Khilafah.id – Dalam sebuah potongan video ceramah yang beredar di media sosial, suatu ketika Ustaz Somad ditanya tentang adanya hadis tentang khilafah ala manhajin nubuwwah (khilafah berdasarkan metode kenabian). Kemudian Ustaz Somad menyitir sebuah hadis riwayat Imam Ahmad yang membagi masa khilafah menjadi lima periode.
Pertama khilafah kenabian yang terjadi pada masa nabi, kedua masa kekhilafahan khulafa’ur rasyidun, ketiga masa mulkan addhan (kerajaan yang menggigit), keempat mulkan jabariyyah (kerajaan diktator), dan yang terakhir kembali ke khilafah kenabian.
Hadis ini cukup populer di kalangan umat muslim khususnya para aktivis khilafah.
Meskipun Hizbut Tahrir Indonesia sudah dibubarkan oleh pemerintah Indonesia, namun ranah akademik boleh terus berjalan. Apalagi, meskipun organisasinya sudah bubar, namun ideologi mereka masih cukup kuat menumbuhkan bibit-bibit aktivis pejuang khilafah.
Dari sembilan kitab hadis ternama (kutubus tis’ah) hanya Imam Ahmad yang meriwayatkan adanya hadis tentang kembalinya khilafah kenabian ini.
Seperti yang pernah dipaparkan oleh Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), hadis-hadis yang berbau politik seperti ini harus diseleksi lebih mendalam, karena akan besar kemungkinan hadis-hadis politik dipengaruhi oleh unsur yang politis pula.
Dua kitab hadis utama, sahih Bukhari dan sahih Muslim tidak meriwayatkan hadis ini. Dengan demikian secara eksplisit hadis ini bukan merupakan hadis sahih (meskipun hadis sahih bukan hanya Bukhari, Muslim saja), paling tidak hadis ini tidak ditemukan dalam dua kitab hadis yang paling dipercaya di muka bumi ini.
Oleh sebab itu, merupakan ketergesa-gesaan jika Hizbut Tahrir (HT) mewajibkan berdirinya Negara khilafah (satu Negara Islam) dalam dunia ini. Bukan saja karena landasan aqli-nya tidak kuat, landasan naqli-nya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ironi terjadi ketika pendiri sekaligus amir HT pertama dalam kitab Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah menolak adanya hadis yang tidak mutawatir untuk dijadikan pedoman (Ainur Rofiq Al-Amin; 2017), sedangkan satu-satunya hadis yang sering digadang-digadang HT sekaligus sebagai landasan utama normatifnya mengkampanyekan khilafah merupakan Hadis Ahad atau hadis yang tidak mutawatir.
Dengan demikian, sedari awal syeikh Taqiyuddin sudah tidak konsisten dengan apa yang menjadi metode pemahaman nash dengan apa yang menjadi pilar utama adanya gerakan ini. Selain Hadis riwayat Ahmad tersebut tidak kuat secara sanad, ada hadis lain yang bertentangan dengan apa yang ada dalam hadis lima masa khilafah tersebut. Hadis ini terdapat dalam kitab Tarikh al-Khulafa’.
Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab tersebut meriwayatkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa masa khilafah hanya berlangsung selama 30 tahun, yakni pada masa Khulafa’ur Ryasidin yang terjadi pada tahun 11 Hijriah sampai 40 Hijriah. الخلافة ثلاثون عاما ثم يكون بعد ذلك الملك masa khilafah itu tiga puluh tahun, dan sesudah itu adalah masa kerajaan.
Di lain tempat dengan redaksi hadis yang hampir sama, Imam Tirmizi juga meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Khilafah umatku selama tiga puluh tahun, dan setelah itu adalah kerajaan. Bahkan bagian akhir hadis ini menceritakan tentang kerajaan Bani Umayyah adalah seburuk-seburuk kerajaan, sangat politis bukan? (Sunan at-Tirmizi vol. 4-lihat Ainur Rofiq al-Amin, HTI Dalam Timbangan).
Oleh sebab itu wajib hukumnya bagi para ulama untuk meneliti lebih mendalam terkait hadis-hadis yang berbau politik, karena sejak Nabi wafat pun keadaan politik sudah memanas terkait suksesi kepemimpinan pengganti Nabi.
Ustaz Somad menjawab lewat hadis ini pula ketika ia ditanya tentang hadis khilafah. Namun sayang, ia tidak menjelaskan status hadis atau makna dari hadis, atau pun bagaimana komentar para ulama hadis mengenai hadis tersebut. Ini menjadi bahaya ketika orang awam menangkap hadis tersebut secara cuma-cuma dan langsung ikut-ikutan menjadi simpatisan khilafah atau bahkan bisa jadi menjadi kader gerakan pengusung khilafah ini.
Status hadis yang lemah, bahkan hanya terdapat satu redaksi dari sembilan kitab hadis yang ada menjadi alasan utama mengapa hadis ini harus ditolak. Jika pun diterima secara terpaksa, maka harus ada interpretasi alternatif agar hadis ini tidak bertentangan dengan hadis-hadiss yang lain (seperti hadis khilafah 30 tahun).
Salah satu interpretasi yang paling memungkinkan adalah Hadis ini dipahami sebagai tanda kejayaan umat Islam di akhir zaman, yakni ketika al-Mahdi turun ke bumi memimpin umat Islam untuk merebut kembali al-Quds dan setelah al-Quds sudah terkuasai kembali, itulah yang disebut dengan khilafah ala manhajin nubuwwah.
Jadi khilafah ala manhajin nubuwwah (kalaupun terpaksa menerima Hadis) bukan khilafah ala-ala HT yang dalam wacana sistemnya pun masih rancu, meskipun mereka mengaku khilafah yang mereka usung yang paling mirip dengan khilafah di era Nabi Muhammad SAW.
Doktrin-doktrin HT yang berjualan dengan iming-iming seperti “khilafah pasti berdiri” atau “khilafah akan tegak kembali” cukup meyakinkan bagi orang awam yang baru berhasrat belajar Islam. “Yang penting ada hadisnya”, kata mereka tanpa menimbang kembali melalui ranah nalar akademik tentang kehujjahan hadis khilafah tersebut. Doktrin ini cukup terbukti berhasil mencuci otak para remaja labil yang haus akan ilmu agama.
Saya sendiri pernah berdebat dengan aktivis HT (HTI) tentang kehujjahan hadis ini, namun yang didapat justru pemuda tersebut justru marah-marah setelah mengetahui bahwa kualitas hadis yang dijadikan oleh HT merupakan hadis lemah yang tidak dapat dijadikan hujjah. Ia tetap saja bergeming bahwa khilafah akan tegak. Sesuatu yang kadang-kadang membuat saya tertawa sendiri.
Menjadikan hadis lemah sebagai landasan mewajibkan mendirikan khilafah adalah tindakan yang tergesa-gesa-kalau enggan dikata konyol-, apalagi mendosa-besarkan yang tidak setuju dengan gerakan khilafah ini seperti apa yang dilakukan oleh HT.
Bagi mereka, Muslim yang menolak adanya Negara khilafah berdosa besar, mungkin ini alasan mengapa mereka begitu keras dalam urusan khilafah ini. Karena sedari awal mereka sudah terdoktrin memandang saudara-saudara muslimnya sebagai orang-orang yang berdosa besar.
Ustaz kondang yang banyak pengikutnya seperti ustaz Somad sebaiknya lebih berhati-hati lagi dalam berceramah, apalagi yang berkaitan dengan fatwa, karena para jama’ahnya besar kemungkinan mengikuti apa yang menjadi petuah dari sang ustaz, tanpa memilah dan mencerna apakah petuah itu benar atau salah.
Mengenai pandangan ustaz Somad yang mengatakan HTI tidak salah (dalam konteks NKRI) saya tidak akan menuliskan panjang lebar di sini. Yang jelas bagi saya itu merupakan pandangan yang keliru, karena ustaz yang lahir dari rahim NU ini seyogianya mengikuti fatwa dan pendapat ulama-ulama sepuh NU yang menyatakan bahwa NKRI sudah final dan tidak dapat diganggu gugat.
Oleh sebab itu dalam konteks ini, HTI bukan saja salah namun juga melanggar kesepakatan bernegara yang telah dicetuskan oleh para pendiri bangsa, dan ini merupakan pengkhianatan.
Terakhir, untuk kader-kader HT saudara-saudaraku sesama Muslim, mari kembali ke jalan yang benar, mari mengikuti ulama-ulama yang sudah teruji kealimannya, dan mari kembali kepada pangkuan ibu pertiwi.
Amamur Rohman, Koordinator wilayah DIY Jaringan Ulama Muda Nusantara (JUMAT).