Walid: Dikepung Kerusuhan, Berkenalan dengan Ekstremis, Hingga Jadi Kombatan Ideologi Jihadis

Walid

Khilafah.id – Lebih dari dua dekade silam, sebuah peristiwa kerusuhan di Ambon memicu adrenalin seorang pemuda bernama Walid untuk menjadi pembela agama. Membekali kemampuan (bertahan) diri, ia berlatih di Kashmir, Pakistan, kemudian balik ke Indonesia dan mengajar pembuatan bom serta terlibat dalam kasus kepemilikan sejata api. Namun, ia tidak berbaiat kepada kelompok manapun. Ringkasnya, dialah si lonely wolf.

Ketapang, Seram Barat, Maluku, pada 5 Juli 1982, Walid terlahir dengan nama asli Sutarno Nuhuyanan. Nama ‘Sutarno’ diambil dari tradisi nenek dari ayahnya yang berasal dari tanah Jawa. Sementara itu, ‘Nuhuyanan’ diambil dari fam ayahnya, keluarga Nuhuyanan yang berasal dari suku Kei.

Walid menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Ketapang pada 1989 hingga 1995. Pendidikan sekolah menengah pertama ia tempuh di Madrasah Tsanawiyah al-Ikhlas, Ketapang, pada 1995 hingga 1998. Selain bersekolah, Walid mengaji saban bakda magrib kepada guru yang masih satu trah.

“Mengaji karena perintah orang tua,” ujar Walid.

Setamat Madrasah Tsanawiyah, ia berniat melanjutkan sekolah di kota Ambon. Alasannya, Walid merasa tidak berkembang jika sekolah di kampung.

“Secara akademik mampu, tapi sulit berkembang karena orang yang berprestasi pasti punya hubungan kerabat dengan guru,” keluhnya.

Meski begitu, keinginan Walid bersekolah di Ambon tidak disetujui oleh sang ayah karena kondisi ekonomi. “Abi bilang, tidak apa-apa ya kamu tidak sekolah tahun ini, biar kakakmu yang sekolah.”

Satu tahun berlalu, Walid berkemas untuk melanjutkan karir pendidikan. Nahas, saat hendak bergegas menuju kota Ambon pada 1999, pecahlah kerusuhan yang memakan banyak korban. Rencana sekolah Walid pun gagal untuk kedua kalinya. Padahal, Walid terkenal sebagai pemuda yang cerdas dan tangkas. Kelak, dua modal intelektual itu mendorong Syekh Jaenuddin memilih Walid (bersama enam orang lainnya) untuk mengikuti pelatihan di Kashmir, Pakistan.

Bergabung dengan Kelompok Mujahidin

Medio 1999, saat konflik Ambon pecah, usia Walid baru 17 tahun. Kendati masih muda dan shalatnya pun masih bolong-bolong, gairah membela agamanya justru membuncah tinggi. Energi heroisme yang meledak-ledak ini membawa Walid bersama para pemuda di kampungnya terlibat konflik yang dalam pikiran mereka adalah untuk membela agama.

Di samping itu, Walid sebetulnya juga punya motif emosional lainnya, yaitu tidak sedikit keluarganya yang jadi korban pembantaian saat konflik Ambon. Dia tahu bahwa sejumlah kelompok dari luar daerah dan luar negeri datang ke Maluku saat itu. Laskar Jihad pimpinan Ja’far Umar Thalib serta tokoh Al-Qaeda seperti Ayman Al-Zawahiri dan Abdul Wahid (tokoh Al-Qaedah di Bosnia) juga sempat hadir di tanah kelahirannya untuk memberikan suntikan semangat jihad.

Pelatihan perang pun dibuka. Walid tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Hampir semua pemuda di kampungnya mengikuti pelatihan.

“Tak ada yang mengajak saya. Kerusuhan memaksa saya untuk bisa berjihad mempertahankan diri. Jika non-muslim menyerang, kita membela diri,” ujar Walid.

Gairah jihad Walid semakin berkobar. Pada tahun 2000, ia bergabung dengan kelompok mujahidin di Seram Ambon, pimpinan Abdul Haris. Ia lalu terpilih mengikuti latihan militer (tadrib asykary) lanjutan di sebuah gunung yang ia sebut Gunung Waisana di Pulau Hitu Ambon, dengan peserta sekira 30 orang dari berbagai daerah di Maluku. Sekira satu bulan di Gunung Waisana, ia ditempa fisik dan belajar agama dari Syekh Jaenuddin, Kifli, dan Hamzah.

Dalam sebuah momen, saat konflik meluas hingga ke Seram bagian Barat kota Ambon, Walid terlibat dalam perlawanan terhadap kelompok Kristen. Closed combat dan bersenjata.

“Mati atau tidak saya tidak tahu. Kalau pun ada yang mati, saya tidak menyesal, karena kita diserang. Kalau tiba-tiba saya menyerang orang, saya menyesal.”

Mujahid Ambon Berlatih di Kashmir

Terhitung ada 7 anak muda Ambon yang terpilih berangkat ke Kashmir. Salah satunya adalah Walid. Dia dipilih karena Syekh Jaenuddin merasa takjub dengan keterampilan Walid. Sebelum berangkat, Walid diberi nasihat oleh seorang syaikh dari Mesir. “Kalau nanti ada kelompok yang merekrut kalian dan meminta kalian berbaiat, jangan ikuti.”

Walid tahu bahwa baiat ada dalam syariat Islam. Tapi harus tepat waktu. Ia melihat bilamana kelompok yang berbaiat itu berujung guluw, mengagungkan pemimpin secara berlebihan. Dari situ bisa mengkafirkan.

“Saya tidak berbaiat kepada siapa pun, hanya tadrib askari, latihan kemiliteran,” kata Walid.

Sepekan mengurus paspor di Jakarta, Walid dan kawan-kawan merapat ke Pakistan lewat jalur laut. “Saya masuk ke Kashmir secara legal,” ujar Walid.

Sampai di Pakistan, ia dan kawan-kawan diantar menuju Muzaffarabad, tepatnya ke sebuah camp bernama Baitul Mujahidin. Lalu, bersama mujahid lainnya dari Pakistan, ia dibawa ke sebuah pegunungan. Di pegunungan itulah ia mengikuti latihan selama lebih-kurang setahunan.

“Saat peristiwa World Trade Center, 11 September 2001 saya ada di Kashmir. Saya bertemu dengan CIA,” kenang Walid.

Uniknya, kepergiaan Walid ke Pakistan itu mendapat restu dari sang ayah, Hasan Nuhuyanan, seorang purnawirawan TNI yang pernah bertugas di Kodam 3 Siliwangi, Jawa Barat.

“Semua itu saya lakukan agar kelak, kembali ke Indonesia dapat melatih pemuda-pemuda Ambon,” kata Walid.

Walid menyebut jika materi latihan di Kashmir sangat terpola rapi. “Di sana kami belajar disiplin militer, menggunakan senjata, menyerang, dan bertahan”.

“Belajar melakukan teror dan mengantisipasi teror, bahkan belajar membuat virus. Tapi, pelajaran membuat virus itu dihentikan karena bahaya,” lanjutnya.

Walid berlatih menggunakan senjata api laras panjang sekaligus bongkar-pasang berbagai jenis senjata. Ia mengaku dapat mengoperasikan dan mampu memperbaiki senjata AK 47, AK 56, SKS, M 16, MP 5, GRENOP, G2, G3, Sneeper Draganop, DSK 12,7 dan senjata api laras pendek Jenis TT dan MECAROP.

Lebih dari itu, Walid mengaku pernah berlatih keterampilan menembak dengan cara berdiri, duduk, jongkok, dan tiarap. Pelatihnya saat itu adalah Abu Umar, asal Saudi Arabia.

Berlatih bela diri Judo yang dilakukan di atas matras dalam camp. Latihan anti teror meliputi room combat, refling, dan inteligen dengan pelatih Abu Muaz, mantan jenderal Pakistan yang bergabung dengan mujahidin Kashmir untuk melawan India. Ia juga belajar taktik perang termasuk cara melakukan penyergapan kepada seorang mentor bernama Abu Ibrahim. Ia pun belajar merakit bom, berdaya ledak rendah dan besar. Abu Sofyan asal Pakistan mengajarinya merakit bom dengan bahan sulfur, KCL O3, arang, dan alumunium powder.

Menjadi Mentor Bom dan Kurir Beli Senjata

Purna dari pelatihan militer pada 2001, Walid kembali ke kampung halamannya. Alih-alih langsung berperang, saat itu ia sibuk bertani, hingga 2004.

“Sepulang dari Kashmir, saya membantu orang tua. Saya dipersiapkan untuk bertahan jika terjadi konflik. Kalau untuk memberontak terhadap negara sendiri tidak diajarkan. Semua yang saya pelajari hanya untuk mempertahankan diri.”

Meski begitu, Walid mengaku sempat mengajarkan cara membuat bom kepada temannya, Aden alias Rusdin Kalderat dengan bahan-bahan dari KCL O3, Sulfur, gula pasir, dan arang. Ia juga pernah mengajarkan cara membuat bom via SMS kepada Sukri dan Abu Uswah. Alasannya adalah Abu Uswah sedang ada di luar daerah.

Walid bergabung dengan organisasi pimpinan Abu Uswah. Keduanya dipertemukan oleh misi yang sama, yaitu membela kaum muslim yang tertindas. Karenanya, organisasi ini pun memilih untuk tetap cair, alias anonim. Tanpa nama.

Sebelum melatih cara merakit bom, Walid menyampaikan amanat mentornya, Abu Sufyan, kepada peserta didiknya, “bahwa bom digunakan untuk perang, bukan untuk membunuh orang secara serampangan.”

Selain melatih membuat bom, pada September 2012, Walid juga mengantar Abu Uswah membeli senjata untuk melakukan teror dan penembakan terhadap anggota polisi yang daerah sasarannya adalah Poso dan Palu, Sulawesi Tengah.

Polisi dipilih menjadi target karena dianggap sering melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap ikhwan-ikhwan. Skenarionya, mereka memancing anggota polisi untuk naik ke gunung, kemudian dilakukan penembakan.

Tak hanya itu, senjata juga rencananya digunakan untuk mengahadapi Josep 12 di Poso, Sulawesi Tengah. Josep 12 merupakan istilah untuk menyebut peristiwa yang konon dirancang oleh kaum kristiani untuk menyerang muslim pada tanggal 12, bulan 12, dan tahun 2012.

Setelah transaksi, Walid dan Abu Uswah pulang ke rumah Walid di Seram bagian Barat dengan speed boat. Senjata api laras panjang jenis FNC seharga 20 juta masih dititip di rumah penjualnya, bang Jumu alias Imran. Esoknya, ia bersama Abu Uswah kembali ke Ambon dan mampir ke rumah kakaknya di komplek Pepabri Ambon.

Walid merasa ada yang membuntuti, lalu menyampaikan kepada Abu Uswah supaya lekas kembali ke Makassar. Menerima saran itu, Abu Uswah memberi uang tiga juta rupiah kepada Walid untuk membeli amunisi seribu butir, kemudian kembali ke Makassar dengan pesawat.

Sejurus kemudian, Walid pulang ke rumah kakak sepupu di daerah Kebon Cengkeh, Lorong Alaka, Kota Ambon. Merasa ada yang mengikuti, ia pun menginap beberapa malam di rumah kakak sepupunya. Esok harinya ia mendapat telepon dari Abu Uswah yang mengabarkan dirinya sudah sampai di Makassar. Tak berselang lama, Abu Uswah mengirim SMS, menyampaikan informasi yang ia terima bahwa situasi Ambon masih belum aman. Walid dianjurkan untuk tidak keluar rumah dan tidak membawa senjata api dan pelurunya ke Makassar.

Saat berada di rumah itu, Jasmi, sepupu Walid, menelepon Sukri, sahabat Walid yang juga sahabat Abu Uswah. Tapi, ponsel tidak aktif. Walid lalu menelepon keponakannya, Yanti, dan menanyakan tentang keberadaan Sukri. Yanti saat itu berada di dermaga Ketapang, Seram bagian Barat, dan sempat melihat Sukri naik speed boat ke Ambon. Yanti menyampaikan bahwa Sukri sudah berangkat ke Ambon menuju Makassar karena istrinya mau melahirkan.

Mengetahui jejak Sukri, Walid bergegas menuju terminal angkot di Batu Merah untuk menunggu kedatangan Sukri. Saat Sukri muncul, Walid menghampiri, lalu mengatakan bahwa situasi Ambon tidak aman. Walid mengajak Sukri ke rumah sepupunya di Kebun Cengkeh untuk menginap. Walid menyampaikan pesan Abu Uswah bahwa ada titipan di rumah bang Jumu alias Imran yang akan dibawa ke Makassar. Sukri pun menyampaikan bahwa granat nanas sudah ia bawa. Tapi, karena situasi tidak aman, sebagaimana pesan Abu Uswah, senjata yang dititipkan di rumah bang Jumu alias Imran tidak dibawa ke Makassar.

Setelah menginap satu malam, Sukri langsung pulang ke keluarganya di Tantui, Ambon, dengan membawa granat nanas. Sedangkan Walid menuju Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, membeli tiket Kapal Ciremai menuju Tual.

“Saya sudah dipantau. Ada informan dari keluarga saya juga. Saya ditangkap di kepulauan Kei,” ujar Walid. Abu Uswah yang bernama asli Buchori pun ditetapkan sebagai DPO. Ujung perburuan terhadap Abu Uswah berakhir dengan tertembaknya oleh aparat kepolisian pada 4 Januari 2013.

Pada 3 April 2014, Mahkamah Agung menerbitkan putusan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Isinya adalah vonis terhadap Walid atas tindakan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Mengantongi vonis berkekuatan hukum, Walid menjalani hukuman di Lapas Ciamis.

“Saya dipenjara karena kasus kepemilikan senjata api dan terkait dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT),” ujar Walid.

Di lapas Ciamis, Walid berjumpa dengan terpidana berbagai kasus, termasuk beberapa teman dengan kasus serupa, terorisme. Ia sadar meski sesama mujahid, belum tentu mereka memiliki pandangan keagamaan yang sama.

“Tidak semua memiliki fikrah yang lurus, ada yang mengkafirkan sesama mujahid.”

Walid mengaku pernah mendengar seorang rekannya di lapas merencanakan sesuatu terhadap dirinya. Dengan bahasa daerah yang sebagian katanya ia pahami, intinya bahwa orang itu bisa menghabisi Walid.

“Kalau dia berani, saya lawan,” ujar Walid yang di lapas tak punya teman kelompok, sementara orang itu ada teman kelompoknya.

Selama di lapas, Walid mengikuti kegiatan mengaji Yasin saban Jumat dan upacara bendera. Tapi, kelompok yang mengkafirkan sesama mujahid itu menolak NKRI, di antara mereka ada yang bilang bahwa ikut upacara bendera itu murtad.

Walid berpikir, “Murtadnya dari mana?! Ya, terserah kalian. Saya ingin bebas. Saya tidak terikat dengan kalian. Kalau kalian berpikir seperti itu, akan sulit hidup di Indonesia.”

Di lapas, pikirannya semakin kuat untuk lebih mementingkan keluarga. Ia berpikir, sebagai kepala keluarga, jika bermasalah, nasib keluarganya menjadi tak menentu. Untuk itu, ia acapkali terlibat diskusi dengan teman di lapas yang satu fikrah.

“Saya mencari teman yang membawa manfaat untuk pribadi, keluarga, dan negeri ini.” Kesadaran itu muncul dari pikiran dia sendiri setelah merenung. Merasa mantap dengan fikrahnya, ia pun tak sungkan memberi nasihat kepada temannya yang lebih muda dari dirinya.

Menolak ISIS, Fokus Keluarga

9 April 2015, Walid bebas. Meski begitu, dia nyatanya tetap dibayang-bayangi jaringan ekstremis. Walid mengaku pernah diajak oleh teman-temannya yang sudah berbaiat ke pimpinan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).

Secara sadar, Walid menolak ajakan itu. “Saya baru keluar, saya tidak ingin bergabung dengan kelompok mana pun. Kita bergaul saja. Saya tidak pro sana atau pro sini. Saya mau mengurus keluarga,” ujar Walid.

Ia kembali teringat nasihat seorang syaikh dari Mesir saat hendak ke Kashmir untuk tidak berbaiat kepada kelompok tertentu. Selain itu, keluarga Walid yang beragama Islam di Ambon juga tidak melihat dirinya sebagai representasi teroris, tapi sebagai pejuang.

“Bahkan, kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) yang ingin merdeka saja kita lawan,” tegas Walid.

Selain menolak masuk ISIS, pandangan Walid terhadap orang yang berbeda agama mengalami perubahan. Jika saat konflik Maluku Walid memandang kristen sebagai musuh, kini semuanya sudah berubah.

“Om saya beragama Kristen. Dulu kalau melihat seorang Kristen, saya merasa dia akan menyerang kita, karena (kami) musuh. Sekarang, setelah aman dan sudah bergaul, perubahan pemahaman saya sesuai kondisi.”

Untuk diketahui, keluarga Walid memang cukup beragam, selain sebagian besar beragama Islam, ada juga yang Kristen. Di Ambon kenyataan seperti ini adalah biasa. Ada adat yang namanya Peela Gandong, sebuah kearifan lokal yang juga menjadi media untuk rekonsiliasi dan keguyuban antar warga.

Sepanjang 2015, Walid beraktivitas di Ambon dan Jakarta. Pada 2016, ia dan keluarga mengontrak sebuah rumah di Jonggol, Bogor Jawa Barat, daerah penyangga ibu kota. “Saya tidak ingin seperti dulu, sumbu pendek. Padahal itu konspirasi. Untuk itu, saya hijrah ke sini,” ujar Walid.

Tekad Walid untuk fokus mengurus keluarga ia buktikan dengan berdagang. “Macam-macam yang saya jual, apa saja, asal jangan orang yang dijual, ha ha ha. Di pasar dan online juga,” ujar Walid dengan kelakar.

Istrinya pernah membuka PAUD/TK, tapi kini sudah tidak beroperasi. “Kalau ada orang yang tahu status saya sebagai mantan terpidana teroris, saya biasa saja. Justru itu pengalaman dan pelajaran hidup saya.”

Belajar dari pengalaman dirinya, Walid memberi nasihat kepada anak-anaknya untuk mengambil pelajaran dari dirinya. Ia meminta untuk berhati-hati dari apa yang diterima dari orang lain. Dalam hal agama harus difilter dan diteliti. “Begitu mendengar ayat atau hadis, terlebih dahulu kita pelajari. Bisa jadi, mereka membawa tafsiran yang salah. Sekali kita melakukan kesalahan, bisa jadi fatal untuk dunia dan akhirat kita,” ujar Walid.

Walid memberi contoh laiknya bom bunuh diri. Menurut dia, itu adalah kesalahan yang sangat fatal, tidak benar menurut Al-Quran dan sunnah. “Kita mati bisa masuk neraka. Siapa yang menjadi korban? Diri kita dan keluarga kita.”

Menapak Jihad Baru

Sebelum menjadi jihadis bersenjata, Walid mengaku haus bacaan. Dulu, dia menyukai membaca buku-buku seperti karya Abdullah Azzam, Ikhwanul Muslimin Mesir, buku tentang sejarah dan juga beberapa buku ilmiah lainnya. Sewaktu di Ambon, akses untuk mendapatkan buku memang sulit. Buku-buku itu dia peroleh, misalnya, dari keluarganya dan temannya yang baru pulang dari Makassar atau kota besar lainnya.

Telak, sejurus setelah mendapat informasi tentang berdirinya Rumah Daulat Buku (Rudalku), dengan antusias Walid bersedia bergabung. Apalagi di peguyuban literasi ini ditegaskan siap menjadi  jihadis literasi. “Dengan Rudalku menjadi perantara saya, dari jihad bil-qital, dengan berperang, menuju jihad literasi.”

Ia berpandangan, jihad tidak hanya dengan pedang, tapi bisa dengan pendidikan, buku, dan ilmu. “Rudalku sebagai sarana saya untuk bisa mengasah lagi ilmu saya dan keluarga,” ujar Walid.

Ia percaya bahwa buku bisa menentukan perilaku seseorang. Walid berpandangan, seseorang bisa menjadi baik atau menjadi buruk dari apa yang dia baca. Jika membaca buku-buku radikal, paham-paham yang sesat, maka akan mengubah seseorang yang semula baik menjadi buruk.

“Ketika membaca buku-buku yang baik, itu menjadi nutrisi untuk fikrah dia. Dari yang radikal menjadi moderat,” ujar Walid. Bagi Walid, kehidupan seseorang itu tergantung fikrahnya.

Dahulu, ia membaca Tarbiyah Jihadiyah karya Abdullah Azzam. Buku itu sangat menginspirasi dirinya untuk berjuang melawan kezaliman. “Ada janji Allah bahwa perjuangan kita tidak sia-sia. Kemudian saya berubah karena kesadaran dan lingkungan,” ujar Walid.

Menurut dia, peran bacaan itu sangat penting. Ketika berbicara kepada seseorang, belum tentu orang tersebut akan menerima nasihat atau pandangan kita.

“Tapi, ketika kita kasih buku, tanpa kita yang bicara, buku itu nasihat yang tidak bergerak,” ujar Walid. Hal itu terbukti ketika ada keluarga maupun rekannya yang fikrahnya berubah setelah diberikan buku.

Berdamai Demi Negeri

Apa yang kini bersemayam dalam benak Walid? Walid bertekad ingin mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam memperbaiki citra Islam. Tindakan teror, demikian kata Walid, justru akan membuat citra Islam menjadi buruk di mata publik, baik di kalangan Islam sendiri atau selain Islam.

Karenanya, Walid mengajak kepada para ikhwan untuk menyadari bahwa darah saudara-saudara kita sangatlah berharga, baik saudara sesama ikhwan dan kaum muslimin, serta saudara sebangsa dan setanah air.

“Teman-teman, mari kita berpikir untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang banyak, apalagi sampai menimbulkan korban. Kita dulu bisa jadi bersalah. Tapi tidak ada batasan bagi manusia untuk berubah.”

“Lagipula, para pendahulu kita telah berjuang mengorbankan darah dan nyawa serta hartanya itu untuk kemerdekaan Indonesia. Marilah kita berjuang untuk bisa mengisi kemerdekaan.”

Kepada pemerintah, kelompok mujahid, dan seluruh umat Islam, Walid   berpesan agar penanganan terorisme tidak saja dilakukan dengan kekuatan atau kekerasan, tapi juga dengan cara persuasif. Ia menyarankan agar pemerintah melihat latar belakang para teroris.

“Tidak semua orang yang mengikuti sebuah kelompok itu pasti karena fikrah. Sebaliknya, bisa jadi karena faktor ekonomi. Orang yang tidak punya pekerjaan gampang disulut.”

Ibaratnya, orang yang terbiasa dengan pendapatan kurang dari 1.8 juta per-bulan dan merasa hidupnya amsyong, ketika mendapat penetrasi janji-janji surgawi ala idelogi jihadi, mereka pun seperti menemukan makna baru. Rasanya seperti terlahir kembali, laksana orang-orang yang baru hijrah dan ingin mengenal Islam lebih jauh yang celakanya kemudian berkenalan dengan salah satu perekrut mereka.

Anwar Kurniawan, Redaktur salah satu website keislaman nasional, dapat disapa lewat twitter @anwarku_r.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Manajemen Teror (2): Ilusi Kekuasaan Thaghut dan Kerangka Perlawanan Islam

Ming Des 26 , 2021
Khilafah.id – Pada seri sebelumnya, introduksi, telah dijelaskan bahwa manajemen teror ialah sistematisasi radikalitas-ekstrem sebagai upaya menumpas kebiadaban atau, jika tak juga berhasil, paling tidak memorak-perandakan mereka. Negara-negara Arab bekas Turki Utsmani, pasca-Perjanjian Sykes-Picot, marah besar. Namun demikian, Islam sudah terlanjur dianggap kalah. Dan sejak itu, Islam dianggap berada dalam […]
ilusi kekuasaan

You May Like