Abdulrazak Gurnah: Menyuarakan yang (Tak) Bersuara

Gurnah

Khilafah.id – Hadiah Nobel untuk Sastra pada 2021 ini jatuh kepada seorang novelis dan akademisi kelahiran Tanzania yang tinggal di Inggris. Gurnah adalah sastrawan Muslim ke-3 yang dianugerahi Hadiah Nobel setelah Naguib Mahfouz (1988) dan Orhan Pamuk (2006). Ia juga merupakan orang kedua mendapatkan Hadiah Nobel untuk Sastra sebagai alumni dari Universitas Kent, sebelumnya Kazuo Ishiguro juga diganjar dengan penghargaan yang sama pada 2017.

Menurut Akademi Swedia, alasan penganugerahan ini karena karya-karya dan sepak terjang Gurnah mampu melakukan ‘penetrasi tanpa kompromi dan penuh kepedulian terhadap dampak kolonialisme dan nasib pengungsi di jurang pemisah antara budaya dan benua’ (uncompromising and compassionate penetration of the effects of colonialism and the fate of the refugee in the gulf between cultures and continents).

Karya-karya Gurnah berkutat dengan pengalamannya menjadi pengungsi, tinggal di negeri lain dan perasaan terlantar. Isu-isu ini bahkan mewarnai novel perdananya Memory of Departure (1987).

Karakter-karakter yang memenuhi fiksi Gurnah menggambarkan kondisi jiwa dan masyarakat yang tercabut, terasing, tidak diinginkan dan menjadi korban kebencian, seperti terbaca dalam karya-karyanya berikutnya semisal Admiring Silence (1996), By the Sea (2001) and Desertion (2005).

Ketika diwawancarai banyak pihak, Gurnah kerap menegaskan bahwa novel-novelnya tentang persoalan migrasi dan pengungsi. Sebab isu-isu ini berada di sekitar kita, hadir dengan kita, dalam jutaan. Bukan saja mengenai kisah menakutkan tentang orang-orang yang melintasi kanal tapi menjadi kisah orang-orang di Amerika Serikat, Eropa, banyak tempat di Afrika, Australia dan lain-lain.

Selain itu juga persoalan tentang orang-orang yang hendak melarikan diri dari kekerasan, peperangan, bahkan deprivasi ekonomi. Ini adalah peristiwa besar secara global. Dengan menulis isu pengungsi, ia tak menulis bahwa ini yang perlu dilakukan tentang persoalan ini. Baginya, itu bukan pekerjaan pengarang, sebab pengarang bukan pembuat kebijakan. Apa yang pengarang lakukan adalah untuk menunjukkan realitas yang sebenarnya, menyadarkan orang bagaimana rasanya berada dalam situasi seperti ini. Dengan berbuat begitu, ia berharap mudah-mudahan cara ini akan memperluas pemahaman pembaca terhadap isu pengungsi dan migrasi ini secara global.

Pilihan sadar Gurnah menulis fiksi terkait pengalaman orang-orang tentang migrasi, kolonialisme, dan juga pengalaman tentang perpindahan (relocation) kepada budaya, tempat bahkan agama lain tak lepas dari keyakinannya untuk memberikan ruang dan perhatian kepada orang-orang yang suara-suara mereka selama ini terabaikan. Menurutnya, suara-suara yang berbeda—suara kreatif, suara riset atau suara imigran sendiri—perlu didengar di lingkungan di mana isu-isu imigrasi dan pengungsi menjadi isu penting dewasa ini.

Ia menyebut ikhtiar ini sebagai symphony of narrative. Ia menjelaskan bahwa ketika seseorang punya pengalaman sebagai pengungsi, maka narasi pertama yang kita inginkan adalah adanya catatan dan pengakuan yang akurat, jujur bahkan kuat yang akan menggerakkan orang, memahami pengalaman khusus dari yang bersangkutan.

Karenanya, yang penting itu bukan kualitas tulisan (quality of writing), tapi kualitas pengalaman (quality of experince) yang diceritakan. Terkadang tulisan membawa pembaca kepada respons yang lebih halus atau lebih sarat nuansa untuk memahami latar belakang yang terjadi pada seseorang.

Gurnah mengingatkan bahwa sering kali seseorang tidak mampu mengungkapkan mengingat pengalaman itu mengingat ia terlalu kasar, terasa kelewat mendalam, atau bisa jadi karena ia tak mampu melakukan refleksi. Namun ia mengalami pengalaman tersebut yang bisa diungkapkan kepada kita, kepada pembaca, kepada pendengar. Jadi ada banyak cara di mana narasi bisa bekerja sama untuk menghasilkan gerakan ke depan.

Bagi Gurnah, sastra adalah sebuah teks yang selaku terbuka untuk penafsiran, yang karenanya selalu mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepada kita, terlepas era mana ia ditulis. Itulah kenapa orang selalu ingin kembali kepada Shakespeare, Chaucer atau siapa atau apa saja. Karya-karya sastra selalu menyuguhkan kita pertanyaan-pertanyaan baru sungguh pun sudah berusia ratusan tahun.

Kajian sastra membuat seseorang memahami sesuatu lebih humanis, baik secara historis, sosiologis maupun lainnya. Ambillah periode tertentu, semisal Revolusi Rusia di kelas sejarah. Kita bisa baca Dr. Zhivago atau War and Peace. Ini akan memberikan kita perspektif yang berbeda manakala etika membaca Revolusi Rusia. Ini yang dimaksud Gurnah dengan humanisasi. Ia mendekatkan pembaca kepada apa dan bagaimana proses tertentu ketika membaca karya sastra. Pembaca mencoba hidup dengan pengalaman tersebut.

Kekuatan karya-karya Gurnah juga terbuhul erat dengan kemampuannya memahami dan pengalamannya menjalani dunia pascakolonial. Ia memang menyadarkan pembaca tentang pentingnya kajian pascakolonial yang kini sudah melewati batasannya sendiri (beyond its boundary).

Baginya, kita perlu belajar lebih dari sekadar sastra pascakolonial. Tapi sastra pascakolonial terlibat dengan banyak fenomena di zaman kita, yang merupakan konsekuensi dari kolonialisme Eropa. Kini pascakolonial bukan sekadar sastra karena gagasan di balik kajian pascakolonial telah menginfiltrasi semua disiplin seperti antropologi, sejarah dan berbagai periode dalam sastra, bukan hanya masa kontemporer.

Ahli abad pertengahan (medievalist) mendapati kerangka pascakolonial cukup berguna ketika beradapan dengan isu-isu pertukaran dan antagonisme lintas budaya saat menatap kembali peristiwa Perang Salib. Memang apa yang dilakukan oleh pakar abad pertengahan tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh pengkaji pascakolonial sekarang, tapi gagasan tentang perjumpaan lintas budaya, bagaimana mereka mengatasi fenomena tersebut, bagaimana mereka menarasikan perjumpaan itu dan bagaimana ia diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Semua gagasan itu dipengaruhi oleh teori pascakolonial dalam kajian pascakolonial.
Lewat Gurnah kita belajar bahwa sastra menjadi senjata dan narasi untuk membela wacana, kaum dan suara yang terpinggirkan selama ini.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Apa Beda Habib, Sayyid, Dzuriyah, Alawiyin, dan Ahlulbait?

Rab Jan 5 , 2022
Khilafah.id – Terjadi pencampuradukan makna dan fungsi sejumlah kata “Ahlulbait”, “Dzuriyah”, “Habib”, “Sayyid”, dan “Alawi”, secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Hadis Tsaqalain (bahasa Arab: حديث الثقلين) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw. yang bersabda, “Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, […]
Habib Rizieq dan Habib Bahar