Khilafah.id – Salah satu akar terjadinya terorisme di negeri ini disebabkan faktor radikalisme agama yang tumbuh dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat. Selain radikalisme agama, aksi terorisme juga berisiko muncul diakibatkan oleh gesekan-gesekan lainnya, seperti anti-persatuan, separatisme, dan lain-lain.
Menyikapi hal ini, kita sangat berharap, elemen masyarakat harus senantiasa mengingat bahwa kita hidup di Indonesia. Harus senantiasa bersikap tenggang rasa dan berpikiran terbuka, maka akar dari radikalisme tidak akan mudah memengaruhi kita.
Pemerintah juga perlu untuk menjadi penggerak dalam pembangunan persatuan dan kesejahteraan bangsa guna menghindari negeri dari ancaman radikalisme yang memanfaatkan celah-celah ketidakadilan yang berujung pada munculnya tindakan terorisme (Aspihanto, 2017: 76).
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah bagi masyarakat terutama generasi muda. Penyebaran paham radikal sudah sampai pada generasi muda yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi dan umumnya berasal dari pondok pesantren.
Penyebaran paham radikal di tingkat perguruan tinggi sangat marak, kebanyakan dari generasi muda yang terjerumus oleh paham-paham radikal saat masih bersekolah kurang dibekali pengetahuan keagamaan dan rasa cinta tanah air, sehingga mudah direkrut untuk dijadikan anggota kelompok jaringan terorisme.
Terbukti dari data yang diperoleh BNPT, berdasarkan riset terhadap 110 pelaku tindakan terorisme, paling banyak ada di rentang usia 21-30 tahun mencapai 47,3 % dan yang berusia di bawah 21 tahun sebanyak 11,8 % (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2015: 4).
Munculnya radikalisme di era milenial yang melahirkan terorisme salah satu fenomena yang harus dihindari dan dicegah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kita ketahui kelahiran Islam ribuan abad silam bahkan tidak diwarnai dengan pedang, melainkan Islam membawa pesan-pesan perdamaian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Disatu sisi juga melabelkan bahwa radikalisme sebagai pemahaman yang sangat negatif.
Ada dua hal utama yang dapat disimpulkan; Pertama, bahwa media internet mengambil porsi dan peranan yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada publik, terutama kaum muda akan ideologi radikal. Hal in diperparah dengan fakta bahwa perekrutan kaum muda dalam organisasi-organisasi radikal banyak dilakukan dengan menggunakan media internet.
Fakta bahwa organisasi teroris dan yang terafiliasi dengannya telah memanfaatkan teknologi yang dapat memudahkan mereka menyebarkan propaganda dan merekrut anggota potensialnya melalui internet adalah hal yang sangat miris dari kemajuan media massa itu sendiri.
Kedua, media massa memegang peran kunci dalam menangkal dan memberikan informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan berkembangnya gerakan-gerakan ekstremis dimulai dari lingkungannya sendiri.
Meskipun pada dasarnya, Indonesia adalah negara Islam moderat dan radikalisme sulit berkembang di negeri ini, namun bukan berarti Indonesia tidak luput sebagai target bagi mereka, terutama generasi muda.
Tentunya, media massa memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap publik, meskipun di sisi lain pemberitaanpemberitaan itu memang menguntungkan gerakan-gerakan tersebut sebagai bentuk dari propaganda cuma-cuma, namun ia juga memunculkan gerakan massa dari masyarakat sendiri untuk aktif berperan serta menjaga lingkungannya dari hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum tanpa hanya bergantung pada pemerintah (Leni Winarni, 2014).
Mencermati hal tersebut, pendidikan anti terorisme sebagai salah satu upaya untuk mencegah maraknya terorisme di kalangan generasi muda, membutuhkan pendidikan agama, khususnya pendidikan agama di madrasah atau yang disebut pendidikan keagamaan sesuai PP No. 55 Tahun 2007.
Pendidikan keagamaan di madrasah berbeda dengan pendidikan agama di sekolah umum, pendidikan keagamaan di madrasah dikelola oleh menteri agama, pendidikan keagamaan sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya yang bertujuan untuk meneruskan nilai-nilai Islam.
Pendidikan keagamaan diperlukan untuk membentuk karakter dan akhlak yang baik. Melalui pendidikan keagamaan seseorang diajarkan tentang bagaimana berbuat baik, berakhlak mulia dalam berinteraksi dengan masyarakat, sehingga muncul sikap tidak ingin merugikan orang lain.
PP No. 55 Tahun 2007 merumuskan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi sebagai pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaanpengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Pendidikan keagamaan diakui oleh Negara sebagai bagian dari pendidikan nasional, dengan mengakui institusi-institusi pendidikan keagamaan, yaitu: sejak usia dini, pada jalur pendidikan formal ataupun pondok pesantren.
Pendidikan di sekolah maupun di pondok pesantren diharapkan mampu membentuk kepribadian yang baik sehingga dapat menumbuhkan semangat keberagaman, sikap toleran, memperkuat kerukunan hidup beragama, serta persatuan dan kesatuan nasional yang merupakan implementasi perwujudan dari nilai-nilai Pancasila.
Para pendidik baik lembaga pendidikan formal maupun non formal harus meningkatkan, menguatkan pemahaman agama Islam dan menanamkan nilai-nilai Pancasila pada peserta didik agar siap menghadapi ajaran-ajaran yang bertolak belakang dengan ajaran ideologi negara dan agama. Sebagai salah satu agen pendidikan, sekolah menjadi salah satu tempat yang penting dalam membentuk karakter suatu bangsa.
Pendidikan berbasis anti terorisme adalah pendidikan yang anti terhadap segala bentuk kekerasan. Baik kekerasan langsung (direct violence) ataupun kekerasan tidak langsung. (indirect violence). Budaya kekerasan dengan ragam bentuknya sebenarnya bertentangan dengan spirit pendidikan yang senyatanya bertujuan untuk memenusiakan manusia, khususnya pendidikan agama yang senantiasa menyeru kedamaian (rahmatan lil ‘alamin).
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, M.Pd., Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Aceh.