Khilafah.id – Ada tesis menarik dari Muhammad Dhia’uddin al-Rayis, dalam bukunya yang fenomenal, Al-Islam wa al-Khilafah fi ‘Ashr al-Hadits, ketika merespons buku sekulerisme Ali Abdul Raziq berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Al-Rayis mengatakan, wacana khilafah tidak harus diantipati secara total, dan tidak benar jika ia dilepaskan dari Islam. Kita umat Muslim, menurutnya, bisa bemufakat jika memang benar-benar mau menegakkannya.
Tesis tersebut mengetengahi diskursus politik Islam yang dualitas, antara yang sama sekali menolak dengan yang sangat berutopia menggapainya. Namun, selain itu, ia juga menegaskan bahwa wacana khilafah bukan sesuatu yang mudah diredam. Kebijakan yang represif sekalipun tidak akan mampu membumihanguskannya. Pada akhirnya, kita harus mencari cara lain untuk meminimalisir, yaitu tidak memancing mereka untuk bergerak.
Sebelumnya sudah diulas bahwa ketidakadilan dan korupsi adalah sesuatu yang sangat meresahkan menjengkelkan. Bikin resah karena rakyat yang dirugikan, dan bikin jengkel karena para politikus hari sangat tamak—tidak mengabdi pada negara dan hanya mencari untung untuk perutnya sendiri. Mulai dari daerah sampai pusat, sistem telah dikorupsi. Mau protes takut ditangkap. Akhirnya apa? Media sosial jadi pelampiasan mereka.
Tetapi benarkah wacana khilafah akan habis sama sekali jika pemerintah, dalam konteks sekarang rezim Jokowi, bersih dan adil? Dan pernahkah dalam rentang pemerintahan RI selama ini, pemerintah yang dianggap adil sehingga wacana khilafah tidak naik? Sejumlah pertanyaan lain sangat perlu diajukan karena dalam menanggulangi propaganda khilafah, kontra-narasi saja tidak cukup. Kontra-ketidakadilan dan kontra-korupsi adalah bagian dari penanggulangan itu sendiri.
Di Twitter, tagar #NegeriPajak tengah trending, bergandengan dengan tagar #KhilafahPelindungUmat, #KhilafahAjaranIslam, dan #BerjuangTegakkanKhilafah. Tulisan ini, berbeda dari sebelumnya yang memandang khilafah sebagai narasi monolitik, akan mengulas wacana khilafah dalam konteks hubungannya dengan realitas sosial-politik. Faktanya, di Indonesia, khilafah bukan hanya respons terhadap globalisasi.
Wacana Khilafah
Secara global, gerakan politik identitas tampak sebagai spirit separatisme (As’ad, 2016: 7). Namun tidak dalam konteks wacana khilafah. Meski secara organisasi ia menginginkan pergantian sistem pemerintahan, para aktivisnya paham betul bahwa cita-cita tersebut masih terlalu dini untuk Indonesia. Negara ini, berbeda dari negara di Timur Tengah, adalah negara aman yang solid di bawah Pancasila. Tentu tidak mudah untuk propaganda.
Sebagai langkah awal, wacana khilafah digulirkan melalui polemik nasional. Bahasa pendeknya, nebeng-nebeng. Sehingga ketimbang bergerak separatis, mereka lebih cenderung radikalis saja. Kelak ketika organisasinya sudah kuat—tentu saja jika itu memungkinkan untuk terjadi—baru separasi akan ditempuh melalui kudeta. Tetapi pasti kalah, karena Pancasila bukan ideologi yang mudah dirobohkan. Umat Islam juga tidak lagi mudah dibodohi.
Kendati demikian, pemberontakan bisa terjadi kapan saja. Semuanya tergantung rezim Jokowi, kinerja dan sepak terjang politiknya. Bergandengan dengan Cina, sebagai contoh, akan memantik wacana komunisme. Sementara bekerja sama dengan Barat, akan memantik wacana sekularisme. Islam yang dinilai semakin terasing, di samping pejabat negara yang dinilai melenceng, adalah bumbu-bumbu yang melezatkan propaganda khilafah tersebut.
Wacana khilafah di Indonesia boleh jadi sudah lepas dari kemurnian doktrin ideologisnya. Namun dugaan ini tidak kuat lantaran apara aktornya adalah orang yang sama, dari dahulu hingga sekarang. Jika kembali pada tesis al-Rayis yang disinggung di awal, rezim Jokowi benar-benar harus hati-hati dalam mengelola negara. Republik ini banyak yang mengincar. Jika sampai pejabat rakus bersarang di kabinet pemerintahan, pemberontakan terhadap negara semakin menemukan momentumnya.
Khilafah: Politik dan Ideologi
Umat Islam mempunyai solidaritas yang tinggi jika itu berkenaan dengan agamanya. Said Hawwa sudah lama menyatakan demikian. Suatu keadaan tertentu bisa menyatukan seluruh umat, terlepas dari kepentingan antargolongan. Para tokoh islamis Indonesia generasi awal, yang lokal; bukan transnasional, pernah berada di bawah satu organisasi, tapi kemudian pecah seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya demokrasi.
Sekarang, jika demokrasi tersebut disalahgunakan, bukan mustahil umat Islam akan bersatu untuk memerangi. Sikap kompromi umat Islam terhadap konsensus negara memperhitungkan kemaslahatan. Maka jika kemaslahatan tersebut direnggut oleh ketamakan dan kerakusan para politisi: yang korup, yang tidk adil, yang memeras rakyat, umat akan berbalik arah dan bersama-sama menghilangkan sekat untuk satu tujuan: kedaulatan negara.
Hari ini, seorang menteri di kabinet Jokowi tengah menyita perhatian publik lantaran selama Jokowi jadi presiden, yang bersangkutan telah sepuluh kali diamanahi jabatan yang berbeda-beda. Seluruh kementerian pernah orang tersebut cicipi, hingga muncul anggapan masyarakat bahwa rezim Jokowi sudah banyak mengenyangkan perut para elite politik dan sebaliknya, menguras habis isi perut rakyat. Ada anggapan politik kontor dan indikasi ketidakadilan di situ.
Dari konteks itu, eksistensi wacana khilafah bersifat politis. Mereka mencoba memanfaatkan keresahan sosial masyarakat dan kesemrawutan politik secara simultan. Sementara eksistensinya sebagai ideologi transnasional disembunyikan, kemudian menggunakan topeng Islam: kedaulatan sosial dan politik.
Jadi, semakin suatu rezim bersih, mereka akan mati kutu sendiri. Sebaliknya, semakin suatu rezim memperlihatkan ketidakadilan dan kekotoran politik, mereka akan semakin diterima masyarakat. Pertanyaannya, apakah dengan demikian rezim Jokowi harus berbenah diri dari polemik? Jelas. Tujuannya satu, untuk membendung wacana khilafah.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.