Khilafah.id – Beberapa negara menolak kedatangan Ustaz Abdul Somad (UAS). Terakhir adalah negara Singapura. Mengapa negara kecil ini menolak bertandangnya UAS, sekadar untuk berlibur bersama keluarga? Apakah begitu membahayakan sehingga kehadirannya harus ditolak? Atau dia punya pengaruh yang sangat fatal jika tidak dicegah?
Alasan Penolakan UAS
Ternyata, usut punya usut, UAS ditolak negara Singapura karena berbagai alasan. Setidak-tidaknya, mengutip situs resmi Kementerian Dalam Negeri Singapura, ada empat alasan. Pertama, UAS dianggap menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi, sehingga tidak diterima kedatangannya. Kedua, UAS pernah ceramah tentang bom bunuh diri, dan membolehkan jika terjadi pada konflik Israel-Palestina. Dia juga mengatakan bahwa bom bunuh diri bentuk perjuangan dan mati syahid jika ada yang melakukannya (Jawapos, 17/5/22).
Kemudian ketiga, UAS pernah sebut salib kristen rumah jin kafir. Secara tegas Singapura menyebut bahwa ustaz ini pernah melontarkan komentar yang merendahkan agama lain seperti Kristen, dengan menggambarkan bahwa salib Kristen merupakan tempat tinggal jin kafir (roh jahat).
Keempat, sering mengkafirkan ajaran agama lain di dalam ceramah-ceramahnya. Alasan ini yang membuat Pemerintah Singapura begitu jengah kepada UAS karena dianggap telah menganjurkan kekerasan dan mendukung ajaran-ajaran ekstremis radikal. Suatu alasan yang tidak mengada-ngada demi menjaga keutuhan dan ketentraman pada keberlangsungan sebuah negara yang rukun.
Negara-negara yang Menolak UAS
Ternyata UAS tidak hanya ditolak di satu negara seperti Singapura. Ada lima negara yang pernah menolak kedatangan UAS bahkan dengan tanpa alasan apa pun. Pertama, Jerman pada Oktober 2019. Kedua, Belanda-Swiss pada 2020. Ketiga, Timor Leste
Pada 2018. Pada saat itu UAS berniat mengisi dakwah di Timor Leste. Namun, saat tiba di bandara, petugas imigrasi menjegalnya karena diduga terkait terorisme. Keempat, Hong Kong pada Desember 2017. Lagi-lagi dicegat masuk Hong Kong dengan alasan yang tak dijelaskan oleh pemerintah setempat. UAS menduga penangkalan itu terkait isu terorisme (CNN, 18/5/22).
Artinya, jika kasus-kasus penolakan UAS di berbagai negara seringkali terkait dengan ideologi ekstrem dan ajaran terorisme, sungguh menjadi keseriusan tersendiri bagaimana keberadaan UAS. Di Indonesia ia dianggap ustaz yang mumpuni dalam ilmu hadis, meski demikian kontroversialnya dan memiliki tafsir yang ekstrem. Orang-orang menganggapnya biasa saja. Tapi tidak bagi negara tetangga, yang memang menjauhi ideologi dan ustaz seperti UAS.
Lima negara tidak mungkin memiliki pemahaman yang sama dalam menilai satu manusia. Tapi negara pasti akan memberikan kebijakan di mana sisi negatif dan yang bisa mengancam pada keutuhan negara tersebut. Salah satunya UAS adalah dianggap sebagai manusia yang mengancam bagi kehidupan di lima negara tetangga. Tidak main-main lima negara!
Apakah lima negara tersebut punya memiliki kebencian kepada satu manusia? tidak mungkin sebuah negara membenci seorang ustaz. Apakah negara keropos dalam menilai manusia? tidak mungkin, karena tiap-tiap negara punya intelijen yang sangat ampuh. Apakah negara termakan narasi islamophobia seperti yang dituduhkan Front Persaudaraan Islam (FPI)? Saya kira tidak, karena tak kurang-kurangnya negara bakal memiliki informasi yang sangat jitu.
Mencegah Bibit Radikalisme
Tapi ada satu pegangan yang khas yang dimiliki oleh negara, yaitu keutuhan dan kesatuan. Negara akan mati-matian membela keberlangsungan sebuah negaranya. Negara akan habis-habisan membangun keutuhan negara hingga sampai pada titik nadir. Bahkan negera akan menolak jika hal itu akan berakibat mengancam negara tersebut.
Artinya berakibat adalah, mereka yang mensahkan bom bunuh diri, memberikan pandangan-pandangan ekstrem. Ceramah demikian menjadi motivasi bagi sebagian kaum untuk melakukan pada aksi nyata. Ceramah tersebut dijadikan sebagai legitimasi dalam aksi-aksi radikal sehingga dianggap sah dan benar. Barangkali itulah yang dikhawatirkan oleh banyak negara itu.
Ingat, seorang tidak mungkin menjadi radikal, jika mereka tidak mendengar ceramah yang radikal, tidak mendengar ceramah yang mengiyakan sebuah tindakan membunuh, dan tidak mendapat legitimasi dari ustaz yang dianggapnya terpercaya. Begitu banyak seseorang teroris yang bertobat karena mereka sadar pekerjaan mereka salah telah mengikuti tafsir dan ustaz yang ekstrem. Mereka kembali kepada ajaran yang benar karena sering berkumpul dan mendengarkan ceramah/ajaran agama yang moderat dari seorang kiai dan ustaz yang moderat juga. Contohnya Ali Imron, dkk.
Dalam kasus UAS ini, kita belajar banyak, bahwa melindungi negara dan diri kita dari ancaman ideologi, ceramah dan sikap intoleransi, takfirisme, dan doktrin wala’ wal barra’ menjadi suatu kewajiban.
Agus Wedi, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman.