Khilafah.id – Saat penaklukan Persia dan Irak di zaman Khalifah Umar bin Khattab, muncul peraturan unik dari Khalifah Islam kedua itu. Perlu diketahui, aturan dasar tanah rampasan perang dalam tuntunan syariat adalah dibagikan kepada seluruh pasukan penakluk. Namun di luar dugaan, sahabat Umar memilih jalan lain, yakni memilih makna batin wahyu yang bagi sebagian orang akan tampak bertentangan dengan penampakan luar teks Al-Quran dan hadis.
Padahal Allah berfirman pada surat al-Anfal ayat 41 bahwa seperlima harta rampasan perang untuk Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul (Bani Hasyim dan Bani Muṭṭalib), anak yatim, orang miskin, dan ibnusabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan. Adapun empat per lima dari ganimah itu dibagikan kepada mereka yang ikut bertempur.
Kebijakan Umar ini, dalam satu riwayat pernah ditentang oleh para sahabat lain terutama Bilal bin Rabbah, muadzin Rasul SAW. Akan tetapi, Umar tetap bersikukuh pada kebijakannya. Protes sahabat lain sangat wajar karena pada perang Khaibar, Rasul sendiri membagikan tanah Khaibar kepada pasukan. Bahkan, Umar sendiri bagian dari sahabat yang mendapatkan jatah. Sehingga, dalam kebijakan ini, Umar tampak menentang al-Quran sekaligus hadis Nabi SAW.
Dalam kebijakan Umar tentang tanah Persia dan Irak, daripada membagikan tanah hanya kepada pasukan, dia lebih memilih mempertahankan tanah tersebut apa adanya di tangan penduduk setempat. Kemudian Umar menetapkan pajak pada setiap hasil bumi tanah tersebut dan dikirim ke kas negara (Baitul Mal). Hal ini, Umar anggap lebih maslahat, efisien karena tanah digarap oleh penduduk setempat yang sudah terbiasa menanam di sana. Lebih dari itu, tanah subur tersebut menjadi tidak hanya milik “kelas kesatria” melainkan menjadi milik umat muslim seluruhnya.
Kebijakan Umar tadi, bukan karena Umar meninggalkan pesan al-Quran atau hadis. Justru karena saking Umar konsisten pada pesan kemaslahatan al-Quran dan hadis. Ayat al-Quran dan hadis Nabi soal ganimah tidak lain diperuntukkan bagi kemaslahatan semua orang kala itu. Tatkala zaman berubah, boleh jadi bentuk kemaslahatan juga akan berbeda, bahkan jauh berbeda dibanding saat pertama kali wahyu turun seperti dialami Umar. (Terkait diskusi kebijakan Umar dapat dirujuk pada kitab Syekh Yusuf Qardlawi, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fii Dlaui Nushushisy Syariah wa Maqashidiha, cet. Maktabah Wahbah, hlm. 188-201)
Umar memang salah seorang sahabat Nabi yang mampu menangkap hakikat inti pesan al-Quran dan hadis adalah Umar bin Khattab. Banyak riwayat memotret kepekaan intelektual Umar ketika berhadapan dengan ayat al-Quran. Misalnya, Ibnu Jarir ath-Thabari menceritakan momen di mana ayat ke tiga surat al-Maidah turun.
….الْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ…..
….Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu…. (Al-Maidah [5] : 3)
Sebagian sahabat merasa bahagia dengan turunnya ayat tersebut, sementara Umar malah menangis. Hingga Nabi SAW. bertanya mengapa Umar menangis. Jawaban Umar sederhana, “yang sempurna pasti meninggalkan kekurangan.” Maksud Umar adalah ketika syariat sempurna, tugas Nabi di dunia ini otomatis telah purna, berarti Nabi SAW. tidak akan lama lagi wafat, meninggalkan umatnya selama-lamanya di dunia. Ini menunjukkan betapa Umar sangat memahami makna terdalam dari ayat al-Quran. (Lihat Jami’ul Bayan fi Ta’wili ayyil Quran, juz 9 hlm. 519)
Lebih jauh, keistimewaan lain Umar adalah persetujuan wahyu al-Quran terhadap ide yang ia tawarkan. Setidaknya, berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim, ada tiga peristiwa di mana wahyu “menyetujui” pandangan Umar.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ عُمَرُ وَافَقْتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ فِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ وَفِي الْحِجَابِ وَفِي أُسَارَى بَدْرٍ
Dari Ibnu ‘Umar dia berkata, “Umar bin Khattab pernah berkata, ‘Sesungguhnya pendapatku pernah disetujui oleh Allah SWT. dalam tiga hal, yaitu: tentang maqam Ibrahim. tentang peristiwa hijab, dan tentang tawanan perang Badar.” (HR. Muslim no. 4412)
Hadis ini memberi informasi seakan Umar memahami “jalan pikiran” Tuhan. Seolah jika Umar sudah berpendapat, Tuhan mengiyakan saja.
Tidak berhenti di situ, pasca wafatnya Nabi SAW dan sahabat Abu Bakar as-Shidiq RA tampuk kepemimpinan umat Islam dipercayakan kepada sahabat Umar bin Khattab RA. Rasanya tidak berlebihan jika saya katakan sebagai momentum turning point, titik balik peradaban. Islam menyebar ke luar Jazirah Arab tidak lepas dari jasa seorang Umar bin Khattab. Berbagai penaklukan umat Islam terjadi di bawah kepemimpinannya, termasuk penaklukan kerajaan Persia. Peristiwa yang sama sekali tidak terbayangkan saat itu. Mengingat Persia merupakan negara adidaya pada masanya.
Dari kisah Umar ini, sepertinya umat Islam perlu memahami meski al-Quran dan hadis shalih li kulli zaman wal makan, kesesuaian itu perlu ditelaah, dirasa, digali, dipikirkan. Jangan sampai kita terbuai pada jargon itu lalu mengakibatkan pada kemalasan berpikir, menelaah, merasa bagaimana menyelaraskan makna terdalam al-Quran dengan kemaslahatan umat dan kemajuan zaman.
Kitab suci al-Quran turun berkisar 14 abad lalu, diidamkan sebagai pedoman hidup muslim lintas ruang dan waktu. Namun menjadi masalah ketika manusia dihadapkan pada kenyataan wahyu berhenti turun sejak wafatnya Nabi SAW. Sementara, peradaban manusia terus bergerak, zaman terus berubah.
Ibnu Rusyd, salah seorang filsuf agung yang pernah dimiliki peradaban manusia, pernah berujar dalam karyanya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Kurang lebih :
وَذَلِكَ أَنَّ الوَقَائِعَ بَيْنَ أَشْخَاصِ الأُنَاسِي غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٍ وَالنُّصُوْصُ وَالأَفْعَالُ وَالإِقْرَارَاتُ مُتَنَاهِيَةٌ وَمُحَالٌ أَنْ يُقَابِلَ مَا لَا يَتَنَاهِي بِمَا يَتَنَاهِي
“Peradaban manusia akan senantiasa berkembang, tidak akan berhenti, sementara nash-nash (al-Quran dan hadis) perbuatan serta persetujuan Nabi telah berhenti. Rasanya mustahil jika menghadapkan perkara yang terus berkembang pada perkara yang telah berhenti.” (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid cet. Darus-Salam, Kairo, hlm. 20)
Sekilas akan tampak pernyataan Ibnu Rusyd ini cukup kontroversial, seolah Ibnu Rusyd berkata al-Quran dan hadis telah berhenti dan tidak akan mampu mengakomodir kemajuan peradaban manusia. Kiranya bukan ini yang dimaksud Ibnu Rusyd. Justru dengan pendapatnya ini Ibnu Rusyd mengajak kepada para pembelajar menafsir ulang pesan serta hakikat inti al-Quran dan hadis agar senantiasa dapat beriringan dengan kemajuan zaman.
Ilham Fikri Ma’arif, Penulis aktif tentang keislaman.