Khilafah.id – Dua hari menjelang Debat Capres ke-4 lalu, dunia maya sempat heboh karena lontaran pernyataan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono. Menurutnya, Pemilu kali ini sangat berbeda dari Pemilu-Pemilu sebelumnya. Pasalnya, kali ini yang berlaga bukan saja individu, tapi juga ideologi.
“Bahwa yang berhadap-hadapan adalah ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah,” ujar Hendropriyono di Gedung Pertemuan Kesatrian Soekarno Hatta, Jakarta, sebagaimana dikutip laman Merdeka.
Hendropriyono menegaskan bahwa pertarungan ideologi itu bukanlah isapan jempol belaka. Lebih-lebih ia menilai ideologi khilafah sekarang ini sedang marak. Karenanya, ia mengimbau agar rakyat memperhatikan betul soal ini.
“Rakyat harus jelas mengerti. Bahwa dia harus memilih yang bisa membikin dia selamat,” imbuhnya.
Meski tak menyebut secara jelas siapa kubu Pancasila dan siapa pro-khilafah, asosiasinya mudah ditebak. Belakangan memang santer isu yang menuduh bahwa paslon 02 didukung oleh kelompok pengusung khilafah. Sebagaimana halnya paslon 01 yang selalu dikait-kaitkan dengan PKI.
Baku tuduh antarkubu itu bahkan sempat terangkat ke dalam Debat Capres pada 2019 silam. Mulanya, Capres 02 Prabowo mengaku dirinya dituduh pro-khilafah oleh sebagian pendukung capres nomor 01.
“Saya juga ingin bertanya, apa Pak Jokowi mengerti di antara pendukung Pak Jokowi ada yg melontarkan tuduhan-tuduhan tidak tepat kepada saya seolah-olah saya membela khilafah, seolah saya akan melawan tahlilan. Ini sangat tidak masuk akal,” kata Prabowo.
Prabowo mempertanyakan bagaimana bisa dirinya dituduh hendak mengubah ideologi Pancasila. Ia mengetengahkan fakta dirinya sudah berkomitmen jadi tentara sejak umur 18. Sebagai pembela negara, baginya tuduhan itu tentu tidak berdasar.
Lalu Jokowi menanggapi pernyataan Prabowo dengan mengatakan ia juga dituduh sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Masalah tuduh-menuduh saya juga kan banyak dituduh, Pak. Empat setengah tahun ini saya juga dituduh Pak Jokowi ini PKI, banyak yang nuduh seperti itu, saya juga biasa-biasa saja,” kata Jokowi.
Persoalan tuduh-menuduh ini lantas jadi ramai dijagad twitter. Usai debat tagar #PANCASILAvsKHILAFAH muncul lebih dulu. Substansinya nisbi sama dengan pernyataan Hendropriyono.
Tak lama kemudian muncul balasan dengan tagar #PKIvsPANCASILA. Narasinya menyebut bahwa pembenturan antara ideologi Pancasila dan Islam adalah akal-akalan PKI di masa lalu yang dipakai lagi kini.
Pada akhirnya, perang tagar dan tuduhan-tuduhan itu hanyalah cara-cara dangkal untuk mematikan karakter tanpa substansi yang jelas. Alih-alih menunjukkan kemajuan strategi politik, kelakuan timses kedua paslon justru memperlihatkan langkah surut. Perang tuduhan macam itu adalah strategi politik usang dalam sejarah politik Indonesia, yang sudah dipraktikkan sejak era 1950-an.
PKI versus Masyumi
Di masa lalu, tudingan sebagai pendukung negara Islam lekat pada Masyumi. Biangnya adalah salah satu pendirinya yang kemudian membelot karena kecewa kepada pemerintah: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Saat dibentuk pada 7 Agustus 1945, Kartosoewirjo diserahi jabatan sekretaris pertama Masyumi pusat. Ia sekaligus dipilih jadi komisaris partai untuk wilayah Jawa Barat. Ia juga yang kemudian mendorong Masyumi untuk memproklamasikan diri sebagai partai politik usai Indonesia merdeka.
“Programnya menciptakan negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam. Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah Priangan,” tulis majalah Tempo edisi 16-22 Agustus 2010.
Basis dan infrastruktur partai inilah yang kemudian ia jadikan modal untuk membentuk Darul Islam di Priangan pada 7 Agustus 1949. Langkah Kartosoewirjo membuat Masyumi terpaksa merombak kepengurusannya. Namun, partai itu masih enggan mengambil sikap.
Dalam konferensi partai pada akhir 1949, Masyumi hanya mengeluarkan pernyataan mengecam gerakan separatis. Meski begitu, wacana-wacana yang dilontarkan Masyumi dalam menanggapi pendirian Darul Islam itu masih bernada pembelaan.
Publik yang melihat Darul Islam sebagai pemberontak tentu memandang miring Masyumi. Takut citranya semakin buruk, pada Januari 1951 Masyumi mengeluarkan pernyataan resmi yang menolak keterkaitannya dengan Darul Islam Kartosoewirjo. Tapi apa lacur, sebagian pendukung mereka di perdesaan tetap saja ikut Darul Islam.
“Sekalipun menjadi duri dalam daging, para pemimpin Masyumi cenderung bersimpati pada gerakan Kartosuwiryo sehingga selalu mendesak pemerintah untuk mengedepankan solusi politik daripada militer. Desakan Masyumi ini memperpanjang hidup Darul Islam,” tulis majalah sejarah Historia edisi 16, 2010.
Posisi simpang siur ini kemudian jadi peluru bagi lawan politik Masyumi untuk menyerang. Mereka mengasosiasikan Masyumi sebagai pendukung Darul Islam. Selain itu, serangan juga dibingkai dalam wacana hubungan Islam dan negara.
Serangan pertama terhadap posisi ambigu Masyumi tak datang dari partai, tapi Presiden Sukarno. Pada 1953 ia menyatakan bahwa pendirian negara berbasis Islam bisa memicu lepasnya wilayah lain yang tak setuju.
Pernyataan Sukarno itu bikin geram KH Isa Anshary, pentolan Masyumi Jawa Barat. Sampai-sampai ia berani mencap “munafik” dan “kafir” para politikus yang dianggap menyudutkan Islam. PNI, salah satu yang kena tuduhan, menolak tuduhan dengan menjelaskan bahwa dukungan terhadap Pancasila tidak berarti memusuhi Islam. Tapi, situasi terlanjur panas.
“Kedua pihak terus saja saling menuduh. PNI mengecam sikap ekstrem Isa Anshary yang melibatkan partainya dalam menentang simbol-simbol nasionalis. Di pihak lain, Masyumi mengadakan rapat-rapat raksasa memprotes pernyataan-pernyataan tokoh PNI dan tokoh partai kecil Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia) yang dianggap menghina Islam,” tulis Indonesianis Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1999, hlm. 16).
PKI juga memanfaatkan keadaan ini untuk mendiskreditkan Masyumi. Kedua partai ini saling mencap satu sama lain sebagai ekstremis. Masyumi menyerang PKI dengan mengetengahkan kesalahan mereka saat Konflik Madiun 1948. Rumor anti-agama juga dihembuskan untuk menangkal pertumbuhan PKI yang cukup pesat.
Selain memanfaatkan sentimen Darul Islam, PKI juga mencap Masyumi sebagai kepanjangan tangan tuan tanah dan perusahaan asing.
“Setelah PKI memutuskan pada November 1954 ‘menerima Pancasila sebagai dasar politik Republik sambil mengusulkan perbaikan”, para pemimpin PKI mempertentangkan keputusan partai itu dengan kritik para pemimpin Masyumi atas Dasar Negara tersebut,” tulis Feith (hlm. 19).
Merembet ke Konstituante
Perang tuduhan pun tak berhenti usai Pemilu 1955 dihelat. Kali ini majelis Konstituante jadi panggungnya pada kisaran 1956-1959. Dalam lembaga perumus UUD itu, anggota Konstituante terbelah dalam dua kelompok besar: Pancasila dan Islam.
Adnan Buyung Nasution dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (1995, hlm. 53) menjabarkan bahwa argumen dasar pejuang syariah Islam berpijak pada kebenaran mutlak dan kesempurnaan Alquran sebagai perintah Tuhan. Syariah mengandung tak hanya aturan ibadah individu, tetapi juga cara mengatur negara dan bermasyarakat (muamalah).
Sementara pendukung Pancasila berargumen bahwa Pancasila dapat menaungi segala ideologi dan paling sesuai dengan kepribadian Indonesia. Pancasila juga diklaim bisa menjamin Indonesia tetap plural dan bersatu.
Argumen-argumen itu terus diulang dalam berbagai variasi oleh masing-masing kubu. Untuk memenangkan perdebatan, kedua kubu juga menambah argumen dengan serangan ejekan dan tuduhan. Kepentingan politik dan ekonomi juga jelas mewarnai perdebatan ini, karena siapapun yang menang dialah pengendali negara.
Pembela Pancasila—seperti PNI dan PKI—sejak awal sudah menempatkan penolakan atas Pancasila sebagai pengkhianat. Para pendukung Islam menjawabnya dengan menyebut Pancasila sebagai doktrin sekuler yang memberi peluang hidup pada “gerakan-gerakan ateis” seperti PKI. Bahkan mereka tak ragu menyebut Muslim yang tak membela Islam sebagai dasar negara adalah pendosa.
Alih-alih mempersuasi, argumen-argumen semacam itu tentu saja justru nampak sebagai usaha meyakinkan golongan sendiri dan memupuk antipati.
“Perdebatan tersebut bersifat ideologis, mutlak-mutlakan, dan antagonistik sehingga partai-partai yang terlibat di dalamnya bukannya saling mendekati melainkan sebaliknya, semakin menjauh,” tulis Adnan Buyung (hlm. 41).
Hasil dari semua itu hanyalah kebuntuan. Setelah melalui perdebatan yang berlarut-larut dan antagonistis seperti itu, Konstituante dianggap gagal merumuskan dasar negara. Karena kebuntuan yang tak terpecahkan, eksistensi Konstituante kemudian tamat dengan terbitnya Dekrit Presiden pada Juli 1959.
Perang tuduhan nirmakna yang hari-hari ini dipertontonkan oleh timses kedua kubu paslon presiden pada prinsipnya sama belaka dengan yang terjadi pada era 1950-an. Sebatas digunakan untuk menjatuhkan lawan tanpa memberi faedah apapun. Berkaca dari sejarah, publik bisa saja menggugat: apakah peruncingan dan kebuntuan macam itu yang hendak dituju oleh elite politik kita?
Fadrik Aziz Firdausi, Jurnalis Tirto.id.