Khilafah.id – Sejarah teologi Islam klasik telah berkontribusi menjadi penyedia prototipe (pola dasar) bagi fenomena gerakan Islam radikal di era kontemporer. Khawarij sebagai sekte radikal di masa awal Islam, telah ditemukan relevansinya dalam doktrin dan ideologi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Meskipun secara level ekstremitasnya berbeda, tetapi kita tak bisa mengabaikan kesamaan karakteristik yang meliputi keduanya. Mengingat, Khawarij terdefinisi sebagai aliran berpaham ekstrem yang sangat berbahaya, maka memahami nalar doktrinnya adalah satu hal yang perlu dilakukan.
Pada umumnya, Khawarij dikenal sebagai sekte sempalan dari pengikut Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah barisan yang kecewa dan menentang keputusan Imam Ali karena menerima tahkim (arbitrase) yang diajukan Muawiyah dalam perang Shiffin.
Khawarij menilai bahwa pihak yang menerima arbitrase adalah kafir karena tidak kembali kepada hukum Allah SWT dalam mengatasi pertikaian, dan justru memutuskan perkara berdasar keputusan manusia. QS. Al-Maidah: 44 menjadi dasar lahirnya paham hakimiyatullah. Mereka memahami ayat tersebut secara serampangan yang kemudian mengorbitkan vonis kafir bagi siapapun yang tidak menganut prinsip ini.
Atas dasar ini pula, Imam Ali, Muawiyah, dan para sahabat lain masuk dalam kategori kafir sehingga halal dibunuh. Puncak aksi Khawarij adalah tindakan Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Imam Ali saat hendak shalat subuh. Kekejian tersebut, oleh Khawarij dianggap sebagai upaya mendapat ridha Allah SWT. Lebih gilanya, gelar pahlawan pun disematkan oleh kalangan Khawarij pada Ibnu Muljam.
Meski secara gerakan politik, Khawarij baru terbentuk pasca perang Shiffin, namun embrionya telah nampak sejak masa Rasulullah SAW. Sosok Dzul Khuwaishirah menjadi populer setelah ia menuduh Rasulullah SAW tidak adil dalam pembagian hasil rampasan perang Hunain. Ketidakadilan Nabi Muhammad SAW ditengarai karena beliau mengutamakan harta tersebut untuk kalangan mualaf. Tentu bukan tanpa alasan Rasulullah SAW memprioritaskan golongan mualaf. Keimanan orang mualaf masih ringkih, sehingga perlu treatment yang sekiranya dapat meyakinkan mereka bahwa Islam adalah agama penuh rahmat dan penghargaan atas keimanan.
Dalam kitab Talbis Iblis, Ibnul Jauzi mengomentari figur Dzul Khuwaishirah al-Tamimi sebagai Khawarij pertama dalam sejarah Islam yang amat buruk perangainya. Ia merasa paling benar dan puas atas pendapatnya hingga nekat menuduh Nabi SAW tak berlaku adil. Kalau saja ia tenang dan mau berpikir, tentu ia akan memahami bahwa apa yang Nabi putuskan tidak lahir dari hawa nafsu.
Khawarij kental dengan citranya yang radikal dan tidak kenal kompromi. Pandangannya hanya mengenal dunia biner; Islam dan kafir, hitam serta putih. Slogan utama yang diusung Khawarij adalah Laa hukma illa Allah, yang bermakna “Tak ada hukum kecuali milik Allah SWT.”
Kalimatu haq yuradu biha al-bathil, adalah tanggapan Imam Ali terhadap apa yang diutarakan kalangan Khawarij tersebut. Pernyataan yang disampaikan oleh Khawarij tadi memang suatu kebenaran, akan tetapi mereka memakainya untuk tujuan yang (bathil) keliru. Sekte ini sejatinya hanya berapologi, karena apa yang menjadi maksud mereka adalah tidak ada hukum kecuali hukum versi mereka sendiri. Mengklaim paling benar atas pemikiran sendiri dengan mengatasnamakan Tuhan, adalah tindakan yang amat radikal bagi seorang yang mengaku hamba Tuhan.
Sekarang mari menengok pada titik mana ideologi dan doktrin HTI bertemu sapa dengan paham Khawarij. Secara corak gerakan, keduanya sama-sama berpaham radikal, hanya mengambil lahan yang berbeda. Khawarij cenderung bersifat teologis dan lebih berorientasi ke dalam, di mana target operasinya adalah kelompok Muslim yang dianggap menyimpang. Khawarij melancarkan perlawanan terhadap mereka yang berlainan paham.
Adapun HTI lebih kepada karakter politis dan berorientasi ke luar. Mereka menghimpun sebanyak mungkin massa untuk mendukung penegakkan khilafah Islamiyah dalam rangka menyaingi musuh utama, yakni Barat yang mendominasi dunia saat ini. Untuk tujuan politis ini, mereka mendudukkan dalil agama sebagai basisnya.
Kemudian, keyakinan dogmatis bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT semata, menjadi dasar ideologi baik Khawarij maupun HTI. Jelas dalam sejarah disebutkan bahwa semboyan Laa hukma illa lillah telah mengantarkan Khawarij menjadi sekte yang ringan menjatuhkan fatwa kafir dan mengalirkan darah saudaranya.
Demikian halnya dengan HTI yang menganggap kafir, zalim, serta fasik bagi sesiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah SWT telah turunkan. HTI menghendaki perubahan politik revolusioner melalui penghancuran total konsep negara-bangsa dan diganti dengan negara Islam di bawah satu komando khilafah. Karena bagi mereka, hukum Allah hanya bisa ditegakkan dalam konsep ini. Seolah apa yang mereka usung adalah kebaikan, tapi sejatinya konsepsi khilafah HTI adalah sekadar tafsir politis atas agama.
Karakteristik lain yang melekat pada aliran radikal ini ialah menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Al-Quran ataupun hadis dipahami secara literal dan tekstualis, serta konteks dari nash pun diabaikan. Nalar skripturalis semacam ini menghasilkan pemahaman yang kaku dan acap kali jauh dari makna yang dimaksud. Khawarij enggan bergerak dari cara berpikir demikian.
Karya-karya Taqiyuddin al-Nabhani yang mendasari konsep khilafahnya, seperti Nidzam al-Hukm, Mafahim Hizb al-Tahrir, dan Nidzam al-Hukm fi al-Islam telah menampilkan distorsi penafsiran terhadap teks al-Quran dan hadis. Selain benturan-benturan dengan banyak ulama, al-Nabhani nampak enggan berpikir secara metodologis kritis. Bisa dibilang, karya-karyanya adalah paket hemat dari buah pemikirannya.
Satu hal menarik, bahwa orang Khawarij dikenal sangat tekun beribadah serta memiliki gairah besar dalam mempelajari agama. Harun Nasution membahasakannya sebagai kaum yang beriman tebal. Namun, hal tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang runtut dan memadai karena terjebak pada fanatisme ajaran mereka sendiri. Akibatnya, mereka tidak bisa menolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut versi mereka, meskipun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.
Jika diamati, HTI dalam menyampaikan argumen dan pandangannya cenderung terlihat sangat Nabhani-sentris. Karya-karyanya dijadikan sebagai buku saku yang paling otoritatif oleh para anggotanya. Mereka cenderung tertutup dari sumber-sumber lain di luar HTI. Sekali menyinggung karya ulama terkemuka, mereka kerap kali membuat generalisasi dan simplifikasi penafsiran untuk pembenaran ideologinya.
Meski berbeda dari segi latar belakang kemunculan dan taraf ekstremitas, Khawarij dan HTI terbukti memiliki beberapa area irisan yang terrefleksi melalui doktrin dan cara pandang mereka. Konsep dan pola pikir HTI bertemu dengan nalar paham Khawarij dalam beberapa titik.
Khawarij dan HTI jelas merupakan bagian dari aliran radikal Islam lintas generasi yang sama-sama muncul sebagai bentuk perlawanan atas tatanan yang tak mereka kehendaki. Kakak-beradik ini teridentifikasi menggunakan agama sebagai sumber justifikasi gerakan mereka. Pemahaman literal dan skripturalis atas teks, memunculkan efek domino berupa sikap fanatik pantang kompromi yang bermuara pada penghakiman sepihak terhadap golongan lain serta merasa dirinya paling benar dan beriman.
Gerilya HTI dalam penyebaran pahamnya masih sangat masif. Pencarian titik temu antara ideologi Khawarij dengan HTI adalah bagian dari upaya memahamkan khalayak atas potensi bahaya dari ideologi HTI. Mereka hanya mengenal unsur monokrom. Dunia ini baginya hanya berdimensi hitam dan putih, antara negara Islam atau negara kafir. Paham ekstrem yang diusungnya adalah ancaman yang harus disadari dan ditanggulangi bersama seluruh anak bangsa.
Khalilatul Azizah, Muslimah reformis.