Khilafah.id – Menarik membaca manuver eks-HTI pasca organisasi itu dibubarkan. Salah satu pentolan eks-HTI, Felix Shiaw mengatakan bahwa HTI masih “berdakwah” dengan berbagai cara. Pernyataan itu secara eksplisit mengakui bahwa HTI bergerak secara klandestin alias di bawah tanah.
Jika diamati, eks-HTI memang melakukan sejumlah kompromi dan negosiasi untuk beradaptasi dengan kondisi baru tersebut. Dari sisi materi dakwah, mereka tidak lagi secara eksplisit menyerukan pendirian khilafah atau penerapan syariah.
Kini, mereka lebih sering membahas problematika anak muda. Seperti, kesehatan mental, akses ke pendidikan dan pekerjaan, isu kekerasan seksual, atau bullying dan slainnya. Meski narasinya berbeda, namun ujungnya tetap sama. Yakni bahwa problem anak muda itu akan selesai dengan khilafah.
Bentuk kompromi lainnya adalah mengadaptasi budaya populer yang tengah hype di kalangan anak muda. Salah satunya stand up comedy. Hal ini dilakukan ini bukan tanpa alasan. Stand up comedy dalam beberapa tahun ini menjadi subkultur kaum muda yang berkembang pesat.
Adaptasi Budaya Populer oleh Kaum Radikal
Para komika ini menjadi bintang baru di panggug hiburan tanah air. Komika mendominasi industri film, acara tv, konten digital di media sosial. Dalam artikel berjudul “Stand up Comedy Merajai Dunia Hiburan Kita” (detik.com/2024) dijelaskan bahwa komika tidak hanya dominan di panggung hiburan, namun juga mampu tampil sebagai influencer (pemengaruh). Artinya, opini sosial, politik, dan keagamaan komika punya kekuatan untuk mempengaruhi pikiran, bahkan membentuk perilaku kaum muda.
Posisi sub-kultur stand up comedy yang strategis ini dilirik oleh para eks-HTI. Maka, dalam beberapa tahun belakangan, para eksponen HTI terlihat aktif mengadaptasi kultur stand up comedy. Bentuk adaptasi ini bisa dipetakan ke dalam setidaknya tiga pola. Pertama, mulai anyak para simpatisan HTI yang menjadi komika. Mereka membawakan materi lawakan yang reevan dengan anak muda sembari menyisipkan propaganda khas HTI.
Lalu muncullah istilah komika hijrah. Yakni komika yang menerapkan gaya hidup islami, dan membawakan materi tentang hijrah. komika hijrah. Ketika tampil di atas panggung, mereka juga menampilkan simbol trend hijrah. Seperti mengenakan baju koko atau celana di atas mata kaki.
Komika hijrah ini bukan sekadar gimmick industri belaka. Komunitas ini eksis di sejumlah kota. Mereka kerap berkumpul, bukan untuk sekadar latihan membawakan materi lawakan, namun juga untuk mendengar kajian. Penceramah yang diundang pun kebanyaakan berlatar konservatif dan berafiliasi dengan HTI.
Kedua, para eks-HTI mengadaptasi pertunjukan stand up comedy dalam acara-acara yang mereka gelar. Contoh paling nyata, gelaran bertajuk Metamorphosis; It’s Time to One Ummah yang viral tempo hari. Pertujukan itu menggabungkan kajian keagamaan dengan budaya populer, yakni musik dan stand up comedy.
Ketiga, para eks-HTI menggandeng para komika dengan pengaruh besar di kalangan anak muda untuk berkolaborasi membuat konten siniar. Fenomena ini bisa kita lihat dari kanal YouTube, Yuk Ngaji TV yang digawangi eks-HTI Felix Shiaw. Di kanal itu, Felix rajin mendatangkan komika, mulai dari Ernest Prakasa sampai Pandji Pragiwaksono.
Tantangan Baru Kaum Moderat
Hal ini tentu ironis. Di awal kemunculannya, skena stand up comedy identik dengan lawakan yag kritis terhadap fenomena sosial-keagamaan. Bahkan, para komika dikenal kritis pada fenomena keberagamaan intoleran dan konservatif. Kita tentu ingat kasus “babi kurma” yang menimpa duo-komika Choki Pardede dan Tretan Muslim.
Dua komika itu membuat konten memasak daging babi dicampur sari kurma sebagai semacam kritik terhadap perilaku umat Islam konservatif. Coki-Muslim sempat menjadi buruan massa FPI yang kala itu belum dibubarkan. Ia dianggap menista agama atas konten “babi kurma” yang sempat viral di medsos tersebut.
Kini, yang terjadi justru sebaliknya. Pelan, namun pasti kultur dan skena stand up comedy mulai diinfiltrasi bahkan sepertinya akan dikooptasi oleh para eksponen HTI dan kaum radikal lainnya. Mereka berusaha menjadikan stand up comedy sebagai senjata kultural untuk menarik simpati di kalangan milenial dan generasi Z.
Pola adaptasi budaya populer oleh kelompok radikal ini sebenarnya bukan fenomena yang sepenuhnya baru. Sebelumnya, musik metal yang identik dengan tema-tema anti-kemapanan juga diadaptasi oleh para pengusung khilafah. Di skena metal, muncul komunitas Metal Satu Jari yang para anggotanya rutin mengadakan kajian keagamaan yang membahas tentang penerapan syariah dan pendirian khilafah.
Cara-cara yang demikian ini tentu patut diwaspadai oleh pemerintah dan kalangan moderat. Perang kita melawan kaum radikal saat ini lebih banyak terjadi di dunia maya dan digital. Senjatanya adalah produk budaya populer, seperti film, series, vlog, meme, siniar (podcast), bahkan stand up comedy. Inilah tantangan bagi kaum moderat. Mampukah kaum moderat beradaptasi dengan situasi ini?
Sivana Khamdi Syukria, Penulis lepas.