Khilafah.id – Perjalan Khilafah Islamiyah tak sepi tragedi duka. Tujuh abad lebih menjadi adikuasa dunia, dinasti Umayah dan Abbasiyah merekam kekejian. Ribuan nyawa melayang. Pun darah mengalir, akibat intrik politik dan birahi ingin berkuasa.
Agama dan kekerasan; seorang insan bisa saja mengutip ayat suci, bukan untuk menyebarkan cinta, tetapi untuk memupuk kebencian. “Apabila telah lewat bulan Haram, di mana saja kau dapati orang musyrik atau kafir, maka bunuh” begitu frasa literal Al-Qur’an yang terkadang tidak dilihat konteks ayat itu turun.
Acap kali seorang mengutip ayat dalam surah At-Taubah di atas untuk melegitimasi kekerasan. Adalah dengan pedang di tangan kiri dan ayat suci di sebelah kanan, manusia menjadi brutal. Menumpahkan darah dengan dalih perintah agama dan Tuhan.
Strategi itu agaknya yang dijalankan oleh Yazid bin Muawiyah. Anak Muawiyah, khalifah pertama di nasti Umayyah. Si diktator ulung. Yang membunuh Husein di Karbala. Memenggal kepala cucu tercinta, sang Nabi dari Mekah itu. Kepala yang berpisah dari tubuh, lantas ditendang ke sana-kemari bak bermain bola kaki.
Sejarah juga mencatat bagaimana bala tentara Yazid memporak-porandakan kota Madinah. Ia menyerang kota suci ini, tatkala penduduk Madinah mencabut dukungan politik terhadapnya. Selama tiga hari kota itu dikepung. Anarkisme berdarah pun terjadi. Sejarah menulis sekitar 4.500 jiwa melayang. Lebih seribu anak gadis dan perempuan yang diperkosa. Tragis. Dan biadab.
Sisi kelam Dinasti Umayah itu pun direkam oleh Al-Suyuthi. Ia berkisah lewat tulisan Tarikh Khulafa. Di awal Yazid mendapatkan mandat sebagai khalifah bani Umayah, ia sengaja mengumpulkan 40 orang pakar hukum Islam dan cendikiawan muslim. Para tokoh agama ini ia breefing, untuk membelanya. Dan menyampaikan fatwa yang berpihak kepada khalifah.
Sembari itu, ia mengumpulkan rakyat, dan berikrar; “bahwa seorang khalifah tak akan mendapatkan hisab di hari kiamat”. Gambaran buram tentang dinasti politik yang dipertontonkan pemimpin yang mendaku sebagai wakil Tuhan di bumi.
Di sini tampak, kaum agamawan digandeng Yazid untuk melanggengkan tahtanya. Dengan demikian, sejarah pun bisa melihat, kekhalifahan Yazid diwarnai dengan romansa dan kemegahan hidup. Kesan Islam pun jauh dari kepemimpinannya.
Sisi Kelam dan tragedi duka dunia Islam berlanjut di era Dinasti Abbasiyah. Sepak terjang dinasti ini terkenal dengan julukan al-Saffah (tukang jagal). Simak pidato penguasa Bagdad ini ketika baru dilantik, “ Tuhan telah mengembalikan mandat kami untuk berkuasa. Waspadalah, karena saya adalah jagal yang senantiasa siap untuk menghalalkan darah bagi pembangkang,” demikian pidato itu.
Ibn Atsir mencatat dalam Alkamil fit Tarikh, Al-Saffah tatkala resmi dilantik, yang pertama beliau lakukan adalah menghabisi musuhnya dari Dinasti Umawiyah. Kuburan Khilafah sebelumnya digali –tengkorak dan jasad yang utuh disalib—hingga menjelma menjadi bubuk yang terbangkan angin.
Bagi keturunan Umayyah yang masih hidup pun terus diburu. Ditindas dan dibunuh dengan kejam. Semua di sweeping,hingga tak menyisakan ancaman.
Gambaran lebih tragis dan bengis dinasti Islam pun dinukil oleh Faraq Fouda. Dalam Kebenaran yang Hilang; Sisi Kelam Praktik politik dan Kekuasaan dalam Sejarah kaum Muslimin, ia menulis sisi kelam pemerintahan Islam. Bagi Faraq Fouda, khilafah dalam perjalananya tak seperti yang orang banyak pikirkan. Sejarah politik Islam tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Ia menggugat slogan Islam dalam label Khilafah Islam.
Ia menganjurkan bagi puak-puak revivalis yang berniat untuk menghidupkan khilafah Islam dan fotocopy Khulafaur Rasyidin, tak lebih dari kumpulan para omong kosong. Kaum ini hanya akan mengajak manusia kembali terjatuh dalam tragis. Sejarah Khilafah Islam tak selama putih, ia diwarnai tinta hitam yang akan terus terbongkar meskipun ditutup sedemikian.
Demikianlah sekelumit sisi kelam dan tragedi duka dalam politik Islam. Sejatinya, penerapan Khalifah Islam seyogianya bukanlah esensi dasar Islam sendiri. Esensi dari syariat Islam adalah berkesesuaian dengan semangat Islam.
Zainuddin Lubis, Tim Redaksi Bincang Syariah.