Unaesah Rahmah: Ekspresi Ekstremisme di Media Sosial (2/2)

ekstremisme

Khilafah.id – Tulisan sebelumnya telah membahas tentang ekstremisme dan media sosial dalam Unaesah Rahmah: Ekspresi Ekstremisme di Media Sosial (Bagian 1). Berikut adalah lanjutan hasil wawancara dengan Unaesah Rahmah, peneliti terorisme di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapore.

Bagaimana bentuk narasi ekstremisme yang dibangun di sosial media?

Dalam merekrut perempuan, ada yang sifatnya tidak memainkan emosi tapi juga memainkan hasrat untuk berjihad. Jihad perempuan didefinisikan oleh ISIS sebagai jihad membantu suami.

Saya lihat perempuan juga cukup aktif dalam grup telegram satu ke grup telegram lainnya. Perempuan juga aktif dalam proses penggalangan dana. Misalnya, kita ingin membantu sebuah keluarga yang suaminya berada di penjara.

Kita juga harus melihat bahwa narasi ekstremisme di media sosial yang menyasar perempuan tidak hanya tentang emosional saja. Ada narasi di media sosial yang juga mentarget perempuan-perempuan yang berhasrat agar bisa berguna untuk orang lain. Caranya dilakukan lewat penggalangan dana.

Kalau dari segi emosionalnya saja, saya kurang setuju. Ada beberapa narasi yang emosional atau romantisasi jihad misalnya ketika banyak postingan misalnya: Separuh hatiku sudah dibawa ke Suriah.

Hal tersebut semacam romantisasi yang artinya ketika sang suami pergi jihad, istri akan senang, seolah-olah berpisah dalam cerita-cerita drama Korea. Ada postingan yang sangat mendramatisir kepergian suaminya.

Ketika suaminya sudah meninggal di Suriah, mereka akan menulis postingan yang agak sedikit mendramatisasi. Misalnya, iya nih suami aku meninggal di Suriah hari ini bulan ini kemudian kata orang yang melihat suami aku meninggal mereka mencium bau yang tidak pernah mereka cium sebelumnya dan wajahnya sangat berseri.

Hal tersebut penting sebagai penggambaran tentang kesyahidan. Perempuan juga turut menyumbangkan itu karena dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan suami.

Contohnya, kisah Ummu Sabrina, Narasi yang perempuan bangun di sosial media bukan cuma soal emosional, sense of belonging rasa ingin menjadi bagian dari kelompok lain, galau, dan lain sebagainya.

Saya melihat perempuan juga punya narasi-narasi yang baru misalnya berjihad dengan memberikan uang. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok militan ISIS di Indonesia.

Pemanfaatan tersebut dilakukan terutama untuk menarik para perempuan yang ada di luar Indonesia dan bekerja sebagai domestic worker di Hongkong, Singapura, dan tempat-tempat lainnya.

Bagaimana pendapat Anda tentang kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021 dan aksi di Polda Metro Jaya yang dilakukan oleh Zakiah  Aini?

Pada tahun 2020, sudah tidak aneh lagi ada perempuan yang menjadi pelaku bom bunuh diri. Karena yang pertama terjadi pada tahun 2016. Artinya di sini kita bisa melihat bahwa trend keterlibatan perempuan bisa menjadi sesuatu yang konsisten dan akan terus berkelanjutan.

Jika dilihat sejak tahun 2016 sampai tahun 2019 kecuali tahun 2020, perempuan cukup terlibat dalam aksi teror sebagai pelaku teror. Hal yang menarik dari kasus Zakiah Aini bahwa perempuan biasanya masih tergantung pada laki-laki, kalau mereka mau melakukan aksi teror.

Tergantung di sini dalam artian misalnya dalam masalah menetapkan musuh, akses terhadap senjata, dan cara menggunakan senjata. Hal ini terjadi misalnya dalam kasus Dian Yulia Novi, Ika Puspitasari, Jumiatun Muslimayatun alias Delima istri Santoso, dan yang lainnya yang ada di Mujahid Indonesia Timur (MIT).

Mungkin mereka punya keinginan untuk melakukan aksi teror dan muncul dari diri sendiri. Sayangnya, mereka kadang memiliki keterbatasan seperti tidak tahu bagaimana cara memakai senjata dan menentukan target.

Misalnya, Dian Yuli yang menyerahkan semua ke Bahrun Naim terkait dengan target kemudian juga senjata. Dia sendiri yang bilang bahwa dia tidak mengetahui cara memakai bom karena akan diberi tahu ketika nanti di jalan mau ke Istana Negara. Begitu.

Jadi, walaupun perempuan ingin melakukan aksi teror, mereka tidak punya kapabilitas untuk melakukan aksi teror. Zakiah Aini adalah kasus yang menarik karena membeli senjata sendiri. Keluarganya juga menyatakan bahwa dia pernah latihan menembak beberapa kali.

Ke depannya, karena ada akses pembelian senjata secara online, maka keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme akan semakin berkembang. Perempuan tidak lagi bergantung terhadap laki-laki dalam hal misalnya menggunakan senjata atau menetapkan target. Agak mengkhawatirkan karena berarti akan ada lebih banyak lagi serangan-serangan yang dilakukan baik oleh laki-laki ataupun perempuan.

Apa yang harus dilakukan netizen untuk menghalau narasi ekstremisme di media sosial?

Saya tidak tahu apakah media keislaman sudah bisa mengidentifikasi pembaca sebagai orang yang mempunyai ideologi ekstremisme atau tidak. Hal tersebut masih menjadi tanda tanya.

Hal paling pertama yang harus dilakukan adalah yang memaksimalkan fungsi sosial media karena itulah yang kelompok-kelompok ekstremis lakukan. Jadi, fungsi sosial media pertama adalah untuk menyebarkan informasi. Lalu untuk perekrutan lewat comment section atau inbox

Lewat sosial media juga bisa mengajak untuk melakukan aksi teror. Para content creator yang membuat kontra narasi harus bisa memaksimalkan fungsi sosial media. Bukan hanya sekadar informasi tapi mereka juga harus melakukan perekrutan dalam tanda kutip supaya orang-orang ini lebih pro ke anarasi-narasi damai.

Jangan cuma menyebar informasi, sekadar posting, karena apa yang dilakukan oleh kelompok ekstremis lebih dari itu. Mereka melakukan engangement, comment section, atau lewat personal message (PM). Ada mobilisasi massa untuk melakukan aksi-aksi tertentu.

Mungkin ada beberapa orang yang tidak hanya ingin membaca narasi damai saja tapi juga ingin melakukan sesuatu. Misalnya, kelompok masyarakat Muslim atau kelompok-kelompok yang tertindas yang ingin melakukan sesuatu.

Selanjutnya, harus membuat follower yang loyal. Hal ini yang mungkin masih agak kurang dari narasi damai. Mungkin juga ada beberapa orang yang memang memiliki komitmen terhadap narasi damai.

Tapi, jumlahnya kurang banyak. Jika kita lihat dari kasus kelompok ekstrem, mereka sangat serius sekali sampai account media sosialnya di-suspend oleh pihak berwajib. Tapi, walaupun 100 kali mereka di-suspend, mereka akan buat lagi hampir 1000 kali.

Dian saja bilang bahwa akunnya sudah di-suspend beberapa kali, tapi ia mengaku mekipun begitu, ia akn terus buat. Jadi, kita butuh semacam follower yang cukup radikal terhadap narasi damai dalam tanda kutip yang memang benar-benar komitmen terhadap narasi damai dalam menyebarkannya.

Terakhir, jangan terlalu fokus pada narasi ideologi. Sebab, narasi yang dipakai oleh kelompok ekstremis juga merupakan narasi yang bersifat lebih personal dan emosional, termasuk gaya hidup.

Kelompok aktivis counter narasi juga perlu menciptakan konsep-konsep baru, jangan hanya me-review konsep kelompok ekstremis seperti konsep jihad yang benar, misalnya. Kita buat konsep baru atau sesuatu yang baru. Jadi, mereka yang harus jadi tren terkait dengan konsep-konsep atau narasi yang ada di sosial media atau internet.

Sekian.

Ayu Alfiah Jonas, Alumni UIN Jakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Munarman dan Keterlibatannya dalam Mendukung ISIS

Jum Jan 28 , 2022
Khilafah.id – Memang sudah lama organisasi Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan. Tumbangnya organisasi keagamaan ini menjadi bukti bahwa pemerintah masih kuat menghadapi organisasi radikal selevel FPI, meski sebelumnya pemerintah mendapat serangan yang cukup masif dari organisasi ini. Pembubaran FPI jelas memiliki alasan yang mirip dengan organisasi radikal Hizbut Tahrir Indonesia […]
Munarman

You May Like