Khilafah.id – Unaesah Rahmah adalah Research Analyst di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapore.
Unaesah Rahmah adalah lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jurusan Hubungan Internasional dan Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences. Ia meraih gelar master di S. Rajaratnam School of International Studies.
Berikut adalah wawancara dengan Unaesah Rahmah mengenai ekspresi ekstremisme di media sosial dan pengaruhnya terhadap gerakan terorisme.
Bagaimana ekspresi ekstremisme di media sosial?
Di media sosial misalnya Facebook, kita sebenarnya tidak tahu akun yang dipakai memang benar perempuan atau bukan. Memang ada akun-akun di sosial media yang memang mengidentifikasikan diri mereka sebagai perempuan.
Bisa terlihat dari namanya, atau dari foto profilnya, atau misalnya dari dia menyebutkan diri dia sendiri sebagai perempuan. Hal-hal tersebut adalah karakteristik yang saya pakai untuk menyebut bahwa akun-akun tersebut digunakan oleh perempuan.
Sebenarnya, antara akun perempuan dan akun laki-laki jika dibandingkan di sosial media pada tahun 2015-2016, biasanya akun sosial media yang banyak digunakan oleh para pendukung ISIS adalah Facebook dan Twitter, sebelum kemudian mereka pindah ke telegram.
Di level propaganda, sama antara perempuan dan laki-laki, mereka biasanya menyebarkan paham-paham terkait konsep-konsep yang mereka punya seperti misalnya konsep tentang jihad, hijrah, dan Al-Wala’ Al-Bara’.
Ada kesamaan antara akun yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai perempuan atau sebagai laki-laki. Hal yang agak berbeda dari perempuan adalah ada narasi misalnya istri Bahrun Naim, teroris asal Indonesia yang pergi ke Suriah tahun 2015 tapi sudah terbunuh sekitar tahun 2017/2018.
Salah satu postingan yang paling sering saya lihat dari kedua istri Bahrun Naim lebih kepada menceritakan bagaimana indahnya hidup di Suriah. Kalau laki-laki cenderung menceritakan bagaimana dahsyatnya berperang di jalan Allah. Misalnya, ketika mereka melawan, jaga malam, atau memegang senjata.
Pengalaman-pengalaman di Suriah agak berbeda ketika dituliskan antara laki-laki dam perempuan. Laki-laki biasanya menceritakan pengalaman mereka memegang senjata, pengalaman-pengalaman yang lebih maskulin berkaitan dengan membunuh orang atau berperang karena menggunakan kekuatan.
Tapi di akun-akun sosmed perempuan biasanya lebih seperti: Subhanallah ya kalau misalnya di Suriah harga bahan pokoknya lebih murah dibandingkan di Indonesia. Bayangkan misalnya harga bawang hanya segini, atau kalau kita ingin membeli baju baru harganya sangat murah.
Ada perbedaan yang cukup signifikan ketika misalnya mereka mau melakukan proses rekruitmen atau menarik orang untuk pergi ke Suriah. Konten di media sosial lebih mengarah kepada hal-hal yang biasanya memang dipikirkan oleh perempuan.
Misalnya harga bahan pokok, bagaimana kehidupan di sana di mana perempuan saling menjaga dan mengingatkan, kemudian juga soal baju yang sepertinya tidak pernah diposting oleh laki-laki.
Di Suriah ada polisi keamanan yang menegur perempuan jika tidak memakai cadar atau tidak memakai baju yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam peraturan Daulah Islamiyah.
Secara ideologi, baik perempuan maupun laki-laki, sama-sama ingin menyebarkan paham atau konsep-konsep yang ada dalam ISIS, misalnya jihad. Tidak terlalu ada perbedaan dalam konten ideologi di media sosial antara akun perempuan dan laki-laki.
Tapi dari segi pengalaman-pengalaman ketika mereka bergabung dengan ISIS cukup berbeda dan itulah yang kemudian mereka jadikan sebagai nilai jual untuk menarik orang masuk ke Suriah.
Terkait penggunaan Telegram, saya pernah menemukan ada webinar yang dilaksanakan oleh Profesor dari Belanda. Dia meneliti telegram yang digunakan oleh perempuan pro ISIS dan menemukan percakapn yang ada terjadi dalam bahasa Inggris dan bahasa Belanda.
Jadi saya kira penggunaan telegram ini ya mungkin sifatnya lebih global. Jadi kalau tidak salah juga misalnya kita tahu ada kasus perempuan Malaysia, dia mengaku sering chat-an dengan perempuan-perempuan lain, termasuk di negara-negara Barat. Penggunaan telegram bisa dikatakan sifatnya sudah umum digunakan baik di Indonesia ataupun di negara-negara lain.
Media sosial mana yang paling sering digunakan oleh kelompok ekstremis?
Tergantung waktunya. Tahun 2014 s/d 2016 sebelum polisi mendeteksi keberadaan mereka, lebih ramai di Facebook. Mereka ramai sekali di Facebook, Twitter, dan Tumblr. Banyak juga ternyata orang-orang yang memakai Tumblr untuk posting tentang cerita tentang mereka.
Dania, mantan anggota ISIS juga sering bercerita bahwa dia memfollow akun-akun Tumblr orang-orang ISIS yang berasal dari negara lain karena biasanya di Tumblr lebih banyak informasinya pada tahun 2015.
Perbedaan antara Facebook dan Telegram adalah Facebook menyasar orang-orang yang memang sudah memiliki ideologi yang hampir sama karena Facebook akan merekomendasikan orang-orang yang mempunyai ketertarikan yang sama.
Berbeda dengan Telegram, meskipun jangkauannya lebih luas tapi yang agak sulit adalah harus mengetahui link-nya terlebih dahulu, kemudian baru bisa join telegram. Grup di Telegram lebih khusus lagi.
Seseorang harus mengenal terlebih dahulu dengan orang yang punya akun Telegram, kemudian baru bisa bergabung. Facebook menyasar orang dengan ideologi yang hampir sama, biasanya tentang Islam dan penyiksaan Muslim di Timur Tengah. Kita harus peduli kepada sesama Muslim di Timur Tengah.
Bagaimana cara mendapatkan link Telegram tersebut?
Biasanya dengan membagikan postingan di Facebook. Misalnya: Guys, kalian coba deh join Telegram ini karena bagus. Ajakan tersebut yang biasanya ditemukan di Facebook.
Ada website bernama ibrahim.com yang memuat tulisan Aman Abdurrahman, salah satu ideolog ISIS asal Indonesia. Biasanya juga di bawah setiap baris di belakangnya selalu dicantumkan: Silakan bergabung dengan link Telegram.
Hal tersebut tidak ada di setiap postingan dan hanya orang-orang tertentu saja yang melakukannya. Biasanya, promosi Telegram juga dilakukan lewat sosial media. Tahun 2015, masih banyak website milik kaum radikal yang militan.
Bersambung…
Ayu Alfiah Jonas, Alumni UIN Jakarta.