi ideologi, utamanya di kalangan generasi muda agar tidak mudah terbuai oleh propaganda NII dan organisasi sejenisnya.
Apalagi sekarang, propaganda NII dan sejenisnya bisa dengan mudah dilakukan melalui platform media sosial. Penting diketahui bahwa para pengusung gerakan makar mengatasnamakan agama ini jumlahnya sangat banyak. Maka, strategi ideologis yakni kontra-narasi radikalisme dan ekstremisme idealnya juga merambah ranah digital.
Terakhir, yakni strategi sosiologis bisa diwujudkan ke dalam sinergi antarlembaga baik pemerintah maupun sipil dalam mencegah infiltrasi NII meluas ke masyarakat. Di satu sisi, organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan sebagainya perlu melakukan konsolidasi internalnya untuk memastikan anggotanya tidak termakan propaganda NII.
Di saat yang sama, masing-masing lembaga pemerintah mulai dari Polri, TNI, pemerintah daerah dan instansi lainnya harus bersinergi dalam mengadang segala manuver NII yang mengancam keutuhan NKRI.
Siti Nurul Hidayah, Peneliti pada “Center for the Study of Society and Transformation”, alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.