Khilafah.id – Memperingati peresmian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hari Melawan Islamofobia, penting kiranya memasukkan program moderasi ke kancah internasional. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia mempunyai peluang besar untuk melakukan itu. NU melalui KH. Yahya Cholil Staquf mengembangkan visi internasionalisasi moderasi Islam. Kemudian Prof. Haidar Nashir sangat mendukung kepemimpinan Indonesia di kancah global, yaitu gerakan penguatan Muhammadiyah dan SDM Indonesia menjadi lebih unggul dan berkarakter di kancah internasional.
Mengangkat 3 konsep persaudaraan Islam, yaitu ukhuwah Islamiah, ukhuwah watoniah, dan ukhuwah basyariah, kedua organisasi tersebut dirasa cocok untuk menyemai benih moderasi ke kancah nasional. Pun jika kita melihat perkembangan kedua organisasi ini, sepak terjang mereka sudah tidak diragukan. Terbangun beberapa lembaga pendidikan, pusat kajian, hingga lembaga pengembangan khusus yang terjaring hampir ke seluruh wilayah. Selain itu jumlah massa yang berlimpah, ikut menjadi kekuatan untuk mendorong pokok ajaran Islam dunia ke arah moderat.
Ide moderasi global ini sebenarnya bukanlah ide baru yang dimunculkan. Sebelumnya terdapat Gerakan Gulen yang berasal dari Turki yang berfokus pada dunia pendidikan. Mereka mendirikan sekolah dan universitas di 170 negara lebih. Meskipun gerakan ini cukup berkembang, namun ada keterbatasan dari sisi massa. Sehingga efek yang ditimbulkan kurang begitu cepat dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya potensi dari kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia sudah mencukupi untuk melakukan gerakan moderasi global.
Dua Potensi Menyebarkan Moderasi
Melihat masing-masing organisasi, sebenarnya ada dua potensi penting untuk menyusun nilai moderasi ke tingkat nasional. Dua potensi tersebut ada dari dalam (internal) organisasi dan luar (eksternal) organisasi. Potensi internal dari Nahdlatul Ulama dapat ditemukan dari banyaknya pondok pesantren yang dibangun di Nusantara. Pondok pesantren selama bertahun-tahun telah diakui sebagai pendidikan terbaik untuk membangun karakter umat menjadi lebih baik. Bahkan keunikan metode pengajaran pesantren sampai menarik perhatian para peneliti di dunia untuk mendalami sistem pengajarannya.
Sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi yang mendirikan banyak sekolah, universitas, dan lembaga baru di berbagai wilayah. Robert Hefner menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi modern terbesar di dunia. Perpektif Robert Hefner ini datang dari banyaknya sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga amal, panti asuhan, dan lembaga lain yang membawa dampak signifikan pada kehidupan masyarakat.
Potensi ekternal kedua organisaasi ini lahir dari kondisi politik keduanya di kancah internasional. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah membangun jejaring melalui Aisyiyah dan Muslimat. Melalui gerakan Aisyiyah dan Muslimat, mereka mampu bekerjasama dengan pria serta aktif memperjuangkan hak minoritas yang ditindas secara serampangan.
Mereka juga menjadi sosok humanis yang turun tangan ketika terjadi bencana ataupun kesulitan lain yang dialami sesama. Jejak pergerakan mereka terekam dalam 31 Cabang Istimewa NU yang tersebar di seluruh dunia dan pimpinan cabang Muhammadiyah di 23 negara.
Peta politik dua organisasi tersebut juga secara bertahap diakui oleh dunia. Misalnya NU dipercaya menjadi tuan rumah konferensi ulama di selama 3 tahun berturut-turut. Kemudian NU juga bekerjasama dengan beberapa negara seperti Uni Eropa, Turki, dan beberapa jaringan dunia lainnya. Sedangkan tokoh-tokoh Muhammadiyah terlibat di beberapa kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan aliansi beberapa negara.
Eksekusi Bergandengan
Kondisi demikian sangat mendukung untuk menciptakkan iklim moderasi di seluruh dunia. Iklim modereasi dapat diciptakan melalui gerakan-gerkan kecil yang terus meluas setiap saat. Pembangunan lembaga sosial dapat dikalkulasikan menjadi gerakan besar yang sewaktu-waktu merubah mindset keislaman dunia. Pun juga menyadari adanya kekayaan budaya Indonesia, seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai aset penting untuk menggaet dan melakukan kreatifitas dakwah yang menarik.
Apabila dua organisasi keislmanan di Indonesia mampu menerobos batas keagamaan lintas dunia, bukan tidak mungkin ancaman peperangan, kasus kemiskinan, dan problematika lainnya dapat tercegah dengan sistem yang tersusun rapi. Bukan tidak mungkin keduanya dapat bergandeng tangan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.
Namun tantangan paling nyata untuk mewujudkan semua itu adalah perbedaan kondisi sosial di masing-masing negara. Bagaimana caranya memasukkan nilai keagamaan di negara liberal, atau di negara kapitalis, atau di negara komunis, hal itu akan menjadi tantangan terbesar yang akan dihadapi dalam mewujudkan sistem moderasi.
Konsep dari Islam sendiri adalah sebagai agama universal sekaligus berlaku kultural. Dapat disesuaikan di masing-masing tempat untuk memperoleh kehidupan yang nyaman. Maka tugas terbesar yang nantinya dihadapi oleh NU dan Muhammadiyah adalah datang dari cara dakwah itu sendiri. Perlu kiranya untuk menelaah sistem dakwah yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu, seperti walisongo, dan diadaptasikan ke bentuk yang lebih modern.
Langkah dakwah dapat diawali dengan adanya pemahaman keilmuan secara mendalam akan kondisi suatu negara. Hal ini dapat dilakukan melalui riset para mahasiswa yang menempuh pendidikan di masing-masing negara. Kumpulan mahasiswa yang bertempat di suatu negara, dapat mendirikan lembaga khusus untuk menjaring keberhasilan moderasi yang nantinya dilakukan.
Kemudian karya-karya penelitian atau gagasan segar mengenai keislaman juga harus diperbanyak untuk mengedukasi sekaligus memberikan gambaran kepada negara-negara di dunia terkait moderasi yang diciptakan.
Besarnya perubahan yang akan diciptakan, perlu kiranya kerjasama secara apik antara NU dan Muhammadiyah. Secara historis keduanya telah bergandengan, pun gerakan keagamaan yang diusung keduanya tidak jauh berbeda. Maka akan menjadi keniscayaan untuk mewujudkan nilai moderasi global secara bergandengan. NU dan Muhammadiyah menjadi garda terdepan yang mengusung nilai moderasi.
M. Nur Faizi, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.